Oleh: Sobirin Malian, Staf Pengajar Program Magister Hukum UAD
FENOMENA rangkap jabatan di Indonesia sudah berlangsung sangat lama terutama yang dibahas kali ini sejak era reformasi. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 5 September 2023, ditemukan 53,9% dari total 263 instrumen pengawas BUMN terindikasi rangkap jabatan. Secara rinci, ada 121 komisaris dan 21 dewan pengawas yang merangkap jabatan. Di tahun 2025 ini jumlahnya relatif tidak jauh berbeda.
Praktik rangkap jabatan oleh warga sipil, ASN, TNI, dan POLRI bukan hanya merupakan isu administratif, tetapi juga menyentuh aspek etika, hukum, dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel (Andjelina Panggabean et al., 2023; Septiani, 2021). Konflik kepentingan berpotensi muncul ketika seorang pejabat publik menjalankan dua fungsi sekaligus yang memiliki kepentingan berbeda atau bahkan bertentangan.
Keadaan ini tidak hanya mengganggu profesionalitas individu, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan, terutama bila jabatan tersebut memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan publik atau alokasi sumber daya serta dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara (Marsuki, 2019; Wahyuni, 2017).
Rangkap jabatan bisa berujung pada tindakan maladministrasi. Meski sanksinya hanya administrasi, persoalan ini jangan dipandang sepele.
Ombudsman terus memantau fenomena rangkap jabatan ini, bahkan beberapa kali telah mengeluarkan rekomendasi bahwa rangkap jabatan itu keliru secara administrasi, maka sanksinya hak administratif, seperti gaji tidak sah (Adhiningtyas et al., 2015Julaeha et al., 2021).
Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, conflict of interest terjadi ketika pejabat publik memiliki kepentingan pribadi yang dapat memengaruhi netralitas dan objektivitasnya dalam melaksanakan tugas. Dikarenakan konflik kepentingan pasti melekat pada aktor maka tentu saja langsung merujuk pada kompetensi dan integritas secara personal (Bimasakti, 2022; Muin, 2020).
Perwujudan kompetensi dan integritas seorang pejabat selalu berada didalam kerangka "etika pejabat" baik diranah privat maupun diranah publik. Di sisi lain, hadir etika publik yang merupakan refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.
Sisi Lain Rangkap Jabatan
Rangkap jabatan dapat menimbulkan pertanyaan moral dan integritas terkait dengan perilaku pejabat. Beberapa isu moral dan integritas yang terkait dengan rangkap jabatan adalah: menimbulkan rasa ketidakadilan; Pejabat yang memiliki rangkap jabatan jelas menimbulkan pertanyaan tentang rasa keadilan, karena mereka jelas memiliki akses lebih besar ke sumber daya dan kekuasaan. Sementara lebih banyak orang tak memiliki akses apapun.
Bahwa rangkap jabatan adalah cermin ketidakjujuran, rangkap jabatan dapat memungkinkan pejabat untuk menyembunyikan informasi atau membuat keputusan yang tidak transparan, yang dapat merusak kepercayaan masyarakat.
Seorang pejabat yang merangkap jabatan, jelas dia telah mengkhianati amanah.dengan demikian kepentingan publik telah terabaikan, karena mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Rangkap jabatan telah merusak moral pejabat dan masyarakat, karena dapat menciptakan budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Aji Mumpung dan Nir-Integritas
Rangkap jabatan memang dapat diartikan sebagai budaya "aji mumpung" atau memanfaatkan kesempatan selagi ada. Praktik ini seringkali didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kekuasaan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan publik. Dalam konteks ini, "aji mumpung" dapat diartikan sebagai sikap oportunistik yang memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan etika dan moral bahkan hukum . Praktik rangkap jabatan telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan profesionalisme pejabat.
Selain aji mumpung, rangkap jabatan juga mencerminkan beberapa hal terkait dengan integritas pribadi, antara lain, kurangnya integritas; rangkap jabatan menunjukkan bahwa seseorang tidak memiliki integritas yang kuat, karena mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik. Rangkap jabatan adalah sikap oportunistik. Dia mencerminkan sikap oportunistik, di mana seseorang memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain apalagi terhadap negara.
Rangkap jabatan juga menunjukkan bahwa seseorang tidak akuntabel dalam menjalankan tugasnya, karena mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi daripada kepentingan publik. Seorang pejabat publik mestinya mendahulukan kepentingan publik daripada diri pribadinya.
Rangkap jabatan adalah cermin pengabaian amanah, di mana seseorang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan lebih mengutamakan kepentingan egoismenya. Dalam agama pejabat yang egoistis tergolong khianat terhadap amanah, zalim terhadap rakyatnya dan ghulul yaitu menyalahgunakan kekuasaan disamping ingin riya’ (pamer).
Rangkap jabatan menunjukkan bahwa seseorang tidak transparan dalam menjalankan tugasnya, karena mereka mungkin menyembunyikan informasi atau membuat keputusan yang tidak jelas. Motifnya agar “aibnya” tertutupi dan tampil dengan penuh “pencitraan” dan seolah-olah legal.
Dalam konteks integritas pribadi, rangkap jabatan dapat dianggap sebagai tanda bahwa seseorang tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai etis dan moral. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pejabat seharusnya memiliki integritas yang kuat dan mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi.
Pejabat Harus Tau Malu
Pejabat harus tahu malu artinya bahwa pejabat harus memiliki rasa tanggung jawab dan kesadaran akan konsekuensi dari tindakan mereka. Mereka harus sadar bahwa tindakan mereka dapat mempengaruhi masyarakat dan negara, dan oleh karena itu, mereka harus bertindak dengan integritas dan etika. Rasa malu dalam konteks ini dapat berarti, rasa tanggung jawab; pejabat harus merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka dan dampaknya terhadap masyarakat.
Kesadaran akan konsekuensi, pejabat harus sadar akan konsekuensi dari tindakan mereka dan berusaha untuk menghindari tindakan yang dapat merugikan masyarakat.
Integritas dan etika, pejabat harus memiliki integritas dan etika yang kuat dalam menjalankan tugasnya, dan tidak melakukan tindakan yang dapat merusak kepercayaan masyarakat.
Rendah hati, pejabat harus memiliki sifat rendah hati dan tidak sombong, sehingga mereka dapat mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat orang lain.
Dengan memiliki rasa malu, pejabat dapat menjadi lebih bertanggung jawab dan efektif dalam menjalankan tugasnya, serta lebih peduli dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Penutup
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pejabat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai etis dan moral, serta mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Dengan demikian, dapat tercipta pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan efektif dalam melayani masyarakat sesuai asas-asas clean governance dan good government. Hukum (lembaga dan aparat terutama Presiden) harus tegas melarang rangkap jabatan sesuai hukum. Dari titik ini efektivitas (ketegasan Presiden) dalam menata lembaga negara dan menegakkan negara hukum yang kuat akan tercermin serta dirasakan masyarakat.