Oleh: Adhie M. Massardi, Ketua Komite Eksekutif KAMI – Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Rezim Joko Widodo telah nenggelamkan Polri dalam kubangan lumpur politik yang busuk. Perlu reformasi untuk mengentasnya. Istana sudah nabuh gong tanda reformasi dimulai. Tapi bisakah kultur dan struktur Polri direformasi? Begini caranya!
TIDAK ada yang keliru dengan lembaga kepolisian kita. Kapolri yang tidak bisa melaksanakan tupoksinya (tugas, pokok dan fungsi) kenapa institusi yang disalahkan? Kenapa Polri yang harus direformasi? Ganti Kapolri. Beres. Seperti kata Gus Dur: “Gitu aja kok repot..!”
Alinea di atas saya kutip secara presisi dari pernyataan seorang jenderal polisi bintang tiga yang sudah purna tugas. Sang Jenderal merespon postingan saya di X yang mengabarkan bahwa “reformasi Polri sudah menjadi agenda nasional”. Keputusan ini digulirkan langsung dari Istana.
Meskipun kurang begitu sreg pada gagasan “Reformasi Polri” Sang Jenderal mengakui rezim Joko Widodo memang yang membenamkan Polri dalam lumpur politik hingga sebatas hidung. Bikin polisi sulit bernafas.
Sejak itu, katanya, polisi jadi tak berdaya lagi memberikan rasa aman kepada masyarakat. Polisi sibuk bikin baliho, pasang baliho, nyiapkan bus untuk kampanye, nyiapkan bansos untuk massa kampanye, nyiapkan uang saku peserta kampanye, bahkan mendatangi pabrik-pabrik untuk digiring jadi pemilih dalam pemilu (Pileg, Pilpres, Pilkada).
Padahal tugas pokok polisi itu kan memberikan pelayanan, menerima laporan pengaduan masyarakat, dan mendatangi TKP. Melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli (Pasal 14 ayat 1 UU Polri ).
Sang Jenderal manambahkan, “Pada realitanya tupok itu tidak lagi menjadi core business polisi. Anggota polisi lebih banyak mengerjakan yang bukan tupoknya. Mereka sibuk ngurus dapur buat makan gratis. Cari lahan untuk nanam jagung. Jual beras murah. Dst.
Skandal polisi nguntit jaksa juga disinggung Sang Jenderal. Padahal jaksa itu mitra kerja. Jaksa tidak boleh dijadikan musuh sehingga harus dikuntit dan di- surveillance. Peristiwa sangat aneh terjadi ketika anggota Densus 88 nguntit Jampidsus Kejagung. Herannya, tidak ada pimpinan Polri yang menyatakan bertanggung jawab atas tragedi hukum ini. Malah sibuk nyari kambing hitam.
“Bahkan karena tidak ada kambing hitam, kambing putih pun dicat hitam,” kelakar Sang Jenderal.
Syarat Reformasi Terpenuhi
Apa yang dituturkan Sang Jenderal Polisi (purn) sohib saya itu memang sudah menjadi pengetahuan publik. Tapi karena diungkapkan dengan nada kesal oleh “ordal” jadi terdengar lebih menarik.
Sebenarnya keruwetan (mismanajemen) di tubuh Polri yang diketahui dan diingat masyarakat jauh lebih kompleks dari yang diungkap Sang Jenderal.
Misalnya, perbuatan tindak pidana kriminal dua jenderal polisi – Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa – sangat sensasional karena menegangkan, panjang, berliku, dan nyaris tak terungkap. Kisahnya sungguh-sungguh filmis.
Sebab baik Teddy Minahasa yang menggelapkan barang bukti narkoba, juga Ferdy Sambo yang membunuh anak buahnya sendiri (Brigadir Josua), nyaris sukses merkosa fakta dan merekayasa cerita. Sehingga bukan hanya Kapolri, tapi masyarakat luas juga terperdaya.
Tapi Tuhan punya cara seksama dalam mengungkap kejahatan. Akhirnya kedua jenderal polisi yang pernah dijuluki “the rising star” itu jadi terdakwa, dipidana, lalu masuk penjara.
