Berhenti Berbuat Bodoh

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Adhie M. Massardi, Ketua Komite Eksekutif KAMI – Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia


Demonstrasi itu penggenap demokrasi. Jika tak menghasilkan apa-apa berarti penguasanya bodoh. Maka berhentilah berbuat bodoh agar demonstrasi punya arti.

*****

HANYA sepekan setelah merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan ke-80 dengan pentas spektakuler perjogetan para pembesar negara di Istana, Indonesia bergolak. Demonstrasi merebak di banyak kota.
 
Kekecewaan, kemarahan, ketidakadilan dan kemiskinan menyeruak dari akar rumput. Menggelindug seiring angin. Nabrak dinding kecongkakkan. Korban berjatuhan. Penguasa blingsatan.
 
Asap hitam dari kantor-kantor polisi yang dibakar kebencian nutupi matahari. Indonesia gelap. Pikiran gelap. Emosi meluap. Kabar angin yang dahsyat nimbulkan pusaran puting-beliung omong kosong.
 
Logika, fakta, dan akal sehat berterbangan. Jumpalitan. Tidak polisi tidak pejabat, tidak presiden tidak residen, bahkan para analis dan juga jurnalis, terperosok dalam labirin kebodohan yang tak berkesudahan.
 
Mereka sibuk mencari dalang. Mecari provokator. Mencari pengucur dana sambil nuduh pihak asing yang pantas berada di belakang semua itu. Para pengidap skizofrenia melihat demonstrasi besar ini sebagai pertarungan elite di panggung politik kekuasaan.
 
Tapi paling sialan memang aparat keamanan. Dengan bekal mimpi jadi bayangkara negara, mereka gercep nangkapi ratusan hingga ribuan orang yang dibayangkan sebagai provokator, sebagai penghasut. Musuh negara!
 
Padahal massa ngamuk karena para polisinya brutal. Memandang demonstran sebagai musuh negara. Dihajar. Dihujani bom gas airmata. Dilindas mobil rantis secara sadis.
 
Begitulah. Dalang, provokator, penghasut dan penyandang dana menjadi primadona dalam setiap aksi unjuk rasa. Sementara substansi, akar masalah, pemicu dan proses merebaknya demonstrasi diabaikan begitu saja. Bangsa ini memang tak pernah belajar apa-apa dari banyak peristiwa horor dengan social cost yang besar itu.
 
Budaya Unjukrasa
 
Saudaraku sebangsa dan se-Tanahair. Kini saatnya berhenti membodohi diri sendiri. Stop making stupidity. Bangsa ini sudah tak punya lagi sumberdaya dan waktu untuk melakukan berbagai eksperimen politik yang teori dan prakteknya tidak pernah paralel. Apa yang dikatakan berbeda dengan apa yang dilakukan. Sehingga kehidupan ketatanegaraan kita jadii panggung kemunafikan yang menjijikan.
 
Demonstrasi, unjukrasa, bahkan hingga yang brutal, anarkis dan vandalistis bukan hal baru di negeri ini. Kita sering dengar kata “amok” untuk menjelaskan situasi memuncaknya kemarahan sosial. Dan dunia mengenal kata ini berakar pada bahasa Jawa-Melayu-Polinesia.
 
Merujuk pada kebudayaan (Jawa), sejak zaman raja-raja (Majapahit) rakyat punya tradisi “tapa pepe”, berjemur di alun-alun depan Istana sebagai cara unjukrasa untuk nyampaikan pendapat atas kebijakan penguasa yang dianggap merugikan rakyat.
 
Sejarah Indonesia kontemporer bahkan mencatat puluhan demonstrasi yang mengguncang tatanan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Paling fenomenal terjadi pada 1966 KAMI/KAPPI pasca G-30-S/PKI, 1974 Malari, 1978 nolak NKK/BKK, 1982 Peristiwa Lapangan Banteng, 1984 Peristiwa Tanjung Priok, 1998 Reformasi.
 
Pasca reformasi masih ada sejumlah demonstrasi ketidakpuasan-kekecewaan dan menolak kebijakan pemerintah, misalnya pada 2008 menolak kenaikan harga BBM, aksi gerakan anti-korupsi melindungi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang hendak dikerdilkan pemerintah, dan terbaru sekarang ini, yang bergulir sepekan setalah perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-80 yang digelar di Istana secara tidak seksama.
 
Kronologi Demo 2025
 

Gelombang demonstrasi yang menggelinding sejak akhir Agustus ini, dan entah kapan berakhirnya, mudah dibaca substansi dan akar masalahnya.
 
Selama 10 tahun berkuasa rezim Joko Widodo telah memporak-porandakan tata kelola pemerintahan. Menimbulkan kerusakan di mana-mana. Kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemandangan kasat mata.
 
Hasilnya, Indonesia menjadi negara terbanyak penduduk miskinnya. Tapi korupsi bersimaharajalela. Bahkan OCCRP menobatkan Joko Widodo sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia. Kalau orang No 1 di Kementeriaan Pendidikan dan Kementeriaan Agama saja bisa jadi tersangka korupsi, bagaimana pula di tempat lain.
 
Selain kerusakkan struktur ketatanegaraan, terutama di bidang penegakkan hukum (mulai dari Mahkamah Konstitusi, MA hingga Pengadilan Negeri, mulai dari Kejaksaan Agung hingga Kejaksaan Negeri, mulai dari Mabes Polri hingga Polsek), rezim Joko Widodo juga meninggalkan hutang lebih dari Rp 10 ribu Triliun, belum lagi hutang yang harus ditanggung BUMN (Karya) akibat pembangunan infrastruktur ugal-ugalan.
 
