Di Norwegia, seorang anggota parlemen datang ke gedung legislatif dengan transportasi umum, tanpa iring-iringan mobil mewah, tanpa sirine yang minta jalan. Mereka bahkan makan siang di kantin yang sama dengan pegawai biasa. Yang dibutuhkan di DPR adalah orang-orang yang sudah selesai dengan diri mereka sendiri: yang sudah merasa cukup, dan menganggap hidup sebagai kesempatan berbuat untuk banyak orang. Itu makna sesungguhnya dari jabatan profetik: niat yang sejak awal tersambung kepada Tuhan, bukan kepada syahwat dan kantong nasi.
Oleh: Darmawan Sepriyossa
DI gedung khas di Senayan itu, nyaris setiap hari sorot kamera menyorot wajah-wajah para legislator. Mereka duduk di kursi empuk, berdebat—atau pura-pura berdebat—tentang undang-undang yang akan menentukan nasib puluhan juta rakyat. Namun rakyat di luar gedung itu tahu, debat itu sering hanya formalitas.
Lihat saja, undang-undang besar seperti Omnibus Law, UU IKN, atau UU Minerba terbaru, lolos bukan karena kualitas perdebatan, melainkan karena kesepakatan politik dan tekanan kekuasaan. DPR kita, dalam sepuluh tahun terakhir, lebih sering menjadi “mesin stempel” ketimbang lembaga legislatif yang sesungguhnya.
Mereka memang dibayar besar. Sangat besar. Gaji pokok seorang anggota DPR tampak sepele, hanya sekitar Rp4 juta hingga Rp6 juta per bulan. Tetapi itu hanya angka di permukaan. Dengan tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi, tunjangan kehormatan, tunjangan listrik dan telepon, tunjangan rumah, dana aspirasi, dana reses, bahkan tunjangan untuk staf pribadi, jumlah yang mereka terima bisa lebih dari Rp100 juta sebulan. Bahkan ada hitungan yang menyebut bisa mencapai Rp230 juta per bulan. Angka itu berlipat berkali-kali dari upah buruh atau pekerja biasa di kota-kota besar, yang hanya sekitar Rp3–6 juta.
Perbandingan itu kian menyakitkan ketika melihat negara-negara lain. Di Malaysia, gaji anggota parlemen sekitar Rp60–90 juta. Di Thailand hanya Rp56 juta. Di Filipina sekitar Rp96 juta. Di Singapura, memang lebih tinggi: sekitar Rp183 juta per bulan, tetapi itu di negara dengan pendapatan per kapita hampir delapan kali lipat Indonesia. Amerika Serikat membayar anggota kongresnya sekitar Rp235 juta per bulan, tapi setiap detail penggunaan dana mereka diaudit dan dibuka ke publik. Sementara di Indonesia, rakyat lebih sering mendengar cerita tentang dana reses yang tidak jelas, perjalanan dinas yang lebih mirip wisata, hingga mobil dinas yang selalu baru saban periode.
Bila kita tengok ke Eropa Utara, kontrasnya makin terasa. Di Norwegia, seorang anggota parlemen datang ke gedung legislatif dengan transportasi umum, tanpa iring-iringan mobil mewah, tanpa sirine yang minta jalan. Mereka bahkan makan siang di kantin yang sama dengan pegawai biasa. Di Finlandia, beberapa anggota parlemen masih tinggal di apartemen sewaan, berjalan kaki ke parlemen, tanpa pengawal pribadi. Di Denmark, ada tradisi yang hampir suci: anggota parlemen tak menerima gaji berlebihan, hanya cukup untuk menutupi biaya hidup standar, agar mereka tak pernah tergoda menjadikan jabatan itu sebagai sumber kekayaan.
Sementara di Indonesia, kursi DPR diperebutkan seperti tiket menuju surga dunia. Mobil dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, tunjangan berlapis, semua menggiurkan. Pertanyaannya: apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat? Atau mereka bekerja untuk mempertahankan gaya hidup yang sudah terlanjur dimanjakan?
Dalam kondisi rakyat dicekik harga beras, listrik, dan BBM, pemandangan seperti itu bukan hanya ironi, tapi juga penghinaan. Apa yang mereka lakukan untuk membenarkan semua fasilitas itu? Apakah mengawasi pemerintah dengan kritis? Apakah memperjuangkan suara rakyat kecil? Tidak.
DPR sepuluh tahun terakhir justru sibuk menjaga relasi dengan oligarki dan eksekutif. Omnibus Law yang menyapu hak-hak buruh lahir dari gedung itu. UU IKN yang menyedot triliunan anggaran rakyat demi kota di hutan Kalimantan pun disahkan di sana. UU Minerba terbaru, yang menguntungkan korporasi tambang raksasa, juga ditandatangani dengan cepat. Semua terjadi tanpa perlawanan berarti dari para wakil rakyat.
