Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies PEPS)
KASUS hukum pemberian persetujuan impor gula yang menjerat Tom Lembong sangat ruwet. Karena dipolitisasi. Karena dikriminalisasi. Karena, sesuatu yang tidak ada tetapi mau diada-adakan, pasti ruwet.
Tom Lembong didakwa melakukan tindak pidana korupsi, bukan untuk menguntungkan diri sendiri, tetapi karena menguntungkan pihak lain, yaitu perusahaan gula yang diberi persetujuan impor (gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih), yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Dalam hal ini, kasus hukum yang menjerat Tom Lembong dan Perusahaan Gula yang mendapat persetujuan impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih merupakan satu rangkaian peristiwa yang tidak terpisahkan, dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Artinya, kalau Tom Lembong bersalah maka perusahaan gula juga bersalah. Sebaliknya, kalau Tom Lembong tidak bersalah maka perusahaan gula juga tidak bersalah. Dan, kalau kasus hukum Tom Lembong gugur, maka kasus hukum perusahaan gula (yang katanya diuntungkan oleh Tom Lembong) otomatis juga gugur.
Bahkan untuk melengkapi ‘kriminalisasi’ kepada Tom Lembong, direktur dari delapan perusahaan gula rafinasi (dan satu direktur perusahaan gula) ikut dipenjara juga. Masih belum cukup. Perusahaan buka rafinasi dipaksa membayar ‘uang jaminan’ sebanyak Rp515 miliar, yaitu jumlah yang direkayasa sebagai kerugian keuangan negara.
Untuk melengkapi kriminalisasi, uang jaminan dikatakan (baca: direkayasa) sebagai uang sitaan. Untuk ‘framing’, seolah- olah memang telah terjadi korupsi. Sangat jahat sekali.
Kasus kriminalisasi yang menjerat Tom Lembong mendapat sorotan publik dan media internasional secara luas. Nampaknya, Presiden Prabowo juga memberi perhatian cukup besar terhadap kasus Tom Lembong ini.
Presiden Prabowo mungkin tidak tahan melihat tontonan murahan pengadilan Tom Lembong. Presiden Prabowo akhirnya memberi abolisi kepada Tom Lembong, dan disetujui DPR, pada 31 Juli 2025. Dengan pemberian abolisi ini maka semua proses hukum dan akibat hukum terhadap Tom Lembong (dalam kasus pemberian persetujuan impor gula kristal mentah) ditiadakan.
Sebagai konsekuensi logis, maka proses hukum dan akibat hukum terhadap perusahaan gula juga harus ditiadakan. Artinya, proses persidangan terhadap sembilan perusahaan gula yang sedang berjalan harus segera dihentikan.
Karena kasus hukum Tom Lembong dan kasus hukum perusahaan gula yang diberi persetujuan impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih merupakan satu rangkaian peristiwa hukum yang tidak terpisahkan dari dan lainnya.
Bahkan, kasus dakwaan kepada delapan direktur perusahaan gula rafinasi dan satu direktur perusahaan gula ex tebu tersebut hanya sebagai buntut dari dakwaan kepada Tom Lembong.
Oleh karena itu, kalau kasus hukum terhadap Tom Lembong ditiadakan: dihentikan, maka kasus hukum terhadap direktur perusahaan gula juga harus ditiadakan, alias dihentikan.
Untuk itu, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung harus perintahkan agar semua direktur dari perusahaan gula yang masih ditahan harus segera dibebaskan.
Kalau tidak, maka Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung bisa dianggap membangkang terhadap (keputusan) Presiden.
Semoga dengan pemberian abolisi kepada Tom Lembong menjadi pesan kuat dari Presiden Prabowo kepada semua aparat penegak hukum agar bertindak secara profesional, sesuai hukum yang berlaku. Tidak ada lagi kriminalisasi kasus hukum.
Peristiwa ini juga sekaligus menjadi tonggak keruntuhan pengaruh Jokowi di bidang politik dan hukum Indonesia.
Ketika Jokowi tidak ada pengaruh lagi dalam bidang hukum, dengan hak dan kewajiban hukum yang sama dengan masyarakat lainnya, Jokowi diperkirakan akan menghadapi banyak kasus hukum ke depannya, atas dugaan pidana, termasuk pidana korupsi, yang dilakukannya selama10 tahun menjabat presiden.