Krisis Finansial 2008 Tayang Ulang? Ini Yang Sebenarnya Diperingatkan BI

Image 3
Salah satu dampak dari krisis moneter tahun 1998 di Indonesia.

Tentu Indonesia tidak steril masalah: sektor asuransi, dana pensiun, unit link, dan pembiayaan non-bank masih menyimpan pekerjaan rumah tata kelola dan manajemen risiko. Tetapi itu lebih tepat disebut agenda reformasi menengah, bukan bom yang “meledak besok pagi.”

Oleh: Perdana Wahyu Santosa, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Riset GREAT Institute dan CEO SAN Scientific
 

 

 

Tentu Indonesia tidak steril masalah: sektor asuransi, dana pensiun, unit link, dan pembiayaan non-bank masih menyimpan pekerjaan rumah tata kelola dan manajemen risiko. Tetapi itu lebih tepat disebut agenda reformasi menengah, bukan bom yang “meledak besok pagi.”


BANK Indonesia (BI) kembali mengangkat risiko krisis global “ala 2008”. Tetapi membaca peringatan ini sebagai “film ulangan yang pasti tayang” adalah lompatan logika yang terlalu jauh. Yang lebih akurat, BI lewat Laporan PEKKI 2025 sedang menunjuk titik retak baru di sistem keuangan global—utang publik yang membesar, suku bunga tinggi yang bertahan, dan perilaku agresif lembaga keuangan non-bank (Non-bank Financial Intermediaries-NBFI) yang bermain di obligasi negara maju serta derivatif kompleks dengan bantalan modal tipis.

Ini bukan sekadar kekhawatiran abstrak. Angka utang publik global sudah sangat besar—sekitar US$110,9 triliun atau 94,6% PDB dunia—sementara valuasi aset berisiko rentan terkoreksi bila ekspektasi laba meleset dan pasar obligasi pemerintah tertekan oleh defisit fiskal melebar. Di saat yang sama, NBFI kini mengelola porsi raksasa aset keuangan dunia dan terhubung rapat dengan bank lewat repo, kredit sindikasi, dan jalur pendanaan lain—menciptakan jalur penularan baru saat pasar panik.

Masalahnya bukan “apakah krisis mungkin terjadi” (jawabannya: selalu mungkin tentunya), melainkan “apakah bentuknya akan sama persis dengan finansial 2008.” Nah, di sini BI memberi rem penting: arsitektur finansial 2025 sudah berbeda.

Mengapa Krisis Finansial 2008 Sulit Di-“Copy-Paste”

Tahun 2008 runtuhnya terjadi di jantung sistem: perbankan global yang sarat leverage, modal tipis, transparansi rendah, stress test lemah, dan neraca dipenuhi produk sekuritisasi subprime. Ketika harga rumah jatuh, kerugian langsung memukul bank—dan bank adalah “jaringan listrik” ekonomi.

Pasca-2008, dunia seperti orang habis kecelakaan besar: lebih curiga, lebih banyak sabuk pengaman. Basel III mempertebal modal dan likuiditas, stress test diperketat, transparansi risiko didorong, dan derivatif standar makin banyak diwajibkan masuk central clearing agar eksposur antar pihak lebih terukur. Banyak yurisdiksi (termasuk Indonesia) juga memperkuat perangkat makroprudensial seperti LTV dan countercyclical buffer, serta mulai menormalisasi pengawasan yang melihat keterkaitan bank–NBFI.

Artinya, kalau ada guncangan (shock), titik robohnya tidak otomatis sama. Risiko sekarang lebih sering muncul dari valuasi aset yang mahal, eksposur bank ke hedge fund/private credit, serta risiko likuiditas di NBFI dan dana terbuka—sehingga “gelombang pertama” guncangan lebih mungkin datang dari pasar modal dan sektor non-bank.

Kerapuhan Baru: NBFI, Utang Publik, dan Shock Suku Bunga

Di sinilah pesan BI menjadi tajam di mana dunia saat ini punya “leverage tersembunyi” versi baru—bukan lagi terutama di bank besar seperti 2008, tetapi pada simpul-simpul non-bank yang bergerak cepat, memakai instrumen kompleks, dan bisa memicu fire sale saat margin call datang. Ketika suku bunga tinggi bertahan, harga obligasi turun, biaya pendanaan naik, dan disiplin fiskal negara berutang besar diuji—lalu kepanikan bisa menyebar melalui jaringan pendanaan yang makin rapat.

Namun ada perbedaan besar dibanding 2008: banyak risiko ini sudah dipetakan oleh lembaga global dan regulator. Bahkan “toolkit krisis” kini lebih siap—mulai dari swap line bank sentral, fasilitas likuiditas darurat, hingga kerangka resolusi dan aturan bail-in yang dulu banyak dibangun sambil memadamkan kebakaran.

Kesimpulannya: krisis baru bisa saja muncul, tetapi kecil peluangnya tampil dengan skrip identik seperti 2008. Yang sering berulang bukan babnya, melainkan kebiasaan manusia melompat dari “ada risiko” menjadi “pasti kiamat.”

Indonesia: Terpapar Volatilitas, Tapi Tidak Mudah Ambruk

Bagian yang sering hilang dari narasi “krisis gobal 2008 jilid dua” adalah data domestik. Pertama, permodalan bank Indonesia sangat tebal: CAR perbankan berada di kisaran 26–27%, dan penilaian FSAP 2025 menyebut Tier 1 capital rata-rata di atas 25%, dengan likuiditas SBN yang juga kuat. Kedua, kerentanan makrofinansial dinilai rendah: utang rumah tangga sekitar 17% PDB dan tidak ada “housing boom” besar seperti yang dialami banyak negara sebelum 2008. Ketiga, stabilitas dijaga lewat koordinasi kebijakan KSSK, dan di bawah UU P2SK koordinasi BI–OJK–LPS–Kemenkeu makin diperkuat.

Tentu Indonesia tidak steril masalah: sektor asuransi, dana pensiun, unit link, dan pembiayaan non-bank masih menyimpan pekerjaan rumah tata kelola dan manajemen risiko. Tetapi itu lebih tepat disebut agenda reformasi menengah, bukan bom yang “meledak besok pagi.”

Jadi sikap yang waras adalah tetap waspada tanpa histeria berlebihan. Di level global, fokusnya memperketat pengawasan NBFI dan menata disiplin fiskal. Di Indonesia, pekerjaan konkretnya memperdalam pasar keuangan rupiah, mengurangi mismatch valas, memperkuat pengawasan NBFI, dan menjaga ruang fiskal agar kebijakan tetap lincah saat guncangan datang.  

Berita Terkait

Berita Lainnya