Oleh: Darmawan Sepriyossa, Host Podcast “Madilog-Forum Keadilan”
PERNYATAAN Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang absennya bukti kuat terkait isu perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998, memicu perdebatan, baik di media massa maupun media sosial. Sebagian publik menilai isu itu sebagai luka sejarah yang tak boleh dilupakan. Tapi sebagian lainnya, paling tidak saya, melihatnya sebagai narasi yang sejak awal bermasalah secara metodologis, bahkan mungkin politis.
Isu ini bukan baru. Ia sudah mengemuka sejak awal kerusuhan 13–15 Mei 1998 mengguncang Jakarta dan sejumlah kota lain. Tapi saat Majalah Tempo akan kembali terbit pasca-bredel, tema itulah— penjarahan dan perkosaan massal —yang hendak kami angkat sebagai laporan utama. Saya ada di ruang redaksi itu. Bersama para reporter lain, selama lebih dari dua bulan kami mencari, menelusuri, menggali. Untuk “perkosaan massal”, hasilnya nihil.
Fakta itu membuat waktu kami mencari ditambahkan sebulan lagi. Tetap nihil. Maka edisi perdana Tempo pasca-bredel, yang akhirnya terbit Oktober 1998 dengan cover bergambar mata sipit menangis, tidak memuat satu pun nama korban langsung peristiwa “perkosaan massal” tersebut. Kami jelas kecewa. Tapi fakta tidak bisa dipaksa lahir hanya karena suasana mendukung.
Begitu isu tersebut memanas lagi akhir-akhir ini, di sebuah grup WA, Wahyu Muryadi, redaktur pelaksana (managing editor) Majalah Tempo saat itu, memberi pengakuan yang terang. “Adakah yang bisa membuktikan atau setidaknya yang berani berikan testimoni korban perkosaan saat itu? Saat saya menjadi Redpel Tempo yang memberitakan peristiwa tersebut, kami gagal mendapatkan info sahih pemerkosaan. Banyak katanya-katanya.”
Saya, Mas Wahyu, dan terutama Majalah TEMPO saat itu, bukan tidak percaya pada berita-berita yang merebak kuat. Tapi sebagai jurnalis, kami percaya bahwa keberanian menyampaikan kebenaran harus didampingi bukti dan verifikasi. Justru itulah yang tak kami temukan setelah tiga bulan (dua bulan plus satu bulan) pencarian.
Dalam forum Real Talk-IDN Times, Dr. Hermawan Sulistyo—peneliti senior LIPI dan Ketua Tim Asistensi TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang menjadi tim investigasi TGPF—membuka kembali catatan lama yang masih relevan hingga kini. Hermawan, atau akrab disapa Kiki, bercerita bahwa timnya bahkan menggunakan pendekatan paling empatik: memilih polwan sebagai investigator lapangan, berharap korban akan lebih terbuka. Ia sendiri menyimpan semua data, tidak membagikannya bahkan kepada wakilnya.
Tim Kiki menyisir rumah sakit, bekerja sama dengan IDI, menerapkan Denver Protocol untuk menelusuri jejak medis kekerasan seksual. Ia bahkan dibimbing langsung oleh almarhumah dr. Rosita Noor, juga anggota TGPF. Salah satu korban, dengan nama samaran Vivian, sempat diperiksa secara medis, namun keburu dibawa keluarganya ke Taiwan sebelum bisa diwawancarai.
Ada pula kasus di Surabaya yang disebut-sebut jadi bukti kuat. Tapi setelah empat hari kunjungan halus dan pendekatan perlahan, sang korban mengaku: “Saya malah diberitakan diperkosa, padahal tidak.” Ketika Kiki bertanya kenapa tidak membantah, jawabnya sederhana, “Apa untungnya saya membantah? Saya malah akan didatangi wartawan lagi, diubek-ubek.”
Yang lebih dramatis, laporan yang menyebut 150 orang masuk berbarengan dan memperkosa di satu toko, dinyatakan tidak masuk akal. “Tokonya hanya 5×4 meter. Saya jamin seribu persen itu tidak mungkin,” kata Kiki.
