Jakarta, MNID. Setidaknya tiga menteri bertanggung jawab atas banjir besar dan longsor hebat yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ketiga menteri itu adalah Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, dan Menteri Lingkungan Hidup.
Aktivis lingkungan hidup Ruslan Padli yang sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Komunikasi Politik di Universitas Paramadina meminta Presiden Prabowo Subianto tegas dan memecat ketiga menteri itu.
Dia mengatakan, banjir besar dan longsor hebat di Sumatera telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang sangat serius. Laporan terakhir mencatat lebih dari 969 warga meninggal dunia, 252 hilang, serta ribuan lainnya terpaksa mengungsi. Ribuan rumah, jembatan, dan fasilitas umum yang rusak berat memperburuk kondisi darurat yang terjadi di wilayah tersebut.
Bencana besar ini bukanlah takdir alam, tetapi merupakan akumulasi kelalaian sistemik di level kementerian yang bertanggung jawab mengatur perizinan, pengawasan, dan perlindungan kawasan hutan.
“Kalau bicara tanggung jawab, itu ada di Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, dan Menteri Lingkungan Hidup. Mereka memegang kewenangan pengendalian hutan dan izin-izin yang menentukan wajah ekologis daerah hulu. Jika pengawasan gagal, pejabat tertinggi harus dievaluasi, dan bila perlu dicopot,” tegas Padli.
Kerusakan Ekologis Jadi Akar Bencana
Padli menjelaskan bahwa banjir bandang yang membawa kayu gelondongan, lumpur, dan sedimen tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekologis yang kian menurun. Pembukaan lahan di daerah hulu, ekspansi pemukiman ke dataran tinggi, aktivitas tambang, serta perubahan fungsi hutan menyebabkan tutupan vegetasi menyusut drastis.
“Ketika hutan hilang, tanah kehilangan kemampuan menahan air. Saat hujan deras turun, air langsung mengalir deras ke hilir dan berubah menjadi bencana. Ini bukan fenomena tunggal, ini bencana ekologis yang dibuat oleh manusia,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa menyalahkan kepala daerah, misalnya polemik pemberhentian Bupati Aceh Selatan yang sedang umrah saat bencana—tidak akan menyentuh akar masalah.
“Yang harus diusut itu aktor struktural di pusat, bukan menciptakan drama politik personal di daerah. Kita butuh transparansi untuk melihat siapa yang membiarkan hutan habis dan siapa yang lalai mengawasi izin-izin kritis itu,” katanya.
Laporan Tidak Akurat ke Presiden
Dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Aceh pada 7–8 Desember 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan laporan bahwa listrik di Aceh akan menyala 97 persen pada malam hari.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak wilayah masih gelap gulita.
Keesokan harinya, Anggota DPR RI Khalid membantah pernyataan tersebut. Ia menyebut menerima laporan bahwa pada saat kunjungan Presiden, hanya sekitar 60 persen listrik yang menyala di 18 kabupaten/kota terdampak banjir dan longsor.
Padli menilai bahwa ketidakakuratan informasi seperti itu adalah tindakan yang membahayakan.
“Laporan palsu atau tidak akurat bukan hanya menyesatkan Presiden, tetapi juga memperlambat penanganan bencana. Masyarakat Aceh butuh kepastian dan tindakan nyata, bukan angka yang dibesar-besarkan,” tegas Padli.
Tuntutan kepada Presiden
Padli menyampaikan tiga tuntutan utama yang harus segera direspons pemerintah pusat. Pertama, mengevaluasi menyeluruh dan pencopotan Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, dan Menteri Lingkungan Hidup yang dinilai bertanggung jawab atas kerusakan ekologis dan lemahnya pengawasan kawasan hulu.
Kedua, mengaudit total terhadap seluruh izin kehutanan, tambang, dan alih fungsi lahan di wilayah Sumut, Aceh, dan Sumbar.
Ketiga, melakukan investigasi mendalam terhadap praktik pembalakan, rantai perizinan, serta potensi kelalaian struktural di kementerian terkait.
Padli menegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah prioritas tertinggi negara.
“Negara tidak boleh hanya memadamkan bencana, tetapi harus menghentikan penyebabnya. Selama kerusakan lingkungan dibiarkan, tragedi akan terus berulang,” tutupnya. 

