Oleh: Adhie M Massardi, Komite Eksekutif KAMI
KANG Yudi Latif , cendekiawan dan budayawan yang saya hormati hari ini (Jumat, 15 Agustus 2025) menulis di harian Kompas. Sangat bagus. Judulnya: “Kemerdekaan dengan Kepeminpinan Regresif”.
Ada dua hal menarik untuk dicatat dari tulisan ini.
Pertama. Mungkinkah Indonesia kembali menjadi mercusuar kepemimpinan dan kepeloporan seperti terjadi pada 1945-1949, saat Indoneisa menjadi laboratorium dekolonisasi paling penting abad ke-20?
Menurut saya ini agak mustahil kecuali terjadi “revolusi persepsi” terhadap NKRI di kalangan elite dan civil society bangsa ini.
Alasan. Selama 10 tahun dipimpin Joko Widodo (yang pengaruhnya berlanjut hingga era Prabowo Subianto) Indonesia mengecil menjadi hanya sekalas (sebesar) Kabupaten/Kota dengan seluruh jajaran pemerintahan (pusat) yang juga turun kelas.
Kapolri menjadi seperti Kapolres (Kepala Kepolisian Resor), Jaksa Agung menjadi sekelas Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri), Panglima TNI menjadi setaraf Dandin (Komandan Komando Distrik Militer), dan seterusnya.
Akibatnya, para pimpinan lembaga negara tingkat nasional ini tidak merasa apa yang terjadi dan apa yang dilakukan institusinya disaksikan oleh mata dunia (internasional).
Contoh. Kejaksaan RI maksa menjarakan Tom Lembong dengan tuduhan sangat sumir (mengada-ada), Kepolisian RI tidak mau merespon “skandal ijazah palsu” bahkan berusaha menjarakan para pelapor yang memiliki bukti hasil uji forensik berdasar ilmu pengathuan, dan Panglima memutasi Jenderal Kunto putra Pak Try yang dianggap menentang Wapres Gipran (putra Joko Widodo).
Para pimpinan institusi negara itu benar-benar tidak paham bahwa apa yang institusinya lakukan ditonton oleh mata internasional dengan penuh kemasygulan. Dunia internasional melihat pemandangan ini sebagai “negara melindungi kebathilan”, Pmerintahan Indonesia tidak berjalan di atas etika, moral dan kejujuran yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara secara universal.
Selain ketiga institusi negara di atas, masih banyak contoh perilaku pejabat tinggi negara yang kata dan perbuatannya mengejutkan publik dunia, karena terkasan “main-main” dalam berbangsa dan bernegara. Misalnya, ada menteri yang menghardik rakyatnya: “Memang mbahmu bisa membuat tanah?!”
Sekarang ini Indonesia pasca Joko Widodo di mata internasional hanya tampak sebagai setitik noktah dengan sumberdaya alam melimpah. Selebihnya menjadi sekumpulan masyarakat yang sedang nonton pertunjukan sirkus dengan badut-badutnya yang jumpalitan di panggung politik yang konyol.
Kedua. Kang Yudi bilang: Di tengah dunia yang gamang mencari arah, Indonesia bisa kembali menjadi mercusuar -- asal berani membersihkan cermin bangsanya sendiri.
***
Bangsa ini tidak memiliki budaya bercermin. Paling tidak, dalam pemahaman saya. Itu dituangkan dalam tulisan saya “Budaya Tanpa Cermin”, dimuat Kompas pada akhir tahun 1990-an.
Saya jelaskan soal kisah Snow White (Putih Salju) yang tidak ada diversifikasinya dalam folklore Indonesia. Bukan sebab di negeri ini tidak ada salju, sebab salju kan bisa diganti dengan yang lain. Tapi karena dalam kisah Snow White ada tokoh “magic mirror on the wall”, Cermin Ajaib di dinding.
Jika kisah Putih Salju (Putri Salju) di-Indonesia-kan, cerita akan berakhir singkat. Sebab ketika Permaisuri bertanya siapa yang paling cantik, dan Cermin Ajaib menjawab “ada perempuan lain yang lebih cantik” yaitu Putri Salju, maka Sang Permaisuri akan memecahkan cermin itu. Buruk muka cermin di belah.
Maka tak heran jika dalam sejarah kekuasaan di negeri ini, penguasanya paling gemar membelah cermin saat melihat dirinya tampak buruk di muka cermin.
KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang digagas kalangan masyarajat sipil (civil society) pada 18 Agustus 2020, di bawah presidium Gatot Numantyo, Din Syamsuddin, Rochmat Wahab, Rocky Gerung, Adhie M Massardi, Syahganda Nainggolan, dkk oleh pemerintahan Joko Widodo langsung dinyatakan sebagai “organisasi terlarang” justru ketika berupaya menjadi “cermin bangsa” sebagai bagian dari cara mengoreksi pemerintahan.
Kegiatan KAMI di mana pun senantiasa digagalkan oleh kelompok sipil militan pro-Jokowi yang kerjasama dengan aparat hukum negara. Sejumlah pentolan KAMI dipenjarakan tanpa kesalahan yang bisa dibuktikan di pengadilan.
Oleh sebab itu, jangankan “membersihkan cermin bangsanya” sendiri, mendengar ada cermin saja penguasa di negeri ini akan langsung berang. Nafsu membelah cermin tersimpan dalam benak kekuasaannya.
Jadi yang paling penting saat ini adalah melakukan “revolusi persepsi” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Merumuskan kembali tujuan utama kemerdekaan. Pedomannya jelas tertera dalam (Pembukaan) Konstitusi UUD 1945.
Kemerdekaan itu untuk: Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah SIAPA? Memajukan kesejahteraan SIAPA? Mencerdaskan kehidupan SIAPA?
Maka jika Cermin Bangsa dibersihkan sekarang dan dihadapkan pada kita, maka akan tampak siapa saja yang selama ini dapat perlindungan, siapa saja yang sejahtera, dan siapa saja yang hidup cerdas.
Pasti bukan kita. Tapi MEREKA.
Salam kemerdekaan RI 80 di bawah kepemipinan 08.