Bagi mereka, ini sudah bukan lagi sebuah kejahatan terhadap lingkungan hidup. Lebih layak dan tepat bila ditempatkan pada tataran kejahatan terhadap Hak-hak Azasi Manusia. Lebih ekstrim lagi, suatu kejahatan Ekosida yang berada lima tingkatan di atas Genosida di Gaza, Palestina.
Oleh: Zarman Syah, peneliti Indonesia di UN Institute of the Training and Research (UNITAR)
BARU-BARU ini, sekitar seminggu lalu. Di tengah hiruk-pikuk nasional soal bencana Sumatera apakah kategori nasional atau bukan, lembaga internasional terkemuka untuk program lingkungan (UNEP) telah menseleksi sejumlah tokoh lingkungan hidup dunia, guna menerima anugerah Champions of the Earth (Sang Juara untuk Bumi).
Tentu saja, yang dipilih adalah organisasi juga perorangan yang bersungguh-sungguh mendorong aksi iklim transformatif bagi bumi yang mengalami krisis lingkungan. Yakni, mereka yang kegiatannya memajukan langkah-langkah penurunan panas bumi secara berkelanjutan.
Termasuk gagasan pemikiran kembali bagaimana merancang desain pembangun kota-kota yang ramah lingkungan, perlindungan terhadap hutan dan kehidupan biodiversity di dalamnya, pengurangan emisi metana, hingga aksi mewujudkan keadilan iklim bagi yang paling rentan. Peraih Juara Bumi 2025 kali ini, tercatat telah berada di garis depan pada upaya global tersebut dalam waktu cukup lama. guna menunjukkan bahwa solusi tentang penyelamatan bumi sudah ada dan harus terus ditingkatkan baik skala ataupun kapasitasnya.
Lantas, apakah ada perorangan atau organisasi di tanah air menerima penghargaan itu? Sayangnya tidak. Selama 10 tahun lebih, Indonesia masuk nominasipun belum. UNEP, di tahun 2025 ini menjaring 127 penerima anugerah. Sekaligus memperingati 20 tahun Anniversary of the Champions of the Earth awards. Jumlah tepatnya 28 orang adalah para pimpinan negara, 77 merupakan aktifis lingkungan perorangan, sisanya 22 lagi adalah organisasi yang bergerak untuk keberlanjutan lingkungan hidup.
Kriterianya adalah, bagi para pemimpin tentu terkait dengan kebijakan yang telah mereka buat dan kerjakan. Sehingga ia selaku individu, turut mempengaruhi atau memajukan langkah-langkah global, regional, atau nasional melalui intervensi kebijakan dalam meningkatkan penyelamatan lingkungan. Mereka membangun dialog, mendorong komitmen bersama, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan lingkungan demi kebaikan planet ini.
Juga mengambil langkah berani guna menginspirasi perubahan positif dalam melindungi kehidupan di bumi. Sekaligus juga memberi suri-tauladan, menantang perilaku pengrusakan lingkungan, dan menginspirasi masyarakat luas menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.
Bagi organisasi dan perorangan, sebenarnya kriteria yang dipakai tidak jauh berbeda. Sama-sama memiliki visi kewirausahaan ‘‘save the earth’’. Yakni para visioner yang sanggup menantang arus kuat dan status quo, guna membangun kepentingan masa depan yang lebih baik dan terjaga. Mewariskan kepada generasi di bawahnya, lingkungan yang tertata tanpa pencemaran dan kerusakan. Mentrasformasikan sikap militansi dalam membangun sistem, menciptakan teknologi baru yang ramah lingkungan, dan mempelopori visi yang kreatif inovatif dalam penyelamatan kehidupan bumi serta isinya.
Antara lain juga mencakup tentang pentingnya peranan sains dan inovasi. Sekaligus juga mendorong para perintis individual, meminggirkan batas-batas pemanfaatan teknologi dalam mewujudkan lingkungan yang tertata lebih mendalam serta luas. Mereka menciptakan kemungkinan untuk dunia yang lebih bersih dan baik serta berkelanjutan. Demi terjaganya keaneka ragaman kehidupan di hutan serta lautan sebagai satu kesatuan ekosistem yang tidak terpisahkan.
