Resolusi Konflik Palestina-Israel: Tiga Opsi Kebijakan Prabowo

Image 3
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 28 Mei 2025./Antara

Oleh: Hanief Adrian, pengamat geopolitik dan kebijakan publik GREAT Institute

PERTEMUAN Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Emmanuele Macron pada Rabu (28/5/2025) lalu menghasilkan beberapa pernyataan penting tentang sikap politik luar negeri Indonesia mengenai konflik Palestina dan Israel. Prabowo dalam pidatonya mengatakan, Indonesia bersedia mengakui eksistensi dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Israel mengakui kemerdekaan Palestina.

Sontak pernyataan Prabowo dalam keterangan pers bersama Macron di Istana Negara menimbulkan kontroversi terutama di media sosial. Penggiat isu kemerdekaan Palestina tentu sangat marah, kemudian mencoba mengaitkan sikap tersebut dengan kedekatan Prabowo dan keluarga Rothschild yang pada Agustus 2024 lalu dalam peresmian pabrik di Batam. Dunia memang mengenal keluarga Rothschild sebagai sponsor utama pendirian negara Israel di atas tanah Palestina melalui deklarasi rahasia Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour pada tahun 1917.

Analisis berbau cocoklogi itu sendiri sangat jauh kaitannya dengan sikap politik Prabowo yang berideologi sosialistis pro demokrasi. Apalagi sebagai prajurit yang berideologi Pancasila dan Sapta Marga, tentu saja sikap Prabowo didasarkan pada konstitusi yang mengamanatkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan tugas pemerintah adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Resolusi konflik Palestina-Israel dalam bentuk pengakuan eksistensi dua negara (Two States Solution) sendiri sudah menjadi kerangka kerja perdamaian kawasan Timur Tengah yang menjadi komitmen dunia internasional. Kerangka kerja tersebut adalah perjanjian Camp David I 1978 yang ditandatangani bersama Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin disaksikan Presiden AS Jimmy Carter, di mana Mesir mengakui eksistensi Israel sebagai negara dan Israel mengembalikan kedaulatan Mesir atas Semenanjung Sinai yang direbut hasil Perang Enam Hari 1967.

Kerangka kerja selanjutnya adalah perjanjian Camp David II tahun 2000 yang ditandatangani Presiden Palestina Yasser Arafat dan PM Ehud Barak disaksikan Presiden Bill Clinton. Prinsipnya adalah Palestina sebagai bangsa yang berkali-kali kalah dengan Israel di tiga kali perang, tersingkir dari Yordania dan Libanon sepanjang dekade 1970-an dan 1980-an, akhirnya memilih berdamai dengan konsekuensi mereka dapat mendirikan Pemerintahan Bangsa Palestina (Palestinian National Authority) sebagai evolusi dari Organisasi Pembebasan Palestina (Palestinian Liberation Organization) yang dipimpin Yasser Arafat sebagai hasil dari ditandatanganinya Kesepakatan Perdamaian Oslo antara Arafat, PM Israel Yitzhak Rabin dan Presiden Bill Clinton pada 1993.

Walaupun kemudian Rabin dibunuh pemuda Yahudi radikal Yigal Amir dan Arafat pada intifadah kedua dikepung hingga sakit-sakitan dan wafat pada tahun 2005 dengan dugaan diracun, tiga kerangka kerja perdamaian tersebut tidaklah menjadi batal (repealed), karena tiga pihak inisiator perdamaian itu tidak pernah membatalkan. Perdana Menteri Netanyahu yang memang dikenal bersikap sangat keras soal Gaza, bahkan tidak pernah terlihat akan membatalkan perdamaian tersebut, walaupun tidak juga berniat mengimplementasikannya dalam bentuk penarikan militer dan pembatasan perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, dan penghentian invasi militer ke Jalur Gaza yang sebenarnya sudah berulang kali dilakukan Israel sejak intifada kedua tahun 2002.

Dari realitas objektif tersebut, Prabowo tentu memiliki beberapa opsi kebijakan sebagai alternatif dukungan terhadap kemerdekaan bangsa Palestina. Pertama tentu saja opsi mendukung Solusi Dua Negara yang pada hari ini kampiunnya adalah PBB dan Uni Eropa. Bold move sudah dilakukan Spanyol dan Portugal yang sebenarnya punya catatan kejahatan inkuisisi yang memaksa Yahudi dan Muslim berpindah agama ke Katolik atau diusir dari semenanjung Iberia, dengan mengakui eksistensi Israel yang mayoritas Yahudi dan Palestina yang mayoritas Muslim.

Bold move selanjutnya sedang didorong oleh Presiden Macron yang mendorong Solusi Dua Negara bersama Perdana Menteri Inggris Keir Starmer yang secara pasif mendesak dihentikannya perluasan invasi militer ke Gaza sebagai respon Israel atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Uni Eropa memang seperti sedang berperan sebagai pemimpin dunia internasional menggantikan Amerika era Donald Trump yang sikap politiknya _erratic_ soal Gaza, di mana satu waktu mendorong relokasi warga Gaza lalu di waktu lain mendesak Israel menghentikan invasi atau bantuan militer AS akan distop.