Kenapa kemarahan rakyat kepada rezim Joko Widodo tidak berhenti meskipun pemerintahan sudah berubah, berada di bawah kekuasaan Presiden Prabowo Subianto.?
 
Karena Joko Widodo tidak mau melepaskan cengkeraman cakar dengan kuku-kuku beracunnya dari kekuasaan. Belasan anteknya dipaksakan tetap berada di kabinet dan di institusi kenegaraan lainnya, terutama BUMN. Mereka ini kerap memprovokasi rakyat dengan segala tingkah-lakunya.
 
Belum lagi sosok Gibran, anak sulung Joko Widodo yang harus diterima rakyat sebagai Wakil Presiden. Selain caranya melanggar aturan, Gibran sendiri dianggap jauh dari memiliki kapasitas sebagai Wapres.
 
Berhenti Buang-buang Waktu
 

Substansi dan pokok persoalan yang bikin rakyat marah sangat centang perenang. Rakyat ingin 1. Bersihkan Kabinet dari anasir Joko Widodo, 2. Kembalikan Independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar bisa leluasa memberantas korupsi, dan 3. Reformasi Polri yang didoktrin Joko Widodo untuk melibas setiap orang yang berbeda pendapat (dengan pemerintah), karena oposisi dianggap musuh negara!
 
Potret yang sudah terang-benderang ini dikaburkan aparat keamanan (polisi) dengan isu “dalang”, penghasut dan provokator, seraya terus menangkapi siapa saja yang layak disebut dalang atau penghasut, tanpa perlu bukti sama sekali. Jumlahnya konon ribuan.
 
Bangsa ini sudah menghabiskan sumberdaya dan waktu untuk mencari dalang, provokator, elite yang berkonflik dan negara asing. Itu dilakukan sejak 1965/66 hingga hari ini. Selama 60 tahun itu kita tak pernah menemukan apa-apa selain jejak huru-hara dan kerusakan sosial.
 
Sementara negara lain, contoh Vietnam, yang baru bisa membangun pada 1980 dalam beberapa hal, misalnya industri manufaktur dan tingkat kesejahteraan rakyatnya, mulai meninggalkan Indonesia. Jangan lagi dibandingkan Korea dan Taiwan. Di tingkat ASEAN saja NKRI terus terseok.
 
Kesimpulan Penutup

 
Lihat Korea Selatan. Pada era Chun Doo-hwan terjadi demonstrasi pro-demokrasi mahasiswa besar-besaran di Gwangju, Mei 1980. Rezim militer melibas demonstran. Korea Selatan jadi negeri horor. Tapi mereka tidak sibuk mencari dalang dan provokator.
 
Dari peristiwa berdarah-darah itu elite Korea Selatan melakukan kontemplasi. Reformasi politik dilakukan. Jalan demokrasi dan jalan ekonomi dibuka lebar. Hukum ditegakkan. Gwangju menjadi tonggak penting perubahan di Korea Selatan. Dan mereka setia pada cita-cita reformasinya.
 
Hasilnya? Sekarang Korea Selatan tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Asia setelah China dan Jepang. Pengaruhnya di Asia sangat signifikan. Menjadi acuan penegakkan hukum di dunia. Sebab presiden yang melanggar hukum bisa dipidana, dijebloskan ke penjara. Maka kepercayaan investor tak tergoyahkan.
 
Lihat juga China yang pernah dijuluki “negeri tirai bambu” karena kediktatoran rezim komunis di bawah pimpinan Mao Zedong.
 
Pada era kekuasaan Deng Xiaoping awal Juni 1989 ribuan mahasiswa ngumpul di lapangan bersejarah Tiananmen, Beijing. Mereka nuntut dibukanya Jalan Demokrasi. Pemerintah China menolak. Demonstrasi dibubarkan paksa dengan melepas pasukan kendaraan lapis baja (tank). Konon ribuan mahasiswa tewas. Sebagian karena dilindas tank.
 
Seperti di Korea Selatan, Deng Cs tidak mencari dalang, penghasut atau nuduh negara asing yang terlibat. Mereka melakukan otokritik dan mencari jalan keluar dari peristiwa horor paling mengerikan dalam sejarah demonstrasi di dunia.
 
Dari peristiwa Tiananmen yang masih menjadi trauma bagi bangsa China hingga hari ini, Deng Xiaoping bersama Hu Yaobang dan Zhao Ziyang membuka “jalan alternatif” bagi rakyatnya. Kebebasan (demokrasi) tetap dalam kontrol Partai Komunis China, tetapi Jalan Ekonomi dibuka seluas-luasnya. Bahkan cenderung liberal.
 
Dalam pikiran Deng Cs, apabila rakyat disejahterakan, maka tuntutan untuk kebebasan politik akan menyusut. Sehingga PKC bisa tetap leluasa mengontrol kekuasaan.
 
Teori “membuka pintu kesejahteraan” untuk menutup kebebasan bukan hanya berhasil meredam gejolak. Tapi membuat China menjadi kekuatan ekonomi global yang menakutkan dunia, bahka Amerika Serikat dan Eropa.
 
Korea Selatan dan China adalah dua contoh negara yang bisa menyiasati “peristiwa demonstrasi penuh sensasi” menjadi pembangkit, dan hasilnya mengejutkan dunia.
 
Kunci sukses mereka, selain tidak tergoda mencari dalang dan penghasut, adalah setia kepada cita-cita. Ini yang kita tidak punya. Cita-cita kemerdekaan diabaikan. Cita-cita reformasi dikhianati.
 
Selamat berdemonstrasi, wahai anak bangsa!
 
Jadikan gerakan sebagai langkah untuk menghentikan keterpurukan bangsa yang sangat kaya sumberdaya alamnya. Hentikan paradoks itu.

Berita Terkait

Berita Lainnya