Oleh: Adhie M. Massardi, Penyair, Pemikir Kebangsaan dan Kebudayaan
Tragedi sejarah ilmu pengetahuan empat abad silam sedang direkonstruksi Joko Widodo di Polda Metro Jaya. Jika dahulu ahli astronomi Galileo Galilei vs Paus Urban VIII, kini Presiden RI VII vs Rismon Sianipar-Roy Suryo, ahli forensik digital dan pakar telematika. Akankah keduanya dipenjara karena pandangan keilmuannya seperti Galileo Galilei?
BENAR, kedatangan Joko Widodo ke Polda Metro Jaya di Jakarta Selatan pada Rabu, 29 April 2025 untuk mempidanakan ahli forensik digital DR Eng Rismon Hasiholan Sianipar, ST, MT, M Eng serta pakar telematika DR KRMT Roy Suryo Notodiprojo, M.Kes dan Dr Tifauzia Tyassuma, Ph.D seperti ayunan langkah pertama perjalanan panjang bangsa ini ke zaman kegelapan Eropa, ketika Galileo Galilei duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Inkuisisi di kawasan Vatikan, Roma, Italia.
Galileo Galilei ini nama satu orang. Dia ilmuwan, fisikawan, matematikawan, dan ahli astronomi Italia yang hidup pada abad ke-16 dan 17. Lahir 15 Februari 1564 di Pisa, Italia, Galileo meninggal secara mengenaskan dalam tahanan rumah pada 8 Januari 1642 di Arcetri, Italia.
Galileo Galilei dihukum penjara sampai mati oleh Pengadilan Agama (Inkuisisi) Gereja Katolik karena pandangan keilmuannya tentang astronomi berbeda dengan yang diyakini Gereja.
Menurut pendapat Gereja, matahari itu mengitari bumi. Sedangkan Galileo dalam penelitian ilmiahnya berpendapat sebaliknya. "Justru bumi yang mengitari matahari”. Jadi Galileo sependapat dengan teori heliosentrisme Nicolaus Copernicus yang bilang bahwa matahari itu pusat tata surya dan Bumi serta planet lain yang mengelilinginya.
Gereja Resmi Minta Maaf
“Pengadilan Galileo Galilei” ini dicatat sejarah sebagai “tragedi ilmu pengetahuan” paling fenomenal, dan menjadi tonggak penting bagi umat manusia di muka bumi untuk lebih bijak dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan.
Karena terbukti bahwa temuan keilmuan Galileo Galilei yang benar bahwa “bumi yang mengitari matahari”, membuat peristiwa di Palazzo del Sant'Uffizio, kantor pusat Mahkamah Inkuisisi di Roma tempat Galileo diadili pada 1633 itu, jadi “titik aib” bukan saja bagi Gereja Katolik di Roma, tapi bagi Kristen sebagai ajaran agama yang anti-ilmu pengetahuan.
Meskipun sejak abad ke-18 Gereja (Katolik) tidak sekonservatif zaman Paus Urban VIII, tapi stigma Kristen sebagai agama yang kurang akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tetap menghantui.
Baru 350 tahun kemudian, setelah Vatikan dipimpin Paus Yohanes Paulus II (18 Mei 1920 – 2 April 2005), benar-benar terbebas dari “infamia” yang memalukan itu. Sebab pada 31 Oktober 1992, Paus asal Polandia ini secara resmi minta maaf atas proses hukum (pengadilan sesat) terhadap Galileo Galilei, ilmuwan dan filsuf Italia yang terjadi pada 1633 itu. Karena faktanya, Galileo Galilei itu penganut Katolik yang taat.
Joko Widodo Simbol Anti-Intelektualisme
Muncul sebagai Presiden RI ke-7 secara kontroversial-fenomenal, termasuk nebar kohesi sosial, menjauhkan kata dan perbuatan, serta mudah gunakan aparat penegak hukum untuk mengeliminasi lawan-awan politiknya, membuat banyak orang mempertanyakan asal-usulnya, sejarah dan ijazahnya. Who is he?
Dalam pikiran banyak orang, jika sejarah sang pemimpin (bobot-bibit-bebet-nya) jelas, dan memperoleh pendidikan akdemis di perguruan tinggi mumpuni, pasti kata-katanya tak akan jauh dari perbuatannya.
Misalnya, bilang KA cepat Jakarta-Bandung akan dibangun tak pakai APBN, tapi faktanya kemudian pakai APBN. IKN akan dibangun tanpa ganggu APBN faktanya kemudian ganggu APBN. Ada uang Rp 11 ribu T di kantong, faktanya kosong. Mobil Esemka sudah dipesan ribuan, faktanya bohong belaka. Dst.
Nah, Bambang Tri dan Gus Nur adalah dua di antara sejumlah anggota masyarakat yang sangsi akan sejarah dan ijazah Joko Widodo. Tapi kesangsian mereka bukannya dipuaskan dengan fakta, malah diganjar PN Solo dengan vonis penjara 6 tahun! (Komisi Yudisial wajib ngaudit forensik proses pengadilan ini, mulai dari pemberkasan di Polri, dakwaan di Kejaksaan, dan para Hakim yang memvonis.)