Sikap Prabowo yang paling realistis-objektif dalam dinamika geopolitik yang secara alamiah menjadi anarkis multipolar menurut pandangan John Mearsheimer karena berkurangnya peran dominan Amerika sebagai kekuatan adikuasa tunggal pasca berakhirnya Perang Dingin, tentu saja bersekutu dan memihak sikap dunia internasional yang sedang dipimpin Eropa. Lawatan Prabowo ke Turki dan negara-negara Arab pada pertengahan April lalu bahkan memberi peluang kepada Prabowo bahwa ia dapat menjadi pemimpin perdamaian dari dunia Islam.

Opsi kedua yang didasarkan pada realitas subjektif adalah berupaya keras mendorong Pemerintahan Israel di bawah Netanyahu ke Mahkamah Kejahatan Internasional berdasarkan Statuta Roma bahwa dugaan kejahatan genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang dapat diadili di pengadilan manapun di negara penandatangan Statuta Roma. Republik Afrika Selatan, Republik Rakyat Bangladesh, Negara Plurinasional Bolivia, Uni Komoro dan Republik Djibouti mengambil opsi kebijakan ini terhadap Israel.

Indonesia tentu saja tidak bisa mengambil sikap tersebut kecuali meratifikasi Statuta Roma ke dalam sistem perundang-undangan kita untuk menguatkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU-HAM) dan UU Peradilan HAM. Tetapi, Israel bukanlah penandatangan Statuta Roma sehingga Pemerintahan Netanyahu tidak bisa ditangkap untuk diadili kecuali sedang mengunjungi negara penandatangan Statuta Roma. Maka opsi ini jika dilakukan Prabowo sebagaimana usulan para aktivis HAM, kelompok aktivis yang paling tidak percaya pada kredibilitas Prabowo dalam penegakan HAM, akan memakan waktu panjang dan berlarut-larut.

Opsi ketiga, yang kemungkinannya paling kecil dijadikan kebijakan oleh Prabowo tentu saja mendukung segala upaya mengalahkan Israel dalam pertempuran dengan Hamas di Gaza, seperti yang dilakukan Pemerintahan Turki era Erdogan mendukung Ukraina yang diinvasi Rusia, Nagorno-Karabakh yang didiami bangsa Azerbaijan namun diduduki Armenia. Ukraina sendiri membalas jasa Turki dengan mendukung Koalisi Nasional Suriah untuk membantu Tentara Nasional Suriah yang didukung Turki untuk mengalahkan Militer Rusia yang membantu Tentara Arab Suriah di bawah Rezim Bashar Al Assad, menyelesaikan perang saudara yang berlangsung sejak 2011.

Mengapa kemungkinannya kecil? Karena jika Indonesia mendukung Hamas sebagaimana Iran yang juga mendukung Hizbullah di Libanon dan Houthi di Yaman, konsekuensinya adalah Indonesia mendukung organisasi yang diberi cap kelompok teror oleh dunia internasional. Turki dalam politik luar negeri berlandaskan prinsip Neo-Ottomanisme, mendukung Koalisi Nasional yang diakui sebagai representasi pihak yang bersengketa dengan Rezim Al Assad di Suriah, mendukung Ukraina yang didukung dunia internasional melawan Rusia.

Apakah mungkin Prabowo dengan Pemerintahannya memberikan bantuan senjata, perbekalan dan finansial kepada aktor non-negara seperti Hamas yang didukung Iran? Mungkin saja, karena negara seperti Turki bahkan secara diam-diam pernah menjadi transit milisi Arab untuk membantu perjuangan bangsa Bosnia dan etnis Turkoman untuk membantu perjuangan etnis Uigur melawan Pemerintah Republik Rakyat Cina. Tetapi harus diingat, kemerdekaan Bosnia dan perlawanan bangsa Uigur didukung oleh dunia Barat khususnya pakta pertahanan NATO.

Pertanyannya, apakah Prabowo menunjukkan ketegasan sikap sebagai pemimpin negara non-blok yang mengutamakan kemerdekaan dan perdamaian abadi, jika mendukung aktor non-negara seperti Hamas yang memiliki kekuatan militer Brigade Al Qassam itu? Tentu saja tidak, Prabowo akan dicap sebagai pemimpin maniak perang, dan ini tentu saja tidak sejalan prinsip demokrasi yang mengutamakan perdamaian tidak hanya kemerdekaan dan keadilan.

Maka, sebagai peneliti GREAT Institute, kami mengusulkan sikap realistis dan objektif yang sebaiknya diambil Presiden Prabowo Subianto sebagai pemimpin dunia Islam dan Global South adalah mendukung Solusi Dua Negara yang sedang dirancang dunia internasional. Selain sejalan dengan konstitusi, sikap memilih berdamai tentu saja merupakan ciri pemimpin yang demokratis dan mengutamakan adab. Apalagi sebagai Jenderal Tempur yang kerap menyaksikan anak buahnya menjadi korban perang, pada umumnya mereka lebih mengutamakan perdamaian alih-alih memilih perang.

Berita Terkait

Berita Lainnya