Jakarta, MNID. Sejumlah “paket tuntutan” beredar di ranah publik. Ada “Tiga Tuntutan” yang menjadi benang-merah dan tak bisa dibantah: 1. Bersihkan Kabinet dari Anasir Joko Widodo, 2. Kembalikan Independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan 3. Reformasi Polri.
Tiga pokok tuntutan rakyat yang digali dari berbagai tuntutan yang beredar luas di masyarakat - 1. Bersihkan Kabinet dari Anasir Joko Widodo, 2. Kembalikan Independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan 3. Reformasi Polri dan Ganti Kapolri – disampaikan kepada publik oleh Ketua Presidium Koalisi Aliansi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Jumat, 5 September 20205, melalui jaringan media online di Jakarta.
Ketua Komite Eksekutif KAMI Adhie M Massardi kepada wartawan menjelaskan bahwa “Tiga Intisari Tuntutan” itu, atau boleh juga disebut “Tritura 2.0”, digali dari sejumlah paket tuntutan yang muncul di berbagai kelompok masyarakat sipil dan Purnawirawan TNI-Polri.
Kita tahu dalam kurun waktu setahun belakangan memang banyak kelompok masyarakat sipil secara tegas dan lugas menyatakan ketidakpuasannya terhadap penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang kini berada di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto dengan sejumlah tuntutan.
Kelompok sipil militan (Said Didu, dkk) yang terus melakukan perlawanan terhadap penyimpangan PSN (Proyek Strategis Nasional) terutama di kawasan PIK-2, Banten menggulirkan “Sepultura” (Sepuluh Tuntutan Rakyat), sementara Forum Purnawirawan TNI-Polri yang juga didukung sejumlah aktivis pergerakan sipil menggulirkan “8 Tuntutan”.
Terbaru adalah “Tuntutan 17 + 8” yang dirumuskan dan diluncurkan kalangan mahasiswa dan pegiat media sosial di tengah gelombang demonstarsi akhir Agustus lalu yang menjadi panas setelah pasukan Brimob menggunakan kendaraan rantis secara sadis melindas sampai tewas Affan Kurniawan, 21 tahun, driver ojol yang justru bukan peserta aksi, melainkan kebetulan harus melewati pinggiran kawasan demonstrasi.
Membersihkan Kabinet dari Anasir Joko Widodo
Kenapa KAMI menempatkan tuntutan “Bersihkan Kabinet dari Anasir Joko Widodo”, di urutan pertama dalam Tritura 2.0?
Pertama, semua kelompok civil society menempatkan Joko Widodo sebagai unsur penting dalam kerusakan negeri ini, kata Adhie Massardi.
Bahasanya memang beda-beda. Ada yang secara vulgar minta “Adili Joko Widodo” ada yang “Makzulkan Gibran Widodoputra”, atau “Bersihkan Kabinet dari Genk Solo”, tapi lebih banyak lagi yang minta semua kebusukan rezim Joko Widodo, baik di sektor BUMN, APBN, Infrastruktur dll diusut tuntas.
“Nah, semua itu tidak akan terlaksana jika kabinet dan jabatan-jabatan strategis lain di pemerintahan masih didominasi orang-orang yang mempertuankan Joko Widodo,” jelas Adhie.
Soal istilah atau sebutan “Genk Solo”, kata Adhie, KAMI sengaja memang secara sadar menanggalkannya.
“Meskipun masyarakat paham bahwa yang disebut Genk Solo itu para pejabat (sipil-TNI-Polri) saat Joko Widodo menjabat Walikota Solo, tapi istilah ini terlalu primordialistis. Kontraproduktif,” tutur Adhie.
Kembalikan Independensi KPK
Isu korupsi termasuk yang menjadi perhatian serius semua kelompok sipil dalam tuntutan mereka. Varian dari tuntutan ini melahirkan keinginan adanya “UU Perampasan Aset”. Pegiat medsos yang menggulirkan isu ini tidak paham fungsi strategis KPK jika lembaga ini independen.
Tanpa kekuatan dan independensi KPK, UU Perampasan Aset ini hanya akan jadi instrumen perampokan liar tapi “konstitusional” aparat penegak hukum yang rakus. Maka sebelum semua itu terlaksana, KPK harus dikembalikan independensinya, setelah diacak-acak secara radikal oleh rezim Joko Widodo.
