Oleh: Darmawan Sepriyossa, Wartawan Tinggal di Jakarta
DI atas peta, Indonesia masih terlihat utuh, membentang dari Sabang sampai Merauke. Tetapi di bawahnya, dalam hukum dan kebijakan, republik ini sudah mulai robek-robek menjadi potongan-potongan wilayah dengan aturan berbeda, status khusus, dan insentif yang hanya ramah bagi pemilik modal.
Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan persis seperti yang diuraikan Quinn Slobodian dalam “Crack-Up Capitalism”: kapitalisme global tak lagi berupaya mengecilkan negara, melainkan memakainya untuk mengurung pasar dari sentuhan demokrasi, dan menciptakan kepulauan yurisdiksi yang kebal dari tuntutan rakyat. Para pendorongnya adalah kaum market radicals—mereka yang percaya bahwa “keluar” dari jangkauan pemilih lebih efektif daripada berdebat di dalamnya. Mereka memuja exit, bukan voice.
Satu dekade pemerintahan Joko Widodo telah menjadi ladang subur bagi eksperimen semacam itu. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menjamur dengan janji tax holiday 10 hingga 20 tahun, pembebasan bea masuk, dan kelonggaran aturan ketenagakerjaan. Pemerintah mengiklankannya sebagai magnet investasi, tetapi hakikatnya adalah regulatory arbitrage: memaksa daerah lain menurunkan standar agar tidak ditinggal investor, dan menciptakan kelas istimewa bagi modal yang bisa pindah, sementara beban fiskal digeser ke mereka yang sejatinya tak bisa. Batam, Bintan, Karimun hanyalah pembuka; Morowali dan Galang Batang adalah bab selanjutnya—di sanalah blueprint Slobodian hidup di bumi Indonesia.
IKN Nusantara adalah bab yang lebih gamblang lagi. Undang-Undang IKN memberikan Otorita IKN wewenang luar biasa: menerbitkan izin investasi, mengatur penggunaan lahan, memberi fasilitas khusus fiskal dan nonfiskal, bahkan mengambil alih fungsi-fungsi yang biasanya dijalankan pemerintah daerah.
Semua dirancang agar modal masuk secepat mungkin, tanpa gesekan politik lokal. Negara tidak lagi sekadar wasit, tapi arsitek ring tinju khusus untuk satu pihak: pemodal. Dalam bahasa Slobodian, inilah encasing markets—pasar dimasukkan ke dalam kotak hukum yang dibuat agar aman dari intervensi warga dan parlemen.
Lalu ada Omnibus Law Cipta Kerja, deregulasi sapu jagat yang dipromosikan sebagai one-stop solution untuk investasi. Prosesnya minim partisipasi publik, standar lingkungan dipangkas, dan ruang warga untuk menggugat keputusan yang merusak ekosistem semakin sempit. Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan undang-undang ini “inkonstitusional bersyarat” karena cacat formil dalam proses pembentukannya. Tapi logika zona tetap menang: yang penting cepat, pasti, dan ramah modal—soal demokrasi bisa belakangan.
Hilirisasi nikel yang diagungkan sebagai tonggak kedaulatan pun mengikuti pola serupa. Larangan ekspor bijih memang mendatangkan investasi besar di sektor smelter, didominasi modal dan teknologi Tiongkok. Produksi melonjak, Indonesia menjadi pemasok utama nikel olahan dunia. Tetapi di balik angka itu, catatan keselamatan kerja memprihatinkan, penyakit pernapasan merebak di sekitar kawasan industri, dan lingkungan pesisir dirusak oleh limbah.
Buruh migran dipekerjakan dalam kondisi yang rapuh, sementara komunitas lokal hanya mendapat remah dari meja makan industri. Harga global yang ditekan akibat suplai besar Indonesia justru menguntungkan pembeli di luar negeri, sedangkan nilai tambah bagi rakyat nyaris tak sebanding dengan ongkos sosial dan ekologis yang harus ditanggung.
