Makassar, MNID. Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri dinilai melanggar UUD 1945. Perpol yang ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu mengatur penempatan anggota Polri aktif pada jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
Demikian penilaian pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD. Dia dapat dikatakan merupakan pihak pertama yang secara terbuka menyatakan Perpol 10/2025 bermasalah secara konstitusional.
“Saya adalah orang pertama yang menyatakan bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan konstitusi. Bahkan istilah yang lebih tegas, itu adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum,” kata Mahfud di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa, 16 Desember 2025, seperti dikutip dari Kompas.
Mahfud menegaskan pernyataan tersebut disampaikan dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum, bukan sebagai bagian dari lembaga atau komisi tertentu.
“Saya bukan berbicara sebagai anggota Komisi Reformasi Polri, tetapi sebagai Mahfud MD ahli hukum, pembelajar hukum, dan pengamat hukum. Sebagai ahli hukum, saya wajib meluruskan keadaan,” tegasnya.
Mahfud menjelaskan, Perpol 10/2025 bertabrakan dengan sejumlah regulasi yang lebih tinggi, termasuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, serta putusan Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, pengaturan penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil tidak bisa dilakukan melalui peraturan internal kepolisian.
“Kalau mau diatur, tidak bisa lewat PP. Harus lewat undang-undang. Kalau perlu, Presiden bisa mengeluarkan Perpu. Perpu itu juga undang-undang,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Perpol Nomor 10 Tahun 2025 mengatur tentang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi Polri. Dalam aturan tersebut, polisi aktif diperbolehkan menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah, baik pada posisi manajerial maupun nonmanajerial.
Kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah kalangan karena dinilai berpotensi melanggar prinsip profesionalisme dan supremasi sipil, serta membuka ruang tafsir yang bertentangan dengan konstitusi. 

