Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
SELAMA puluhan tahun, Prabowo Subianto dikenal sebagai tokoh yang nasionalis dan patriotis. Dalam berkali-kali kampanye pada beberapa Pilpresnya, pidatonya tentang nasionalisme dan patriotisme selalu bergelora. Menyihir audien. Mereka terpaku untuk kemudian bertepuk tangan gegap-gempita. Dahsyat!
"Kita jangan mau jadi antek-antek asing. Kita harus berdaulat!" begitu antara lain kutipannya, sambil menggebrak-gebrak podium. Untung saja podium itu tak pecah berantakan...
Setelah cita-citanya jadi presiden tercapai, pidato seperti itu memang berkurang. Tak ada lagi gebrak-gebrak meja atau podium. Entah kalau sedang tak disorot kamera. Tapi semangat nasionalisme dan patriotismenya tetap ada. Setidaknya, diharapkan begitulah.
Setelah jadi presiden, Prabowo menambah kosa kata pidatonya. Dia banyak bicara tentang kedaulatan negara. Tentang penjajahan gaya baru. Tentang bahaya kapitalisme global. Makin dahsyat saja kawan satu, ni...
Tapi, setelah jadi presiden, Prabowo juga punya hobi baru. Dia sering menuding lawan politiknya antek-antek asing. Mereka yang mengkritik, disebut nyinyir. Yang tidak sependapat, dia tuding mengganggu pemerintah yang mau bekerja. Teranyar, dia bahkan menuduh demo-demo yang digelar dibiayai koruptor. Sepertinya Prabowo lupa, para koruptor justru ada di sekelilingnya. Bukan begitu, pak Presiden?
Serahkan Data atau Kedaulatan?
Beberapa hari lalu, terbetik kabar, pemerintah Indonesia setuju menyerahkan data pribadi rakyat kepada Amerika. Konon, ini bagian dari kesepakatan yang dicapai Prabowo dan Donald Trump terkait diskon tarif bea masuk produk Indonesia ke Amerika.
Gedung Putih menyebut pemerintah Indonesia akan menyerahkan pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia kepada Amerika Serikat. Hal ini dilakukan sebagai pengakuan Indonesia terhadap Amerika Serikat sebagai negara atau yuridiksi yang menyediakan perlindungan data pribadi yang memadai.
Ini bukan hoaks apalagi fitnah. Pernyataan ini justru terbit resmi dari Washington:
“
Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan Amerika Serikat sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan perlindungan data yang memadai," tulis Gedung Putih dalam Lembar Fakta bertajuk Amerika Serikat dan Indonesia Mencapai KesepakatanPerdagangan Bersejarah, dikutip Rabu (23/7/2025).
Bagaimana kita memahami fakta ini? Bolehkah ini disebut bentuk penjajahan baru? Kalau tidak boleh, lalu apa namanya? Jika ini bukti sikap tunduk pada asing, lalu siapa sebenarnya yang pantas disebut antek?
Apakah begini caranya mempertahakan nilai ekspor ke Amerika yang sekitar US$30an miliar per tahun? Hanya beginikah yang bisa dilakukan pemerintahan Prabowo untuk menikmati tarif bea masuk 19%? Iya, kita sukses menurunkan ancaman tarif 36%! Begitu?!
Sadarkah Prabowo, bahwa yang terjadi bukan sekadar barter data pribadi rakyat dengan diskon tarif bea masuk? Pahamkah mantan Danjen Kopassus itu, bahwa yang terjadi adalah menyerahkan "leher kita" kepada orang lain? Kita sedang bicara perkara yang sangat serius, pak Presiden! Ini tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan NKRI!
Data pribadi warga hari ini bukan cuma nama, alamat, tanggal lahir. Data kini juga meliputi biometrik, transaksi keuangan, catatan kesehatan, lokasi, dan perilaku digital. Juga preferensi politik. Di dalamnya termasuk ideologi dan way of life yang diyakini. Dan, tahukah wahai Anda Tuan Presiden Yang Terhormat, bahwa itu semua adalah aset sangat strategis?
Negara mana pun yang masih waras tahu: data rakyat bukan barang dagangan. Bahkan Google dan Apple, yang notabene perusahaan Amerika, tidak serta-merta menyerahkan data pengguna mereka ke pemerintah AS. Ada firewall. Ada prinsip privasi. Karena sekali data itu lepas kendali, bisa dipakai untuk pengawasan, manipulasi, bahkan penjajahan gaya baru.
Dengan data keuangan, mereka bisa memetakan ekonomi rumah tangga rakyat Indonesia. Dengan data konsumsi, mereka bisa atur selera dan kebutuhan pasar. Dengan data lokasi dan media sosial, mereka tahu ke mana rakyat bergerak, siapa yang mereka ikuti, dan apa yang mereka pikirkan. Dengan semua itu, mereka bisa membentuk opini, mengarahkan pilihan, bahkan mengendalikan pemilu. Mereka bisa menguasai NKRI.
Barter Demi Apa? Jadi Good Boy?
Pertanyaannya: apakah Prabowo tidak tahu bahaya semua ini? Ataukah justru inilah jalan pintas yang dia pilih demi merawat relasi dengan Washington? Maaf, bukankah selama bertahun-tahun dia sempat ditolak masuk Amerika karena tudingan pelanggaran HAM berat yang dilakukannya pada 1997-1998?
"Sebanyak 34 dokumen rahasia Amerika Serikat mengungkap rentetan laporan pada masa prareformasi, salah satunya bahwa Prabowo Subianto disebut memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada 1998 dan adanya perpecahan di tubuh militer, " begitu kutipan yang ditulis CNN Indonesia edisi 25 Juli 2018, di bawah judul "Dokumen rahasia Amerika Serikat diungkap: 'Prabowo perintahkan penghilangan aktivis 1998'."
Ini adalah ironi besar. Inilah paradoks sesungguhnya. Penyerahan data pribadi rakyat kepada negara lain, justru terjadi di tangan seorang presiden yang selama ini mengklaim diri sebagai nasionalis garis keras. Di tangan seorang tokoh yang biasa menuduh lawan politiknya sebagai antek asing. Kini, dia justru membuat negara kita menjadi pelayan asing. Negara yang pemerintahnya sukarela membuka rahasia rakyat sendiri.
Sekali data rakyat diserahkan, itu tak bisa ditarik kembali. Amerika tak akan menghapusnya. Mereka akan menyimpan, menggandakan, dan mengolahnya. Sesuka mereka. Dan Indonesia, sebagai negara lemah yang sudah "dibayar lunas" dengan diskon tarif, tak akan punya hak menuntut.
Bukankah ini bentuk penjajahan gaya baru yang paling canggih? Tak pakai senjata. Cukup dengan menguasai data.
Rakyat Indonesia, dan khususnya Prabowo, harus sadar. Ini bukan cuma soal ekspor-impor. Ini soal martabat. Soal harga diri. Soal masa depan anak cucu kita. Soal kedaulatan sebuah negara! Jika kita diam hari ini, maka besok kita akan dikendalikan penuh oleh sistem digital. Yang ironisnya, justru atas dasar data kita sendiri, yang dimanfaatkan oleh pihak asing.
Pak Prabowo, Anda sering menuding pihak lain sebagai antek asing. Kini kami balik bertanya: siapa sebenarnya antek asing yang Anda maksud itu?