Refleksi 80 Tahun Merdeka: Benar Sudah Merdeka?

Image 3
Pengibaran Sang Saka Merah Putih setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan, Jakarta, 17 Agustus 1945.

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

DELAPAN puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak itu dunia mencatat bangsa ini telah bebas dari penjajahan fisik.

Tapi, tahun ini, beranikah kia bertanya: apakah kita benar-benar merdeka? Apakah merdeka berarti mengibarkan bendera merah putih belaka? Menggelar upacara bendera dari mulai lingkungan RT hingga Istana?

Kalau merdeka itu artinya bebas dari penindasan, kita masih jauh dari kata merdeka. Kalau merdeka itu berarti rakyat berdaulat penuh atas tanah, air, dan kekayaan alam, faktanya kita masih menjadi budak di negeri sendiri.

Merdeka, Buat Siapa?

Di negeri yang Allah anugrahi sumber daya alam melimpah ini, kezaliman merajalela. Perzinahan penguasa-pengusaha telah menindas rakyat habis-habisan. Yang bersuara dipenjara. Bahkan banyak yang dihilangkan nyawanya.

Korupsi gila-gilaan. Hukum tebang pilih: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Oligarki diberi karpet merah untuk menguasai tambang, hutan, dan sumber daya strategis. Orang-orang kaya dan super kaya digerojok berbagai kemudahan dan pengampunan pajak. Sementara rakyat, ibarat tinggal, maaf, kentut dan buang ludah saja yang belum dipajaki Sri Mulyani. Utang negara setinggi gunung. Dan, rakyat diperas sampai tulang sumsumnya untuk membayar utang yang nyaris tak mereka rasakan manfaatnya.

DPR mandul. Mereka sibuk membuat aturan dan perundangan untuk mengenyangkan diri sendiri dan para kroni. Anda bisa bayangkan, para sampah itu mengguyur diri sendiri dengan gaji dan aneka fasilitas nomor 4 besar dunia. Yang mereka terima jauh melebihi koleganya di Amerika Serikat sana. Sementara praktiknya, mereka lebih banyak jadi tukang stempel kemauan eksekutif.

Ulama dan cendekiawan banyak yang bisu. Malah tidak sedikit melacur, jadi corong kekuasaan. Mahasiswa kehilangan idealisme. Lebih suka jadi buzzerRp atau tukang demo bayaran ketimbang berdiri di garda depan perubahan.

Inilah wajah Indonesia hari ini. Merdeka dari penjajah kulit putih. Tapi terjajah oleh sesama anak bangsa dan sistem yang jauh lebih rusak ketimbang warisan kolonial.

Manusia Merdeka, Seperti Apa?

Islam punya definisi kemerdekaan yang jauh lebih mulia. Merdeka adalah bebas dari penghambaan sesama manusia. Merdeka adalah hanya tunduk dan patuh kepada Allah.

...اَ لَّا نَـعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْــئًا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَا بًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ

"... bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama yang lain tuhan-tuhan selain Allah." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 64)

Ayat ini sangat benderang. Tidak boleh ada manusia yang bertindak seolah-olah “tuhan” di hadapan manusia lain. Tidak boleh ada penguasa yang membuat hukum sesuka hati. Memaksa rakyat tunduk kepada aturan yang bertentangan dengan syariat.

Rasulullah SAW mengutus para sahabat untuk membebaskan manusia dari penuhanan manusia, menuju penghambaan hanya kepada Allah. 

Dalam perkara ini, pernyataan Ribi‘i bin ‘Amir bisa jadi contoh sangat bagus. Pada perang Qadisiyyah melawan Persia (sekitar tahun 636 M), salah satu panglima pasukan kaum Muslim diutus menemui Rustum, panglima besar pasukan Persia, sebelum pertempuran. Ribi‘i menyampaikan kalimat legendaris:

"Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia, menuju penghambaan hanya kepada Allah. Dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dan dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam."

Kenapa Kita Masih Terjajah?

Karena kita masih memakai sistem jahiliyah. Demokrasi kapitalistik warisan penjajah. Wajahnya memang berganti. Tapi isinya sama: penindasan. Kekuasaan jadi komoditas. Hukum jadi barang dagangan. Rakyat jadi sapi perah sekaligus kambing hitam.

اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)

Allah bahkan sudah mengingatkan

...وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

"... Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik." (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 47)

Solusi hakiki hanya kembali ke Islam secara kaaffah. Total, lengkap. Paripurna. Kemerdekaan hakiki hanya bisa diraih jika hukum Allah ditegakkan. Tidak ada lagi hukum tebang pilih. Kekayaan alam dikelola untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk penguasa dan kroni oligarkinya.

Selain itu, ekonomi bebas dari riba dan utang luar negeri. Yang paling penting, pemimpinnya amanah. Takut kepada Allah. Juga para ulama dan cendekiawan menjadi penjaga moral, bukan pelacur intelektual.

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ...

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan bukakan kepada mereka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi..." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)

Utopiskah? TIDAK, dengan huruf besar. Itulah yang diwujudkan oleh Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah selama 13 abad. Penerapan khilafah dengan manhaj (sistem) kenabian ini telah membuktikan keadilan dan kemakmurannya. Bukan hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk nonmuslim.

Bangsa ini tidak akan pernah benar-benar merdeka selama masih menolak hukum Allah. Selama masih ada manusia yang menjadi “tuhan” bagi manusia lain, kita hanyalah budak di negeri sendiri.

Jadi, merdeka bukan sekadar bendera, lagu, atau upacara. Merdeka adalah saat kita hanya tunduk kepada Allah. Saat hukumNya menjadi hukum yang berlaku di seluruh negeri, kawan!

EDY MULYADI

Berita Terkait

Berita Lainnya