Hasan Nasbi Mundur: Gagalnya Komunikasi Istana dan Tantangan Era Prabowo

Image 3
Pendiri lembaga survei politik Cyrus Network Hasan Nasbi

Oleh: Darmawan Sepriyossa, Peneliti GREAT Institute

KEMUNDURAN Hasan Nasbi dari posisi Kepala Kantor Komunikasi Presiden bukan sekadar pengunduran diri administratif. Ia adalah tanda yang membakar: bahwa komunikasi kekuasaan di era Presiden Prabowo tengah berada di jalan buntu. Pada 21 April 2025 ia menandatangani surat pengunduran diri, tetapi gema kejatuhannya jauh terdengar sebelum itu.

Dua nama telah lebih dulu meramalkan kejatuhan ini: Syahganda Nainggolan dari GREAT Institute, dan pengamat militer-politik Slamet Gintings. Keduanya membaca gelagat: bahwa Hasan—dengan segala kontroversi dan gaya komunikasi nyelenehnya—tidak akan lama di Istana. Bukan karena ia tidak pandai berbicara, tetapi karena ia tidak mampu membangun narasi untuk seorang pemimpin yang kompleks seperti Prabowo Subianto.

“Hasan Nasbi bukan mundur. Dia dipaksa mundur. Dan saya percaya, Presiden Prabowo sendiri yang melakukannya,” kata Syahganda dalam kesempatan pertama setelah “breaking news” mundurnya Hasan Nasbi beredar. Keyakinan Syahganda tidak sekadar dugaan. Ia melihat kegagalan Hasan mengelola krisis komunikasi seperti insiden kepala babi kepada Tempo, cara Hasan membela Kaesang Pangarep, dan warisan dugaan keterlibatannya dalam aliran dana Teman Ahok—semuanya telah menggerus kredibilitasnya sebagai corong Presiden.

Sesungguhnya, jabatan Kepala Kantor Staf Komunikasi Presiden bukan semata soal berbicara di depan kamera atau membaca rilis pers. Ia adalah pemegang kendali orkestrasi narasi, pelayan wacana publik, dan arsitek persepsi rakyat atas Presiden.

Namun komunikasi politik di era Prabowo lebih rumit dari sekadar siaran pers. Karakter Prabowo yang emosional, spontan, dan kerap melanggar pakem protokol politik klasik membutuhkan seorang komunikator yang bukan hanya bisa berbicara, tapi juga memahami jiwa rakyat dan seni menyusun cerita besar. Dunia komunikasi kini tidak bisa lagi top-down. Ia menuntut kecepatan, keterhubungan, dan konsistensi lintas medium.

Hasan gagal bukan karena ia kurang pintar. Ia gagal karena ia mencoba menyulap Presiden Prabowo menjadi ‘Presiden konvensional’, padahal yang dibutuhkan justru narasi tentang keberaniannya yang liar, keberpihakan yang meledak-ledak, dan orisinalitas yang tak bisa ditiru.

Dalam dunia yang dibanjiri disinformasi, manajemen komunikasi bukan lagi seni persuasi, tapi seni kecepatan dan kejujuran. Dunia politik hari ini adalah pertarungan antara narasi yang menyentuh dengan algoritma yang mendorong. Amerika Serikat, misalnya, membangun White House Office of Digital Strategy sebagai garda terdepan komunikasi, bukan sekadar pembaca naskah. Jerman menanamkan Public Diplomacy ke seluruh level kementerian. Bahkan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky berhasil mengemas kepemimpinan perang melalui storytelling digital yang menyentuh dunia.

Prabowo bisa belajar dari itu. Bahwa keberhasilan komunikasi bukanlah menutup mulut Presiden, tapi mengubah setiap luapan emosinya menjadi cerita yang menyentuh: tentang nasionalisme, keadilan, keberpihakan. Seperti kata Aristoteles, “The soul never thinks without a picture.” Rakyat tidak menelan data, mereka memakan cerita. Maka, jangan beri mereka statistik. Berilah mereka cerita petani, anak sekolah, nelayan, yang merasakan tangan negara.