Konsensus bangsa untuk menghormati hak asasi manusia (HAM) kerap diterjang Polri. Pada 2019, misalnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM mencatat setidaknya 52 orang tewas dalam demonstrasi yang diadakan sepanjang tahun.
Catatan YLBHI dan Komnas HAM ini belum termasuk korban pemilu (pilpres) 2019 yang sangar. Unjukrasa menolak hasil pemilu curang depan Bawaslu, Jakarta (21-22 Mei) dihalau polisi secara brutal Akibatnya, belasan orang tewas, dan lebih dari 500 orang terluka.
Polisi juga dianggap bertanggungjawab atas tewasnya hampir 1.000 (seribu) anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) Pemilu 2019 karena tidak ada diotopsi sebagaimana layaknya kematian tidak wajar. Hampir 1.000 anggota KPPS itu dianggap meninggal secara wajar!
Memang banyak kasus pelanggaran HAM oleh Polri. Beberapa di antaranya menjadi ikon dan terus dipersoalkan masyarakat. Di antaranya pembunuhan enam (6) anggota FPI (Front Pembela Islam) santri Habib Rizieq Shihab di rest area KM 50 tol Cikampek, 7 Desember 2020, dan Tragedi Stadion Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 125 orang tewas, dan 600-an orang luka-luka.
Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 itu merupakan malapetaka terburuk dalam sejarah sepakbola di NKRI. Korban tewas dan cedera akibat polisi secara brutal, membabi buta, menghujani penonton dengan granat gas airmata.
Ada kecurigaan peristiwa itu merupakan bagian dari “perebutan kekuasaan” di pucuk pimpinan PSSI, karena setelah peristiwa itu Komjen (purn) Mochamad Iriawan alias Iwan Bule digantikan oleh Erick Tohir, orang kepercayaan Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi yang paling meresahkan publik dan menjadi pendorongan digulirkannya reformasi di tubuh Polri adalah sepakterjang polisi di ranah elektoral (politik pemilu) yang melahirkan istilah “parcok” alias “partai cokelat” - mengarah ke warna seragam polisi.
Ada kecurigaan 4.350 lebih anggota polisi aktif yang bertebaran di posisi jabatan sipil dengan gaji besar merupakan “berkah” (balas jasa) atas kontribusi Polri dalam membangun istana kekuasaan melalui sistem elektoral.
Begitulah. Sejumlah persoalan yang ditimbulkan polisi dianggap telah memenuhi syarat untuk menggulirkan reformasi di kepolisian RI.
Sedangkan driver ojol Affan Kurniawan yang dilindas hingga tewas oleh kendaraan taktis Barracuda Brimob saat unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR 28 Agustus 2025 itu hanyalah pelatuk berubahnya keresahan publik jadi kemarahan sosial yang kemudian membakar sejumlah kantor polisi di banyak daerah, di seluruh Indonesia.
Reformasi Kultural
Syarat untuk mereformasi Polri memang sudah lebih dari mencukupi. Tapi sebelum melangkah ke “Jalan Reformasi” (struktural) kita harus bisa menjawab pertanyaan ini:
“Kenapa polisi mau melakukan hal-hal penuh risiko yang bukan tupoksinya, yang bukan saja bisa merusak integritas personal pelakunya, tapi juga instiusinya?”
Benar, yang menjerumuskan Polri untuk melakukan hal-hal di luar tupoksinya memang rezim Joko Widodo. Terutama pada 7 tahun terakhir dari 10 tahun kekuasaannya. Polisi oleh Joko Widodo bukan saja dipakai sebagai pelindung kekuasaan, tapi juga instrumen pemukul lawan-lawan politiknya.
Bahkan lebih dari itu. Polisi didoktrin rezim Joko Widodo bahwa “oposisi dan yang beda pendapat dengan pemerintah itu musuh negara!” Presiden Joko Widodo itu “negara”. Penghina Joko Widodo adalah penghina negara. Maka mereka musuh negara. Wajib diburu dan dijebloskan ke penjara!