Jadi soal isu pemberantasan korupsi yang di era Joko Widodo mencapai titik krusial, kita serahkan kepada ahlinya. Biar teman-teman di KPK yang sudah independen mananganinya.
Reformasi Polri
Dibandingkan dengan “Besihkan genk Solo” dan “Independensi KPK”, isu “Reformasi Polri” memang jauh lebih lama bergulir dan jauh lebih dalam dirasakan masyarakat daya rusaknya.
Apalagi setelah muncul istilah “parcok” alias “partai cokelat” (mengacu pada warna seragam polisi) yang dianggap punya peran sengat penting dan menentukan kemenangan pasangan calon (bupati, walikota, gubernur, hingga presiden-wakil presiden) dalam kontestasi politik elektoral (pemilu).
Memang sejak paruh kedua periode pertama hingga full periode kedua Joko Widodo merintah negeri ini, Polri dijadikan alat pelindung utama dan pemukul paling efektif lawan-lawan politik serta mereka yang dianggap berbeda pendapat dengan pemerintah.
Melihat sepakterjang Polri selama rezim Joko Widodo, memang membuat negara seperti menjalankan doktrin “otoritarianisme (seolah) konstitusional”. Kelompok oposisi atau yang beda pendapat dengan pemerintah adalah musuh negara.
Mengeritik kebijakan Presiden disamakan dengan melawan nagara. Dan polisi merasa benar dan sah jika memburu mereka, dan memenjarakan orang-orang yang berseberangan dengan Pemerintahan Joko Widodo. L'état, c'est moi. “Negara adalah aku,” kata Raja Perancis Louis XIV, yang membuat penggantinya, Raja Louis XVI dipenggal dalam Revolusi Perancis, 1793.
Itu sebab banyak orang yang hanya karena dianggap melecehkan pemerintah atau Presiden Joko Widodo di medsos diburu polisi dan lalu dibui. Polisi dalam operasinya sering bekerjasama dengan “pasukan buzzer militan” penggiring opini negatif terhadap tokoh-tokoh kritis di medsos sebelum diburu dan ditersangkakan lalu dipenjarakan polisi.
KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang acap menyuarakan kehendak rakyat bahkan distigma sebagai organisasi terlarang sehingga setiap melakukan kegiatan, di hampir setiap daerah, mendapat intimidasi kelompok sipil militan, disusul aparat kepolisian yang kemudian membubarkan acara KAMI.
Sejumlah tokoh KAMI, seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan aktivisnya di banyak daerah, dipenjarakan untuk kesalahan yang tidak bisa dijelaskan secara hukum.
Akan tetapi karena Reformasi Polri memerlukan proses panjang dan menyangkut perubahan UU dan sikap serta mental polisi dalam sistem demokrasi, maka tuntutan reformasi di kepolisian RI berada di urutan ke-3.
Indikatornya Lebih Jelas
Kenapa dari banyak tuntutan yang berseliweran itu hanya disarikan dalam Tritura 2.0 (Tiga Tuntutan Rakyat)?
Menurut Adhie Massardi, secara substansi dan proses politiknya, jika benar-benar dilaksanakan, Tiga Tuntutan - 1. Bersihkan Kabinet dari Anasir Joko Widodo, 2. Kembalikan Independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan 3. Reformasi Polri dan Ganti Kapolri – lebih dari 80% persoalan bangsa yang dituntutkan itu akan terselesaikan.
“Tritura 2.0 itu akan menjadi stimulus bagi penyelesaian berbagai persoalan bangsa,” katanya.
Lebih dari itu, menurut Adhie, dengan Tiga Tuntutan itu rakyat akan lebih mudah memantau pelaksanaannya. Sebab indikator dilaksanakan atau tidaknya sangat jelas.
Bersihkan kabinet dari anasir Joko Widodo bisa kelihatan langsung pasca reshuffle kabinet. Kembalikan indpendensi KPK bisa langsung terlihat jika UU KPK dikembalikan ke sebelum perubahan, dan lembaga anti-rasuah itu segera buka skandal gratifikasi yang dilaporkan Ubedilah Badrun dan masuk ke Blok Medan melibatkan anak-anak dan menantu Joko Widodo.
“Sedangkan reformasi di tubuh Polri kan sejak langkah pertama sudah sangat jelas dan terukur indikatornya, yakni digantinya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo,” pungkas Adhie Massardi.
