Risman Rachman: Banjir Aceh Bencana Internasional

Image 3
Masjid di asrama putra Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang masih berdiri kokoh di antaranya tumpukan kayu yang terbawa arus banjir dan tanah longsor./Foto: Kompas

Banda Aceh, MNID. Mantan Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Risman Rachman, menilai bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh sebagai bencana ekologi berskala internasional karena berdampak serius terhadap Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), salah satu sistem penyangga iklim terpenting di Asia Tenggara dan dunia.

Menurut Risman, dampak bencana tidak hanya dirasakan secara lokal berupa kerusakan permukiman, hilangnya rumah warga, serta terputusnya infrastruktur, tetapi juga memperparah kerusakan ekologis di kawasan Leuser.

“Ini tidak bisa lagi dilihat sebatas bnjir bandang atau tanah longsor saja. Ini adalah sinyal bahwa paru-paru dunia yang ada di Aceh sedang kolaps, dan dunia masih terbaca diam,” ujar Risman Rachman dalam keterangan pers di Banda Aceh, Senin, 15 Desember 2025, seperti dikutip dari RMOL Aceh

Risman mengungkapkan, pada awal tahun 2025 WALHI Aceh telah memperingatkan kondisi darurat ekologi di Aceh. Berdasarkan data yang pernah dilansir RRINews, sekitar 70 persen bencana alam berupa banjir dan tanah longsor terjadi di dalam kawasan Leuser.

Kawasan Ekosistem Leuser mencakup wilayah seluas sekitar 2,6 juta hektare yang meliputi 13 kabupaten/kota di Aceh serta empat kabupaten di Sumatera Utara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13 kabupaten/kota di Aceh telah berstatus darurat bencana, ditambah lima wilayah lainnya yang juga terdampak.

Risman mengingatkan pemerintah bahwa KEL telah diakui secara internasional sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO melalui program Man and the Biosphere. Selain itu, sebagian wilayah KEL, yakni Taman Nasional Gunung Leuser seluas sekitar 830 ribu hektare, telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO sejak 2004 sebagai bagian dari Tropical Rainforest Heritage of Sumatra.

Menurut Risman, kerusakan di kawasan Leuser dipicu oleh ekspansi perkebunan sawit ilegal, pembukaan jalan di zona inti kawasan, serta lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan.

“Ketika negara bisa menyumbang Rp16 triliun untuk hutan Amazon, tapi membiarkan Leuser tenggelam dalam lumpur bencana, itu bukan solidaritas—itu ironi,” ujarnya.

Bukti Kerusakan Ekologis

Risman menyebutkan, banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi pada akhir tahun 2025 di 18 kabupaten/kota di Aceh, termasuk Aceh Tenggara, menjadi bukti nyata kerusakan ekologis. Selain merendam permukiman warga, bencana tersebut menghancurkan Stasiun Penelitian Orangutan di Ketambe, Aceh Tenggara.

Stasiun tersebut merupakan stasiun riset orangutan tertua di dunia yang berdiri sejak 1971 dan dikenal sebagai simbol penting konservasi primata global.

"Tak hanya itu, seekor orangutan Sumatra ditemukan mati terseret banjir di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Peristiwa ini menandai dampak langsung bencana terhadap spesies yang sudah sangat terancam punah," ujarnya.

Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa banjir lumpur di Aceh Tenggara dipicu oleh hujan ekstrem di kawasan hulu Leuser. Kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa degradasi hutan telah memperburuk daya dukung lingkungan.

Kepentingan Internasional di Kawasan Leuser

Risman menegaskan, Kawasan Ekosistem Leuser bukan hanya milik Aceh atau Indonesia. Berdasarkan laporan Global Conservation, Leuser merupakan satu-satunya kawasan di dunia tempat empat megafauna Asia seperti, harimau, gajah, orangutan, dan badak, masih hidup berdampingan di alam liar.

Selain menyimpan sekitar 1,6 miliar ton karbon, kawasan ini juga menyediakan air bersih serta menopang kehidupan lebih dari empat juta orang. Leuser disebut sebagai salah satu kawasan lindung paling tak tergantikan di dunia.

"Itu artinya, jika hutan Leuser hilang, maka 85 persen populasi orangutan Sumatera akan kehilangan habitatnya, lebih dari 100 harimau Sumatera dan 50 dari 80 badak Sumatera liar akan terancam punah. Dengan begitu, dunia akan kehilangan salah satu benteng terakhir penyerapan karbon tropis di Asia Tenggara," ujar Risman.

Berdasarkan kondisi tersebut, Risman mendesak Pemerintah Aceh, pemerintah pusat, serta komunitas internasional untuk mengambil langkah konkret. Ia meminta adanya deklarasi status bencana internasional atas bencana Aceh yang mencakup kawasan Leuser dengan dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan UNESCO.

Selain itu, Risman mendorong diberlakukannya moratorium total terhadap izin baru di Kawasan Ekosistem Leuser, termasuk proyek pertambangan dan perkebunan, serta pengakuan hutan adat dan peran komunitas lokal sebagai garda terdepan perlindungan hutan.

“Jika dunia bisa bersatu menyelamatkan Amazon, mengapa Aceh yang menjaga Leuser dibiarkan sekarat dalam senyap? Apakah kita menunggu megafauna terakhir mati baru bertindak?” pungkasnya.

Berita Terkait

Berita Lainnya