Itu sebabnya para pengunjukrasa, para demonstran, yang memrotes kebijakan pemerintah dihadapi sebagai musuh negara. Diburu. Ditangkapi. Dijebloskan ke penjara. Sebab dalam pandangan mereka, mempertahankan kekuasaan Joko Widodo mempertahankan negara.
Sialnya, hal ini dipraktekan juga dalam pertarungan di medan demokrasi, dalam pemilu. Maka mengupayakan kemenangan rezim Joko Widodo dalam pemilu pilpres dan pilkada (dengan segala cara – termasuk mentranformasi diri menjadi “parcok”) dianggap sebagai pengabdian kepada negara!
“Doktrin” ini tidak mudah dihapus dari benak jajaran Polri sebagai institusi. Karena sudah meresap ke sanubari, paling tidak, pada 2-3 generasi lapisan atas Polri. Maka reformasi kultural akan menjadi modal untuk melangkah ke reformasi struktural.
Menghapus Jejak Gajah Mada
Memang, berbeda dengan di banyak negara, polisi di republik ini sejak dilahirkan sudah berpotensi menyimpang dari tupoksinya. Bisa merambah ke banyak ranah. Mudah disulap menjadi alat kekuasaan. Memiliki kecenderungan abuse of power.
Hal ini terjadi karena sejak awal cermin yang dipakai Polri adalah “Bhayangkara”, pasukan elite zaman Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada yang kesohor itu.
Kita tahu Bhayangkara adalah pasukan elite yang kesetiannya kepada Raja dan keluarga kerajaan 24 karat. Bhayangkara memang didesain sebagai pembela dan pelindung Raja, keluarga dan kekuasaannya.
Sejarah mencatat, di bawah pimpinan Gajah Mada pasukan Bhayangkara menjalankan ambisi Sang Raja melakukan akspedisi militer menaklukan kerajaan-kerajaan Nusantara lain yang menolak tunduk, seperti Sumatra, Kalimantan, Bali, Maluku, dan bahkan Tumasek (kini Singapura).
Syahwat imperialisme Sang Raja Majapahit yang dijalankan Bhayangkara ini oleh Gajah Mada dikemas dalam “Sumpah Palapa” – yang denyutnya terus berlangsung di jantung penguasa negeri ini, sampai sekarang!
Nah, Kepolisian Negara Republik Indonesia (KNRI) yang akte kelahirannya dicatat dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1946 pada 1 Juli 1946, sudah dipersonifikasikan sebagai Bhayangkara lengkap dengan mengakomodasi semangatnya dalam semboyan Tribata.
Tribrata adalah tiga asas kewajiban (pedoman hidup) anggota Polri yang terdiri dari tiga poin utama: berbakti kepada nusa dan bangsa, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat (kata “masyarakat” ini sering dalam empo cepat berubah menjadi “penguasa” sebagaimana Bhayangkara era Gajah Mada).
Jadi istilah “Bhayangkara” sudah dipakai secara resmi sebagai personifikasi Kepolisian Negara RI Kapolri sejak Jenderal RS Soekanto Tjokrodiatmodjo. Kapolri pertama inilah yang menghidupkan kembali semangat *Bhayangkara Majapahit* sebagai identitas moral polisi.
Itu sebab kenapa anggota polisi juga sering disebut “anggota Bhayangkara, dan tanggal 1 Juli secara resmi ditetapkan sebagai “Hari Bhayangkara” merujuk pada 1 Juli 1946, ketika pemerintah menerbitkan PP No 11 Tahun 1946 yang menegaskan kepolisian berada langsung di bawah pemerintah pusat (Presiden).
“Bhayangkara” yang dikonsep Gajah Mada pada zaman Majapahit inilah yang dijadikan sebagai philosophische grondslag, dasar filosofis, pikiran terdalam, menjadi jiwa/ruh kepolisian RI. Padahal kita paham, konsep Bhayangkara Gajah Mada ini sama dan sebangun dengan tupoksi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Memahami semua ini membuat kita jadi mengerti kenapa Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2000 yang diterbitkan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berdasarkan Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dengan Polri serta Tap MPR No, VII/MPR/2000 tentang Pran TNI dan Polri, nyaris tidak membuahkan hasil seperti diamanatkan rakyat melalui Jalan Reformasi (1988).
