Trump Minta Data Pribadi, Prabowo Serahkan Harga Diri?

Image 3
Presiden Prabowo Subianto memberikan sambutan pada Peringatan Hari Lahir ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Rabu, 23 Juli 2025 di Jakarta Convention Center./Setpres

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

“DISKON tarif, data rakyat jadi tumbal.” Kira-kira begitulah ringkasnya skema dagang yang terjad antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Sebelumnya, Trump mengancam akan memberlakukan bea masuk untuk produk Indonesia sebesar 32%. Setelah negosiasi, Amerika bersedia menurunkan jadi 19%. Syaratnya, bea masuk seluruh produk Amerika ke Indonesia jadi 0%. Indonesia juga harus membuka keran impor selebar-lebarnya bagi produk energi Amerika. Ditambah, Jakarta kudu memborong 50 pesawat Boeing. Nilainya sekitar US$11 miliar. 

Cukup? Belum. Trump juga minta data pribadi rakyat Indonesia ditransfer ke negaranya. Alasannya, untuk mereka kelola. Lucu bin bahlul. Lebih bahlul lagi, pemerintah Indonesia mengamini. Tak kurang dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto berbusa-busa mencari pembenaran. Bahkan Presiden Prabowo menyebutnya sebagai langkah strategis dan keberhasilan diplomasi perdagangan internasional Indonesia. Strategis dan keberhasilan ndasmu! 

Bukan Cuma Janggal, Ini Bahaya!

Dalam klausul kesepakatan, disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan AS diberi izin mengakses dan mengirim data warga negara Indonesia ke luar negeri. Ya, benar. Data kita. Data rakyat dijadikan alat tukar dalam transaksi dagang. Ini bukan cuma janggal. Ini sangat berbahaya!

Data pribadi hari ini bukan sekadar nama dan alamat. Ia mencakup pola konsumsi, preferensi politik, riwayat kesehatan, lokasi real-time, hingga biometrik. Singkat kata: data adalah tambang emas abad 21. Mengizinkan asing mengakses data warga Indonesia tanpa kontrol ketat adalah bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan negara.

Menyerahkan data pribadi rakyat untuk memperoleh diskon tarif adalah puncak ke bahlulan diplomasi pemerintah Prabowo. Apalagi tarif yang diturunkan itu tetap lebih tinggi dari sebelumnya. Tarif bea masuk produk Indonesia ke sana sebelumnya paling tinggi 5%. Bahkan sampai 2020, Indonesia menikmati generalized system preferences (GSP) yang tarifnya 0%.

Dengan diskon tarif yang jadi 19%, posisi tawar kita jadi lebih lemah. Produk Indonesia tetap sulit bersaing di pasar AS. Sebaliknya, barang-barang AS dibebaskan masuk ke pasar kita tanpa bea masuk. Artinya? Pasar kita jadi tempat pembuangan produk-produk luar. Industri dalam negeri bisa megap-megap, terutama sektor padat karya seperti sepatu dan tekstil.

Lebih ironis lagi, pengorbanan data ini terjadi saat perlindungan privasi digital kita masih amburadul. UU Perlindungan Data Pribadi belum sepenuhnya berjalan, lembaga pengawas belum mapan. Warga belum cukup melek digital. Ibarat rumah bocor, kuncinya malah diserahkan ke maling.

Pertanyaannya: kenapa pemerintah begitu mudah menggadaikan kedaulatan digital bangsa? Apakah karena takut pada Trump? Ataukah ini bagian dari kepatuhan struktural terhadap kekuatan global yang selama ini mengendalikan arah kebijakan negeri ini?

Sudah saatnya rakyat bersuara. Jangan diam. Rakyat bukan komoditas. Data pribadi rakyat bukan barang dagangan. Pemerintah wajib meninjau ulang semua perjanjian yang menyangkut privasi rakyat. Kalau perlu, batalkan kesepakatan ini.

Negara ada untuk melindungi rakyatnya. Bukan justru menjualnya, meskipun dengan iming-iming tarif yang lebih murah. Kalau data rakyat saja dilepas dengan mudah, apa lagi yang tersisa dari harga diri bangsa ini?

Negeri ini tak butuh diskon tarif yang dibayar dengan privasi dan kehormatan. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang berani bilang “tidak” ketika kedaulatan bangsa diinjak-injak. Prabowo berani, nggak?

Berita Terkait

Berita Lainnya