Ini Tujuh Perusahaan Pemicu Bencana Ekologis Terburuk di Tapanuli

Image 3
Tambang emas Martabe milik Agincourt Resources.

Jakarta, MNID. Tujuh perusahaan diduga kuat menjadi biang kerok bencana ekologis besar yang melanda Tapanuli dan sekitarnya sejak Selasa, 25 November 2025. Dugaan ini disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). 

Banjir bandang dan longsor yang menerjang sedikitnya delapan kabupaten/kota di Sumut telah memaksa puluhan ribu warga mengungsi, merusak ribuan rumah, dan memutus akses ekonomi di 51 desa yang berada di 42 kecamatan.Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah mencatatkan kerusakan terparah.

Infrastruktur luluh lantak, sekolah dan rumah ibadah rusak, sementara ribuan hektare lahan pertanian tenggelam atau tersapu banjir. WALHI menegaskan: ini bukan sekadar bencana alam.

Wilayah paling terdampak adalah kabupaten/kota yang berada dalam bentang Ekosistem Harangan Tapanuli atau Ekosistem Batang Toru—hutan tropis terakhir di Sumut yang berperan sebagai penyangga hidrologis utama. Sekitar 66,7% kawasan ini berada di Tapanuli Utara, sisanya di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.

Hutan yang selama ini mengatur debit air, mencegah banjir dan erosi, terus terkikis oleh aktivitas industri ekstraktif. WALHI menilai pemerintah telah membiarkan hutan penyangga ini berubah menjadi ladang eksploitasi.

Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, menyatakan terdapat tujuh perusahaan yang diduga menjadi pemicu kerusakan hutan Batang Toru:

1. Agincourt Resources – Tambang emas Martabe
2. PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) – PLTA Batang Toru
3. PT Pahae Julu Micro-Hydro Power – PLTMH Pahae Julu
4. PT SOL Geothermal Indonesia – Geothermal Taput
5. PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) – Unit PKR Tapanuli Selatan
6. PT Sago Nauli Plantation – Perkebunan sawit Tapanuli Tengah
7. PTPN III Batang Toru Estate – Perkebunan sawit Tapanuli Selatan

Ketujuhnya beroperasi di jantung habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan spesies kunci lainnya.

"Setiap ada banjir, selalu muncul gelondongan kayu. Itu bukan fenomena alam. Itu bukti kerusakan hutan yang dibuka oleh perusahaan," tegas Rianda dalam keterangan yang diterima redaksi.

Kerusakan Hutan: Dari Tambang, PLTA, hingga PKR1. 

1.PT Agincourt Resources – Tambang Emas Martabe

Menghilangkan sekitar 300 hektare tutupan hutan dalam sembilan tahun.Lokasi Tailing Management Facility (TMF) berada dekat Sungai Aek Pahu.

Warga mengeluhkan air sungai keruh setiap musim hujan sejak PIT Ramba Joring beroperasi.Rencana ekspansi membuka 583 hektare lahan baru dan menebang 185.884 pohon.

2. PLTA Batang Toru (NSHE)Menghilangkan 350 hektare hutan di sepanjang 13 km sungai.

Limbah galian terowongan menimbulkan sedimentasi tinggi.Video banjir di Jembatan Trikora memperlihatkan gelondongan kayu dalam jumlah besar, yang disinyalir datang dari wilayah pembangunan PLTA.

3. PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan PKR

Ribuan hektare hutan di DAS Batang Toru dialihfungsikan menjadi perkebunan eukaliptus.

Memperparah degradasi kawasan koridor satwa di Dolok Sibualbuali–Batang Toru.

4. PT SOL Geothermal Indonesia – Geothermal Taput

Kawasan operasi (termasuk Geothermal Taput) disebut berada “di atau sekitar” habitat satwa dilindungi di Batang Toru.

5. PT Sago Nauli Plantation – Perkebunan sawit Tapanuli Tengah

Ada laporan lokal dan liputan yang menyebut konflik lahan / tuduhan penguasaan lahan masyarakat terhadap PT Sago Nauli (kasus tahun-tahun sebelumnya, klaim lahan ~ratusan ha oleh warga). Ini bersifat laporan berita lokal dan tuntutan warga

6. PTPN III Batang Toru Estate – Perkebunan sawit Tapanuli Selatan

Laporan analisis regional (dirujuk oleh media lokal) menyebutkan total deforestasi/degradasi di DAS Batang Toru dalam 10–15 tahun terakhir mencapai puluhan ribu hektare (angka aggragat dari studi seperti Global Forest Watch & analisis nasional). Ini menunjukkan skala masalahnya luas dan kumulatif

7. Skema PHAT Pemicu Baru Banjir Bandang
WALHI mencatat 1.500 hektare hutan terbuka dalam tiga tahun melalui skema PHAT, membuat kawasan resapan dan penyangga air hilang.