Dani Rodrik dari Harvard sudah lama mengingatkan bahwa demokrasi, kedaulatan nasional, dan integrasi ekonomi global tidak bisa diraih sepenuhnya sekaligus—kita hanya bisa memilih dua dari tiga. Ketika pemerintah Indonesia menekan pedal integrasi global melalui zona-zona khusus, investor-state arbitration, dan fast-track perizinan, pilihan yang dikorbankan jelas: demokrasi.
Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menyebut mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) sebagai cara “membatasi kemampuan pemerintah untuk mengatur perilaku korporasi, dicapai secara diam-diam melalui perjanjian perdagangan yang dirundingkan secara rahasia—sesuatu yang tak bisa dicapai melalui proses politik terbuka.”
Amartya Sen, juga pemenang Nobel, menulis bahwa pembangunan adalah “penghilangan berbagai ketakbebasan substantif” yang menghalangi orang untuk hidup seperti yang mereka nilai berharga. Jika proyek-proyek besar justru mematikan kebebasan substantif itu—membungkam partisipasi, meminggirkan suara komunitas, dan mengurung hak mereka di balik pagar pabrik—maka yang terjadi bukan pembangunan, melainkan regresi.
Thomas Piketty, dalam “Capital in the Twenty-First Century”, mengingatkan bahwa “ketika tingkat imbal hasil modal melebihi pertumbuhan, kapitalisme secara otomatis menghasilkan ketimpangan arbitrer dan tak berkelanjutan yang merusak nilai meritokrasi.” Zona, tax holiday, dan pengalihan laba ke yurisdiksi istimewa hanya mempercepat proses itu: keuntungan diprivatisasi, kerugian disosialisasi.
Pemerintah sering membantah dengan argumen klasik: investasi butuh kepastian hukum, zona mempercepat perizinan, hilirisasi menciptakan lapangan kerja. Angka memang mendukung—realiasi investasi meningkat, nilai ekspor olahan nikel melonjak. Tapi angka-angka itu mengaburkan harga yang dibayar: hak warga untuk menolak atau mengubah proyek yang mencemari lingkungannya tergerus, upah layak diganti dengan janji serapan tenaga kerja yang tak sebanding, dan ruang deliberasi publik digantikan oleh papan pengumuman kebijakan yang sudah jadi. Ini bukan sekadar masalah prosedural, tetapi konsekuensi dari desain kelembagaan yang memang mengutamakan exit dan mengabaikan voice.
Jika republik ini masih ingin layak disebut negara demokrasi, kita perlu mengembalikan pasar ke dalam pagar demokrasi. Zona harus tunduk pada standar transparansi kontrak, hak buruh, dan mekanisme sengketa yang akuntabel di pengadilan publik. Insentif fiskal harus memiliki sunset clause dan diawasi dengan registri pemilik manfaat yang terbuka. Standar keselamatan dan lingkungan di smelter nikel mesti dipantau oleh lembaga independen, dengan sanksi nyata bagi pelanggar. Dan yang paling penting, warga harus kembali memiliki voice yang efektif—bukan sekadar konsultasi formalitas—dalam semua proyek yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Rodrik sudah menulis bahwa memilih integrasi global tanpa demokrasi adalah jalan pintas menuju ketidakstabilan. Stiglitz memperingatkan bahwa ketika kedaulatan hukum disubkontrak ke ruang arbitrase investor, rakyat kehilangan alat untuk mengatur masa depannya sendiri. Sen menegaskan bahwa pembangunan tanpa kebebasan adalah pengkhianatan terhadap makna pembangunan itu sendiri. Dan Piketty mengingatkan bahwa ketimpangan yang dibiarkan akan menghancurkan sendi-sendi meritokrasi.
Jika semua peringatan itu kita abaikan, kita akan menyaksikan Indonesia tilem—tenggelam perlahan– sebagai negara-zona. Benderanya masih Merah Putih, tetapi isi konstitusinya berlubang, kedaulatannya diserahkan setengah sadar kepada arsitek pasar global, dan rakyatnya dibiarkan menjadi penonton dalam drama pertumbuhan yang mereka bayar dengan tanah, udara, dan masa depan anak-cucu mereka.
Hari itu akan datang bukan dengan dentuman, tapi dengan keheningan yang panjang, ketika kita sadar bahwa suara kita sudah tak lagi bergema di dalam republik ini.