Tunjangan Rumah DPR: Klarifikasi Dasco Bikin Adem? Tapi DPR Memang Brengsek

Image 3
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior


DEMO besar 25 Agustus 2025 di depan DPR RI menyoroti banyak hal, salah satunya soal tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan untuk anggota dewan. Isu ini langsung memantik emosi rakyat. Bagaimana tidak, di tengah beban hidup yang makin berat, rakyat melihat wakilnya justru hidup dengan tunjangan mewah.

Narasi inilah yang menjadi bahan bakar kemarahan publik. Spanduk, poster, bahkan orasi berulang kali menyebut tuntutan agar tunjangan rumah anggota DPR dicabut. Apalagi, media sosial penuh dengan potongan data yang seolah menegaskan: DPR sedang pesta pora di atas penderitaan rakyat.

Di tengah situasi panas itulah Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, akhirnya muncul memberi penjelasan. Menurutnya, tunjangan Rp 50 juta itu bukan tambahan rutin. Skemanya sejak awal adalah cicilan kontrak rumah lima tahun yang dibayarkan selama satu tahun, dari Oktober 2024 sampai Oktober 2025. Setelah itu otomatis berhenti. Jadi, istilah “dihentikan” bukanlah kebijakan baru, melainkan memang konsekuensi dari skema pembayaran yang sudah disepakati.

Penjelasan ini membuat publik akhirnya tahu duduk persoalan. Ternyata, anggota DPR tidak benar-benar menerima tunjangan tambahan terus-menerus, melainkan cicilan dari kontrak rumah. Tapi persoalan tidak berhenti di situ. Kenapa penjelasan ini baru keluar setelah demo besar-besaran? Kenapa tidak disampaikan sejak awal, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan amarah rakyat?

Di sinilah problem utamanya. DPR sebagai lembaga selama ini gagal membangun komunikasi yang transparan. Publik seolah baru diberi penjelasan kalau sudah ada ribut-ribut di jalan. Padahal, menyangkut uang rakyat, sejak awal mestinya semua terang-benderang. Kalau benar ada skema kontrak rumah lima tahun, kenapa tidak diumumkan terbuka sejak 2024?

Dalam konteks ini, Dasco memang tampil ke depan. Ia jadi sosok yang akhirnya bicara, menyampaikan kejelasan ketika publik terlanjur murka. Tetapi spotlight ini tidak boleh menutupi fakta bahwa DPR sebagai lembaga punya masalah komunikasi serius. Penjelasan yang datang terlambat lebih terasa seperti klarifikasi defensif, bukan sikap transparan sejak awal.

Reaksi publik pun beragam. Ada yang merasa sedikit lega karena tahu fakta sebenarnya. Ada pula yang justru semakin sinis: “Kalau memang begitu, kenapa tidak dari dulu dijelaskan?” Artinya, kepercayaan rakyat terhadap DPR tetap tergerus. Apalagi, hakikatnya anggota dewan sudah tetap menikmati fasilitas kontrak rumah lima tahun penuh. Sementara rakyat hanya mendapat ilusi psikologis bahwa tuntutannya didengar.

Bagaimana dengan pemerintah? Polemik ini sempat diarahkan ke rezim Prabowo, seolah eksekutif membiarkan DPR hidup berlebihan. Dengan penjelasan Dasco, tudingan itu mereda. Pemerintah relatif aman, karena publik tahu isu ini murni urusan DPR. Tapi lagi-lagi, yang dipertaruhkan adalah citra politik: apakah DPR mampu memperbaiki wajahnya di mata rakyat, atau justru makin kehilangan legitimasi moral?

Bagi publik, pelajaran pentingnya jelas: tetap kritis. Rakyat tidak boleh cepat puas hanya dengan klarifikasi. Transparansi harus jadi kewajiban, bukan hadiah setelah unjuk rasa. Bagi DPR, pesan yang sama pentingnya: jangan menunggu api membesar untuk memadamkan. Bangunlah komunikasi terbuka sejak awal, agar kepercayaan rakyat yang sudah rapuh tidak semakin hancur.

Maka, kalau ada yang bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari drama tunjangan rumah ini? Jawabannya berlapis. Anggota DPR tetap aman karena kontrak rumah mereka sudah lunas. Pemerintah terbantu karena sorotan publik tidak lagi diarahkan ke Istana. Dasco mendapat spotlight sebagai komunikator publik. Tapi rakyat? Mereka hanya diberi penjelasan belakangan, tanpa ada perubahan struktural yang benar-benar berpihak.

Inilah PR besar DPR ke depan. Bukan soal berapa besar tunjangan rumah, tapi soal bagaimana menjaga kepercayaan publik. Transparansi bukan sekadar pilihan, melainkan syarat mutlak. Kalau tidak, setiap kebijakan sekecil apa pun akan selalu dicurigai. 

Dan kemarahan rakyat hanya tinggal menunggu momentum. Pasalnya, sudah lama rakyat menilai DPR memang brengsek.

Berita Terkait

Berita Lainnya