Oleh: Yusuf Blegur
KASIHAN dan miris memang bagi rakyat Indonesia yang berharap melihat ijazah asli seorang petinggi negeri. Berbulan-bulan hingga bertahun-tahun menanti, ijazah asli tak kunjung pasti dan kian tak terbukti.
Justru yang ingin tahu dan menanyakan keberadaanya menjadi korban kriminalisasi. Demi memanipulasi kebenaran, perilaku kekuasaan menunjukan watak tirani.
Legalitas dan legitimasi kelulusan pendidikan seorang petinggi negeri tak cukup sekedar untuk memenuhi syarat konstitusi dan demokrasi. Pengakuan status sosial akademis itu juga sangat menentukan karakter dan jati diri.
Menjadi cermin jiwa yang menghayati dan mengamalkan Pancasila, UUD 1945 yang juga asli dan NKRI. Lebih dari itu juga menjadi integritas dan kelayakan dari seorang pemimpin sejati.
Pendidikan bukan hanya sekedar ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada Adab yang mendahuluinya, juga moral yang kental mengisi.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa peduli dan mengabdi, jika kepalsuan menyelimuti diri. Terlebih dengan ketiadaan nurani dan harga diri. Realitasnya kini, sangat sulit berharap simpati dan empati pada pemimpin yang sering mengakali.
Rekayasa ijazah pendidikan dan justifikasi paduan suara berbayar yang mengamini. Betapa tak terbantahkan ironi negeri yang disesaki manusia-manusia pemuja sekaligus budak materi.
Berwajah buzzer, ternak dan penjilat, saling sikut mengejar ambisi. Tragedi, ya benar-benar tragedi sebuah negeri, begitulah jika tak ada nurani dan harga diri, apalagi ijazah asli.