Indonesia sebenarnya bukan tidak pernah menerima penghargaan tersebut. Pada akhir masa jabatannya, mantan Presiden Susilo Yudhoyono meraihnya. Tepatnya di bulan Desember tahun 2014. Ia dinilai teguh pada pendiriannya di tengah penentangnya para oligarkhi yang terkadang sangat sengit. Integritasnya terhadap lingkungan sebagai prinsip utama pembangunan nasional berkelanjutan, memungkinkan negaranya mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil. Sambil mendukung dan mempromosikan program pembangunan global yang rendah karbon.
Di hadapan KTT Pemimpin G-20 tahun 2009 di Pittsburgh, ia menjadi presiden yang pertama dari negara berkembang, yang secara sukarela berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Ia berkomitmen untuk melanjutkan memangkas emisi hingga 41% hingga tahun 2020. Di tengah prediksi berdasarkan skenario bisnis inteljen maraknya kebakaran hutan dan deforestasi guna penanaman sawit. Ia membuktikan ucapannya dengan tindakan nyata ketika ia memberlakukan moratorium dua tahun untuk konsesi penebangan hutan. Pada tahun 2011, di tengah tekanan industri oligarkhi yang sangat kuat, ia malahan melakukan perpanjangan moratorium tersebut selama dua tahun lagi.
SBY tanpa ragu menindaklanjutinya di tahun 2013. Saat ia menandatangani pembentukan lembaga REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) yang pertama di dunia pada tingkat kabinet pemerintahan. Sebagai pemimpin negara, ia juga berupaya untuk menyebarkan kesadaran masyrakat Indonesia tentang pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berharga serta bertanggung jawab.
Melalui program mengintegrasikan konservasi lingkungan ke dalam kurikulum pengajaran nasional. Bahkan mempersulit dan menghukum para pelaku kejahatan lingkungan yang mencoba menghindari penuntutan atas kejahatannya. Keteladannya sebagai seorang politisi yang tidak takut menempuh jalan hijau adalah sesuatu yang dapat menjadi kekuatan bagi banyak pemimpin negara berkembang lainnya.
Kata-katanya ketika berpidato pada pertemuan G-20 yang selalu dikenang yakni, ‘‘…adalah sebuah kemungkinan kta bersama untuk menyembuhkan perekonomian global dan sekaligus menyelamatkan planet ini pada saat yang bersamaan.”
Kata-kata tokoh environmentalis Indonesia, Emil Salim bahwa membangun tidak selalu identik dengan menjaga lingkungan ternyata kini menjadi kenyataan.
Porak porandanya kehidupan di Sumatera akibat ‘‘sudden onset disaster’’ akhir November 2025 adalah empirik yang tidak terbantahkan. Korban jiwa terus mengalami eskalasi hingga mencapai ke angka 1250 jiwa. Dari 18 kabupaten dan kota, tercatat lebih dari 52 ribu kepala keluarga atau hampir 2 juta jiwa terkena dampak musibah bencana.
Adalah wilayah di Aceh yang menunjukkan skala kehancuran yang sangat luas serta sangat masif. Layak bila kemudian Amnesty International Indonesia mengkritik tajam klaim pemerintah pusat yang menyatakan Indonesia mampu menangani sendiri bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh serta sejumlah wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Tanpa memerlukan bantuan internasional.
Nyatanya kondisi faktual di lapangan sangat bertolak belakang. Mereka menyampaikan melalui surat terbuka bernomor 248/AII–Presiden RI/XII/2025 tertanggal 12 Desember 2025. Bahkan, bencana nasional ekologis dinilai telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan yang sangat serius. Diperparah oleh lambannya gerak respons pemerintah Prabowo terhadap kerusakan lingkungan hidup yang masif dan sistematis.
Sebuah musibah nasional yang tidak saja merupakan bencana ekologis belaka namun juga bencana moral dan akhlak pimpinan dan pejabatnya. Anugerah PBB untuk bangsa Indonesia ‘‘the Champions of the Earth’’ tersapu bersih dalam hitungan hari dan jam. Sejumlah NGO dan CSO nasional maupun internasional juga telah mulai mengajukan tuntutannya. Bagi mereka, ini sudah bukan lagi sebuah kejahatan terhadap lingkungan hidup. Lebih layak dan tepat bila ditempatkan pada tataran kejahatan terhadap Hak-hak Azasi Manusia.
Lebih ekstrim lagi, suatu kejahatan Ekosida yang berada lima tingkatan di atas Genosida di Gaza, Palestina. Wallahu Alam bi Sawab.
Kemampuan rakyat kini hanya berdoa. 