Jadi, seperti apa komunikasi efektif yang dibutuhkan era Prabowo? Pertama, diperlukan perubahan sistem, bukan sekadar penggantian figur. Komunikasi pemerintahan Prabowo harus dibangun dalam format “orkestrasi narasi” yang terintegrasi lintas kementerian dan institusi. Setiap bulan atau kuartal, satu tema besar diangkat dan seluruh corong komunikasi pemerintah—dari menteri hingga kepala desa—bicara dalam irama yang sama.

Kedua, Kantor Komunikasi Presiden idealnya dipimpin oleh figur yang bukan hanya paham politik, tapi juga ahli dalam membaca sentimen publik dan mengelola media sosial. Di bawahnya, paling tidak harus ada empat deputi utama: (1) Deputi Narasi dan Storytelling Rakyat; (2) Deputi Hubungan Media dan Pengaruh Publik; (3) Deputi Komunikasi Krisis dan Respons Cepat; dan (4) Deputi Partisipasi Publik dan Forum Rakyat.

Ketiga, dibentuk tim khusus yang merancang konten populer: video pendek, dokumenter, meme, hingga kisah-kisah rakyat yang menyentuh. Ini bukan tugas buzzer, melainkan kerja kreatif dan empatik yang berbasis data dan kejujuran. Sebab seperti kata Imam Ali bin Abi Thalib, “Kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi.”

Keempat, dibentuk sistem respons krisis berbasis digital monitoring, bekerja 24/7. Sebuah “war room” yang bisa mendeteksi krisis sejak dini dan menyusun narasi korektif sebelum isu membesar. Krisis tidak bisa dihindari, tapi bisa dikendalikan.

Kelima, Presiden Prabowo sendiri harus tampil sebagai Chief Storyteller bangsa ini. Bukan dengan pidato-pidato formal, tapi melalui dialog rakyat, vlog ringan, atau forum daring interaktif yang menyentuh langsung publik. Ini zaman di mana otoritas tidak lagi datang dari podium, tapi dari kedekatan.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kullu kum ra’in wa kullu kum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi”—“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin.” Termasuk soal bagaimana ia mengkomunikasikan kekuasaannya kepada yang dipimpin. Seorang presiden bukan hanya kepala negara, ia adalah kepala narasi.

Dalam komunikasi, kepalsuan adalah kematian lambat. Publik bisa menerima pemimpin yang marah, selama ia jujur. Tetapi mereka akan memberontak terhadap pemimpin yang terlihat berpura-pura baik di layar, namun zalim dalam keputusan.

“Rakyat tidak butuh Presiden yang bersih seperti kertas kosong,” ujar Syahganda. “Mereka butuh Presiden yang kotor oleh lumpur rakyat, tapi tetap berdiri di atas moral yang tinggi.”

Kini, tantangan Prabowo bukan lagi sekadar menyusun kabinet atau menurunkan harga. Tantangannya adalah: bagaimana agar setiap langkah pemerintahannya terasa, terdengar, dan menyentuh.

Dalam dunia tanpa rahasia seperti sekarang, kekuasaan yang tidak dikomunikasikan dengan baik adalah kekuasaan yang sebentar lagi kehilangan makna.

Inilah momen bagi Prabowo untuk membuktikan bahwa ia bukan hanya ksatria di medan tempur, tapi juga pemimpin yang mampu mengubah dirinya menjadi cerita yang membuat rakyat percaya. Sebab seperti kata Imam Syafi’i: “Orang berakal adalah yang bisa menempatkan kata-katanya sebagaimana ia menempatkan senjatanya.”

Komunikasi, adalah senjata itu.

 

Berita Terkait

Berita Lainnya