Jakarta, MNID. Bintang Mahaputera yang baru-baru ini diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada 141 orang digugat sejumlah kalangan.
Ketua Dewan Nasiolan SETARA Institute, Hendardi, misalnya, mengatakan bahwa penganugerahan Bintang Mahaputera secara massal itu bertentangan dengan UU 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Pasal 2 UU tersebut menegaskan sejumlah asas yang melimitasi secara ketat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, antara lain asas kemanusiaan, asas keteladanan, asas kehati-hatian, asas keobjektifan, dan keterbukaan.
“Penganugerahan Bintang Mahaputera pada tahun 2025 harus ditolak karena beberapa alasan yang secara substantif bertentangan dengan asas-asas dalam UU tersebut,” ujar Hendardi dalam keterangan yang diterima redaksi.
Alasan pertama, sebut Hendardi, karena beberapa tokoh yang mendapatkan Bintang Mahaputera secara objektif terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, utamanya Tragedi HAM 1998 dan Pelanggaran HAM seputar Referendum Timor Leste, seperti Wiranto.
Lalu, Presiden Prabowo juga memberikan Bintang Mahaputera kepada eks narapidana korupsi, utamanya Burhanuddin Abdullah.
“Publik mencatat dengan baik bahwa Burhanuddin merupakan salah satu ‘arsitek’ ekonomi Pemerintahan Prabowo, namun statusnya sebagai eks koruptor harusnya menjadikan yang bersangkutan tidak layak menyandang Tanda Kehormatan sangat tinggi sekelas Bintang Mahaputera,” ujanya.
Selain itu, Prabowo juga dinilai secara subjektif memberikan Bintang Kehormatan kepada para pembantunya di Kabinet Merah putih, dari Teddy Indra Wijaya hingga Bahlil Lahadalia.
“Publik secara massif mempertanyakan melalui media sosial dan media alternatif lainnya, apa jasa para Menteri yang baru menjabat dengan penunjukan politik Presiden itu? Integritas para menteri yang mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera tersebut juga tidak terbukti teruji, bahkan beberapa nama Menteri penerima Bintang Mahaputera itu disebut-sebut dalam kasus korupsi,” urai Hendardi menanyakan.
Berbagai penolakan publik yang luas, dari akademisi dan intelektual sampai para aktivis masyarakat sipil, juga pertanyaan-pertanyaan mereka atas integritas dan jasa besar para penerima Bintang Mahaputera, menurut Hendardi, memperlihatkan bahwa proses profiling calon penerima Bintang Mahaputera tidak terbuka dan tidak melibatkan publik.
Selain itu, proses penganugerahan Bintang Mahaputera yang serampangan tersebut, selain menurunkan kredibilitas dan nilai dari Penghargaan negara itu, juga akan menjadi preseden bagi Presiden dan Pemerintahan dalam jangka panjang.
“Presiden sudah pasti tidak akan menganulir pemberian Bintang Mahaputera tersebut, tapi publik mesti mengingatkan Presiden bahwa tindakan negara, termasuk dalam bentuk pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan harus tunduk pada hukum negara. Mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pelanggaran serius atas Sumpah Presiden sendiri yang diucapkan dalam Pelantikan,” demikian Hendardi.