Didorong oleh kerisauan masyarakat akan jejak sejarah dan ijazah (bekas) presidennya, serta melihat sejumlah pernyataannya yang kerap beda dengan perbuatannya, muncullah dua sosok dari tempat yang berjauhan, menyibak persoalan krusial fenomenal ini dengan keilmuan yang terukur.
Kedua sosok itu adalah DR Eng Rismon Hasiholan Sianipar, ST, MT, M Eng, ahli forensik digital dan DR KRMT Roy Suryo Notodiprojo, pakar telematika. Dengan bekal keilmuannya itu, Rismon Sianipar dan Roy Suryo membuak tabir sejarah dan ijazah sang (bekas) presiden.
Penjelasannya yang ilmiah-akademis jadi susah ditepis. Apalagi kemudian muncul orang ketiga, Dr Tifauzia Tyassuma, Ph.D, yang dengan bekal keilmuannya jadi bisa membaca gelagat dan kejiwaan sang (bekas) presiden ketika berusaha menjelaskan sejarah dan ijazahnya.
Maka dalam tempo relatif cepat, pandangan sangat ilmiah dan masuk akal dari ketiga intelektual (yang ajaibnya ternyata dari satu almamater: UGM), menjadi public common sense, menjadi bagian dari "akal sehat masyarakat".
Tentu saja hal ini mengguncang panggung politik nasional yang tampaknya masih dalam kendali sang (bekas) presiden. Apalagi Universitas Gajah Mada (UGM), Perguruan Tinggi Negeri pertama yang orisinal didirikan oleh Pemerintah RI (1946) setahun setelah merdeka (1945), karena itu sangat dihormati dan dibanggakan, tak memiliki jejak sejarah otentik terhadap ijazah yang konon pernah diterbitkan untuk sang (bekas) pemimpin.
Mungkin karena dirasa sudah mengguncang harga diri, kehormatan dan wibawanya sebagai (bekas) pemimpin yang ingin tetap berpengaruh di republik ini, Joko Widodo akhirnya melaporkan kepada polisi (Polda Metro Jaya) sepakterjang ketiga intelektual yang mengobarkan “akal sehat” masyarakat.
Polisi, yang pernah barada langsung di bawah komando Joko Widodo, tentu masih punya ikatan emosional sangat kental, pasti akan gercep melaksanakan keinginan (bekas) bosnya. Apalagi secara politik, Joko Widodo masih menyimpan masa depan yang bisa meningkatkan harkat dan pangkat para polisi itu. Sebab Gibran, anak Joko Widodo, adalah Wakil Presiden RI yang setiap saat, jika terjadi sesuatu, bisa jadi RI-1.
Kesimpulan
Gugatan mereka terhadap kebenaran ijazah Joko Widodo pasti akan diabaikan. Sedangkan pengaduan (bekas) presiden yang anaknya bisa setiap saat jadi presiden, niscaya akan lekas direspon. Maka kaum cerdik-pandai (Rismon Sianipar, Roy Suryo, Dr Tifa, dkk) yang memiiki kejujuran dan komitmen terdahap kebenaran dan ilmu pengetahuan akan jadi pesakitan di pengadilan.
Kalau ini benar-benar terjadi, maka Indonesia akan jadi seperti Eropa pada abad kegelapan, ketika “kebenaran ilmu pengetahuan” (Galileo Galilei) berhadapan dengan (arogansi) kekuasaan (Gereja Katolik Roma). Dan Joko Widodo?
Presiden RI VII Joko Widodo akan dicatat sejarah sebagai satu-satunya (bekas) presiden NKRI yang anti-ilmu pengetahuan. Paling tepat seperti pernah diucapkan DR Yudi Latif.
Pemikir kebangsaan dan kenegaraan itu bilang begini: “Kehadiran Jokowi sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan...!” (Negara Sengkarut Pikir, Kompas, 02/02/2015).
Memang benar, pada akhirnya akal sehat dan ilmu pengetahuan akan menang. Mengacu pada kasus Galileo Galilei, jadi penting dalam Revolusi Ilmiah abad ke-17, mengubah cara manusia memahami alam semesta dan memajukan pengetahuan.
Galileo memiliki pengaruh besar pada perkembangan ilmu pengetahuan modern, termasuk fisika, astronomi, dan matematika, jadi simbol perjuangan terhadap dogma dan otoritas yang tidak berdasarkan pada bukti ilmiah.
Tapi sebelum itu terjadi, bangsa ini akan mengalami kerugian moril, material dan terutama waktu.
Ingat, 10 tahun kekuasaan Joko Widodo sudah membawa bangsa ini mundur jauh ke belakang. Dua periode seperti dua bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Jepang (Nagasaki dan Hiroshima). Bikin pemerintah (kekaisaran) Jepang harus beri makan bergizi gratis (MBG) kepada rakyatnya karena dilanda kemiskinan luar biasa. Hal ini diikuti oleh Presiden Prabowo di negeri ini, yang rakyatnya kini, menurut hasil penelitian Bank Dunia, lebih dari 60% jatuh miskin.
Maka kini terpulang pada Polri dan jajaran aparat penegak hukum, apakah terus mengikuti perintah Joko Widodo, dan gunakan (arogansi) kekuasaan untuk melawan ilmu pengetahuan?