Oleh sebab itu, tanpa menghapus “jejak Gajah Mada”, tanpa mengubah konsep “Bhayangkara Majapahit” yang sudah menjadi philosophische grondslag, yang selama puluhan tahun menjadi landasan kultural kepolisian RI, segala upaya menjadikan Polri untuk “melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat” akan sia-sia.
Karena dengan kekuatan senjata dan undang-undang yang di tangan, Polri hanya seperti membalik telapak tangan untuk mengubah konsep “melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat” menjadi “melindungi, mengayomi dan melayani penguasa” seperti pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada di era Majapahit, yang terjadi pada 10 tahun rezim Joko Widodo!
Menghapus jejak Gajah Mada Inilah konsep “reformasi kultural” di tubuh Polri. Mudah dituliskan dan diucapkan tapi sulit dijalankan, apalagi jika Komisi Reformasi Polri ini berjalan setengah hati akan menjadi setengah mati.
Reformasi Struktural
Jika reformasi kultural sudah kelar, reformasi struktural akan tumbuh secara organik karena perubahan struktural menjadi kebutuhan untuk menyesuaikan dengan ekosistem baru di kepolisian. Polisi sebagai penjaga kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Melaksanakan perintah undang-undang.
Langkah selanjutnya tinggal menyempurnakan apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Misalnya, polisi tidak lagi masuk ke ranah tindak pidana korupsi. Urusan korupsi domainnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Begitu juga urusan pencegahan, penindakan, serta pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya disentralisasikan di BNN (Badan Narkotika Nasional). Masalah terorisme biar ditangani BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Tugas pemerintah/negara menyempurkan organisasi di institusi terkait (KPK, BNN dan BNPT) agar tidak tumpang-tindih dengan kepolisian hasil reformasi.
Mengenai apakah urusan Pajak Kendaraan Bermotor diserahkan ke Direktorat Pajak di bawah Kementeriaan Keuangan atau di bawah Kementeriaan Penerimaan Negara, dan urusan SIM (Surat Ijin Mengemudi) diserahkan ke Kementeriaan Perhubungan, soal ini perlu kajian di parlemen dan uji publik.
Tapi paling penting adalah pemahaman bahwa Polri itu dalam satu hal tetap serupa TNI, merupakan organisasi bersenjata. Oleh sebab itu, harus ada jaminan prinsip merit system (sistem merit) dalam hal rekrutmen maupun pengembangan organisasi benar-benar dijalankan.
Pelaksana undang-undang, apalagi yang dibekali senjata seperti polisi, memang harus terjamin integritas dan profesionalitasnya.
Kesimpulan
Reformasi kultural dan struktural di Kepolisian Negara RI ini sudah menjadi keharusan. Sebab kunci keberhasilan banyak sektor, terutama masalah politik dan ekonomi, hanya bisa berjalan baik jika sistem penegakkan hukumnya baik dan berkeadilan.
Jika susunan organisasi belum memungkinkan direformasi, maka yang perlu dilakukan dalam hal pengembangan karir dan promosi jabatan prinsipnya begini: Kapolri jika selesai masa tugasnya hanya bisa digantikan oleh wakilnya, Wakapolri (Wakil Kepala Polisi).
Tujuannya agar ada kesinambungan, dan yang penting, selain tidak mudah (Kapolri) dipolitisasi oleh pihak luar, juga menjamin berjalannya prinsip sistem merit.
Jadi pejabat tertinggi Polri yang dipilih adalah Wakapolri yang diproyeksikan menjadi Kapolri. Sedangkan kandidat Wakapolri dipilih (komite kepangkatan tinggi) dari 3-5 Kapolda terbaik.
Kapolda yang terpilih jadi Wakapolri digantikan oleh 3-5 Kapolres terbaik, dam seterusnya pengganti Kapolres ini diangkat dari 3-5 Kapolsek terbaik.
Mengenai apa dan bagaimana kriteria dan indikator terbaik, ini biar dipikirkan para ahli ilmu kepolisian.
Selamat menjalankan reformasi, Polisi!
