Sunyi yang Membahayakan: Intervensi Negara atas Profesi Medis

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Darmawan Sepriyossa, Wartawan Senior

DI tengah kebisingan klaim reformasi, ada kesunyian yang mulai terasa mencekam. Sunyi yang tak sebangun dengan ketenangan. Justru, ia adalah gejala dari matinya suara-suara yang selama ini menjaga etika dan integritas profesi. Ketika dokter-dokter terbaik dipindahkan tanpa alasan transparan, dan kolegium profesi mulai diretas dengan alat-alat kekuasaan, kita tahu ada sesuatu yang sedang tidak beres.

Kementerian Kesehatan boleh saja mengklaim keberhasilan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang katanya sudah menjangkau jutaan warga, seperti diberitakan banyak situs. Namun apa gunanya deteksi dini, jika para spesialis yang paling mumpuni justru disingkirkan dari rumah sakit vertikal? Ketika penyakit jantung kongenital pada bayi dinyatakan sebagai salah satu temuan tertinggi, siapa yang akan merawat mereka setelah dokter jantung anak tersingkir?

Pertanyaan ini bukan tentang ego profesi. Ini tentang publik. Tentang bayi-bayi yang hanya punya satu kesempatan hidup, dan kini kehilangan tangan-tangan terampil yang semestinya menyelamatkan mereka.

***

Ada nuansa baru dalam cara negara memperlakukan profesi medis. Paling tidak yang saya baca dan pirsa. Dari berita, atau acara temu-kata. Bukan sekadar birokratisasi. Ini lebih terasa sebagai fase baru dari kontrol: kontrol atas independensi, kontrol atas suara kritis, kontrol atas ilmu. Gagasan reformasi kolegium yang dilempar ke publik—setelah saya mendengar  dari sekian narasumber—ternyata bukan sekadar salah arah. Secara fundamental, gaya itu bertentangan dengan prinsip akademik dan hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XXIII/2025 secara jelas menyatakan bahwa kolegium adalah badan akademik independen. Ia bukan unit pemerintah. Ia bukan subordinat eksekutif. Ia ada justru untuk menjaga mutu dan etika, dari intervensi kekuasaan. Ketika kementerian mulai mengatur ulang siapa yang duduk di kolegium, yang sedang dibangun bukan kemajuan, tapi pengkhianatan terhadap struktur etik yang sudah dirawat puluhan tahun.

***

Lebih dalam lagi, yang perlu dikritisi adalah paradigma dasarnya. Kesehatan kini terasa mulai diperlakukan sebagai alat mengejar pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai hak dasar manusia. Menteri Kesehatan beberapa kali menekankan bahwa negara maju harus ditopang oleh rakyat yang sehat dan pintar. Kalimat ini terdengar cerdas, tetapi menyesatkan.

Sebagaimana ditegaskan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), kesehatan adalah bagian dari kebebasan substantif manusia. Negara tidak boleh memperlakukan layanan kesehatan sebagai instrumen pasar atau komoditas. Ketika kesehatan dijadikan alat untuk mengejar status makroekonomi, maka keadilan sosial terancam hilang dari agenda negara.

Bahkan, jika kita bicara efektivitas, data dari WHO (2023) menunjukkan bahwa negara-negara dengan alokasi belanja terbesar pada layanan kesehatan dasar justru mencatat peningkatan produktivitas ekonomi paling konsisten. Jadi, menggeser pelayanan medis menjadi proyek-proyek kuratif berbiaya tinggi dengan utang luar negeri bukanlah investasi cerdas—itu justru pengabaian terhadap akar masalah.

***

Kondisi makin mengkhawatirkan ketika tindakan kedokteran yang secara keilmuan berada di ranah spesialis kini mulai diwacanakan dapat dilakukan oleh dokter umum. Dengan dalih kekurangan tenaga dokter spesialis, prosedur-prosedur besar seperti sectio caesarea, mulai dilirik untuk dialihkan. Kita ingin bertanya: di mana suara kolegium dalam keputusan-keputusan semacam ini?

Yang berwenang menentukan kompetensi bukan birokrasi, melainkan komunitas ilmiah yang teruji. Kalau kolegium dilemahkan, maka batas antara praktik aman dan praktik sembarangan akan lenyap.

***

Dalam narasi yang disebar kementerian, seolah ada upaya sistematis untuk menampilkan profesi medis sebagai elite yang perlu "ditundukkan". Seolah-olah kritik dari profesi adalah hambatan pembangunan. Padahal justru di sanalah benteng terakhir agar pelayanan kesehatan tetap memihak rakyat.

Voltaire pernah mengingatkan, “Those who can make you believe absurdities can make you commit atrocities.” Mereka yang memaksa kita mempercayai absurditas pada akhirnya akan membawa kita pada kebengisan. Dan absurditas itu kini hadir dalam bentuk birokrasi yang mendikte ilmu, kebijakan yang mengabaikan data, serta keputusan-keputusan yang mengganti mutu dengan loyalitas.

***

Kami percaya bahwa reformasi kesehatan adalah kebutuhan. Tapi bukan reformasi yang mengabaikan etika, bukan yang membungkam kolegium, bukan pula yang menjadikan tenaga medis sebagai pion dalam permainan politik anggaran. Indonesia tidak butuh otoritarianisme dalam pelayanan publik.

Kesehatan adalah hak. Bukan komoditas. Dan profesi medis adalah penjaga kehidupan. Bukan pelayan kekuasaan. Jika negara lupa akan itu, maka yang sedang dikorbankan bukan hanya etika profesi, tapi juga keselamatan jutaan warga.

Berita Terkait

Berita Lainnya