Sungguh, kata Edmund Burke, “All that is necessary for the triumph of evil is that good men do nothing. Yang diperlukan agar kejahatan menang hanyalah bila orang-orang baik diam tidak berbuat apa-apa.”” Dan di Senayan, yang terjadi bukan hanya diam, tapi ikut mengamini. Rakyat hanya jadi angka dalam daftar pemilu, setelah itu dilupakan.
Padahal, kursi DPR seharusnya bukan untuk orang-orang yang masih sibuk dengan urusan pribadi. Bukan pula berarti kursi itu hanya untuk orang kaya. Sebab sejarah membuktikan, banyak orang kaya justru rakus, tak pernah merasa cukup, hidup hanya untuk menimbun materi. Yang dibutuhkan di DPR adalah orang-orang yang sudah selesai dengan diri mereka sendiri: yang sudah merasa cukup, dan menganggap hidup sebagai kesempatan berbuat untuk banyak orang. Itu makna sesungguhnya dari jabatan profetik: niat yang sejak awal tersambung kepada Tuhan, bukan kepada syahwat dan kantong nasi.
Istilah profetik sendiri berasal dari kata prophet—nabi. Maka, jabatan profetik adalah jabatan yang dijalankan dengan roh kenabian: amanah, adil, jujur, dan penuh pengabdian. Bukan jabatan untuk mencari harta, tapi untuk memberi makna. Itulah seharusnya DPR: lembaga yang diisi oleh orang-orang yang sudah selesai dengan urusan perut, yang hadir hanya untuk memastikan kebijakan negara selaras dengan suara rakyat.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Hakikat seorang pemimpin adalah mengutamakan kebenaran, meski kebenaran itu membinasakan dirinya.” Kalimat itu mestinya jadi kaca bagi setiap anggota DPR.
Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam sebuah hadis: “Barang siapa diminta memimpin suatu kaum padahal ia merasa tidak pantas, hendaklah menolaknya. Jika dia mengerjakannya meski tidak pantas, maka dia dan rakyatnya celaka.” (HR. Ahmad). Tapi lihatlah siapa yang duduk di Senayan hari ini. Banyak dari mereka justru datang karena haus kekuasaan, bukan karena kesiapan moral. Maka wajar jika yang lahir bukan kebijakan untuk rakyat, melainkan peraturan untuk memuaskan para pemodal.
Negara ke depan harus berani melakukan reformasi besar terhadap DPR. Gaji dan fasilitas mereka harus dibuat biasa saja, cukup untuk hidup layak, tapi tidak berlebihan. Sebab berlebihan hanya akan menarik orang-orang serakah untuk mencalonkan diri. Orang yang masuk DPR seharusnya adalah mereka yang siap mengabdi, bukan mencari. Mereka yang hidupnya sudah ditopang oleh kecukupan, dan merasa lebih penting membaktikan diri ketimbang memperkaya diri.
Banyak orang mungkin menolak ide ini, dengan alasan populis: “Kalau gaji kecil, nanti mereka korupsi.” Itu alasan basi. Justru karena gaji dan fasilitas terlalu besar, mereka jadi rebutan, jadi rebut kursi, jadi lahan transaksional politik yang kotor. Di Amerika, gaji anggota kongres memang besar, tetapi proses rekrutmennya sangat ketat, dan transparansi publik sangat tinggi. Di Norwegia dan Finlandia, gaji parlemen lebih kecil, tetapi martabatnya lebih tinggi, karena yang duduk di sana adalah orang-orang yang sudah selesai dengan urusan perut.
Sepuluh tahun terakhir sudah membuktikan: negara ini rusak bukan hanya karena eksekutif yang bobrok, tapi juga legislatif yang sama bobroknya. Jika DPR masih terus diisi oleh kaum serakah, maka demokrasi hanya akan jadi panggung kosong: rakyat bersorak di luar, tapi keputusan di dalam sudah ditulis oleh oligarki.
Harus ada perubahan besar. Harus ada keberanian untuk menata ulang. Dan keberanian itu hanya bisa lahir dari kesadaran bahwa jabatan di DPR adalah amanah profetik. Ia harus menjadi jalan pengabdian, bukan jalan dagang.
Seperti pernah ditulis Václav Havel, “Politik bukan seni kemungkinan, melainkan seni yang menghidupkan moralitas.” Jika DPR kita tidak kembali ke arah itu, maka yang lahir hanyalah kumpulan tokoh dagelan tanpa jiwa. Dan kita, rakyat, harus berani menutup peluang itu.