Tentang angka “52 korban” yang akhirnya disebut dalam laporan resmi TGPF, Kiki secara jujur mengatakan “Saya mengikuti dari menit ke menit semua itu. Ketika data mentah saya sampaikan, tokoh-tokoh termasuk Saparinah Sadli cuma nanya, ‘Ki, ada nggak kasus? Satu saja. Setengah saja pun, sudah cukup buat saya.” Tapi menurut Kiki, “Kami tidak nemuin. Mungkin ada tim lain yang menemukan?”
Di tengah minimnya data, narasi tetap menyebar luas—dan sebagian dimanfaatkan dalam konteks yang sama sekali berbeda: pengajuan suaka.
Dalam “Journal of International Relations”-Undip, Volume 4, Nomor 2, 2018, Christian Silitonga menulis bahwa laporan Tempo, edisi 5 Desember 2004, mengungkap bahwa Kepolisian Federal AS, FBI, menangkap 26 orang di Virginia, Amerika Serikat, 23 di antaranya adalah WNI. Mereka tergabung dalam sindikat pemalsuan dokumen suaka. Di antara modus yang digunakan adalah klaim palsu telah menjadi korban pemerkosaan massal dan kekerasan atas dasar etnis atau agama.
Kasus itu juga dicatat secara independen oleh surat kabar “The Washington Post”, yang menyebut bahwa penggeledahan itu terjadi pada 23 November 2004, menjerat 26 terdakwa—23 WNI—yang diduga menjual dokumen palsu untuk memperkuat aplikasi suaka mereka, termasuk modifikasi narasi kekerasan seksual. Washington Post juga menyebut delapan wanita yang menggunakan narasi sangat mirip tentang perkosaan oleh sopir taksi karena etnis mereka, hanya berbeda dalam tanggal/lokasi kejadian. The Post menyebut jaringan itu “one-stop shopping for immigration fraud” dan secara resmi disebut “the largest known document fraud ring in Northern Virginia”.
Departemen Kehakiman AS—c.q United States Citizenship and Immigration Services (USCIS) juga mencatat lebih dari 20.000 permohonan suaka dari Indonesia antara 1998–2009. Banyak di antaranya diduga memakai pola kesaksian serupa.
Yang menarik, Heru Susetyo (Universitas Indonesia) dalam beberapa kajian, termasuk tesis dan artikel, membahas fenomena “repetitive narrative”—yaitu penggunaan tema kekerasan berbasis etnis dan agama yang sangat mirip antarpemohon suaka asal Indonesia. Ia mencatat pola yang serupa pada cerita-cerita kesaksian, terutama saat membahas orang-orang etnis Tionghoa dan Kristen.
Paul Marshall (Human Rights Watch/Hudson Institute) juga mengamati hal serupa dalam laporan-laporannya mengenai permohonan suaka dari Indonesia. Dia menyoroti klaim penganiayaan agama dan etnis yang sering kali diulang dengan format yang hampir sama. Tampaknya untuk mempengaruhi keputusan permohonan suaka.
Saya jelas tidak menolak bahwa kekerasan bisa terjadi saat itu. Tapi “perkosaan massal” yang terorganisasi, dengan korban berjumlah puluhan hingga ratusan, adalah klaim luar biasa. Dan seperti kata Carl Sagan, “Extraordinary claims require extraordinary evidence.”
Dalam konteks sejarah yang kabur dan politik yang keruh, mitos sering kali menang. Tapi dalam dunia jurnalisme, keyakinan bukan bukti. Kesedihan bukan dokumen. Air mata bukan arsip. Kita boleh berempati, tapi tidak boleh gegabah.
Seperti diyakini dalam dunia keilmuan, “Truth does not fear investigation.” Di kalangan Muslim bahkan dikenal sebuah hadits yang amat masyhur. “Cukuplah seseorang disebut pendusta apabila ia menyampaikan semua yang ia dengar.” (HR Muslim).
Karena itu saya, reporter Tempo di era itu dan hingga kini masih seorang wartawan, selalu skeptis akan isu perkosaan massal Mei 1998. Bukan karena tak berempati, tapi justru karena menghormati prinsip kebenaran yang harus diverifikasi. Kita tak bisa membangun masa depan dengan pondasi dusta, sebaik apa pun niatnya.