Haram Horeg

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Joko Intarto, Wartawan Senior

GUNAKAN headset kalau kamu ingin menikmati musik sampai telingamu tuli. Jangan paksa orang orang lain untuk mengikuti kebodohanmu!

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur resmi mengeluarkan fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg pada 14 Juli 2025, melalui Fatwa Nomor 1 Tahun 2025. Keputusan ini diambil setelah petisi penolakan dari 828 warga serta kajian mendalam melalui forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan.

Fatwa ini menetapkan bahwa sound horeg, sistem audio berintensitas tinggi yang kerap digunakan dalam konvoi atau hiburan keliling, haram jika volumenya melebihi batas wajar, mengganggu kesehatan, merusak fasilitas umum, atau disertai kemaksiatan seperti joget bercampur aurat dan perilaku tidak senonoh.

Fatwa ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, tokoh agama, hingga anggota DPR seperti Mufti Anam dari Dapil Jatim II, yang menilai sound horeg tidak hanya melanggar norma agama, tetapi juga merusak tatanan sosial, budaya, dan kesehatan masyarakat. Namun, fatwa ini menuai tentangan dari pelaku usaha sound horeg yang merasa penghidupan mereka terancam.

MUI Jawa Timur dan ulama pesantren, seperti KH Muhibbul Aman Aly dari Ponpes Besuk, memaparkan sejumlah alasan mendasar di balik fatwa haram ini:

1# Dampak Kesehatan:
Sound horeg rata-rata menghasilkan suara dengan intensitas 120–135 desibel (dB), jauh melebihi batas aman menurut WHO (85 dB untuk paparan 8 jam). Untuk bayi, gendang telinga yang masih sangat sensitif hanya dapat mentoleransi suara hingga sekitar 60–70 dB tanpa risiko kerusakan.

Paparan suara di atas level ini, terutama dari sound horeg, dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, stres, gangguan tidur, hingga kerusakan fisik pada bayi dan anak-anak. Kebisingan ini juga dapat menyebabkan retaknya dinding rumah akibat getaran berulang.

Dampak Sosial:
Fenomena ini sering dikaitkan dengan kemaksiatan, seperti tarian vulgar, pergaulan bebas, dan konsumsi minuman keras, yang dinilai merusak moral generasi muda dan mengganggu kekhusyukan ibadah, seperti saat takbiran atau di dekat pesantren.

Mengganggu Keamanan dan Ketertiban Umum:
Konvoi sound horeg kerap memicu kemacetan, kerumunan, dan potensi konflik horizontal antarwarga. Aksi polisi di Mojokerto yang menghadang konvoi sound horeg menjadi bukti nyata keresahan masyarakat terhadap gangguan ketenangan.

Kerusakan Budaya dan Lingkungan:
Sound horeg dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya lokal yang beradab dan sering kali menabrak norma kesopanan, seperti joget yang tidak sesuai syariat.

Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, menegaskan bahwa fatwa ini berbasis fikih dan mempertimbangkan mudarat (kerugian) yang jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Fenomena sound horeg mulai marak di Jawa Timur, khususnya di daerah seperti Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Blitar, pasca pandemi Covid-19 sekitar tahun 2022–2023. Awalnya, sound horeg populer di kalangan pemuda sebagai hiburan rakyat, sering muncul dalam pawai, pesta rakyat, atau malam takbiran.

Dengan suara bass yang menggetarkan, lampu kelap-kelip, dan sistem audio berdaya tinggi (rata-rata 1000–5000 watt atau lebih, menghasilkan 120–135 dB), sound horeg menjadi simbol ekspresi budaya populer, meski kemudian memicu polemik karena kebisingan dan dampak sosialnya. Menurut KH Muhibbul Aman Aly, keresahan masyarakat meningkat signifikan sejak fenomena ini meluas di wilayah Jawa Timur.

Meski dampak negatifnya jelas, beberapa pejabat daerah dan aparat keamanan diduga melindungi praktik sound horeg. Alasan utama meliputi:

1# Ekonomi Lokal:
Sound horeg menjadi sumber penghasilan bagi pelaku usaha, seperti penyedia jasa sound system dan penyelenggara acara. Saiful, perintis sound Horeg di Blitar, menegaskan bahwa kegiatan ini mendukung perekonomian warga, seperti santunan anak yatim, pembangunan masjid, hingga pemberdayaan UMKM.

2# Tekanan Sosial dan Politik:
Beberapa pejabat enggan mengambil tindakan tegas karena sound horeg populer di kalangan komunitas tertentu, terutama pemuda, yang dapat memengaruhi dukungan politik lokal.

3# Kurangnya Regulasi yang Jelas:
Hingga kini, belum ada aturan nasional yang tegas terkait penggunaan sound horeg. Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, menyatakan bahwa Pemprov Jatim sedang menyusun regulasi lintas sektor untuk mencari jalan tengah, menunjukkan adanya kebimbangan dalam pengambilan kebijakan.

Anggota DPR Mufti Anam menyoroti bahwa fatwa haram muncul karena “negara tidak hadir” dalam mengatasi keresahan ini, sehingga pesantren merasa perlu mengambil peran.

Mengingat dampak buruk yang ditimbulkan, khususnya risiko kesehatan bagi bayi dan anak-anak akibat paparan suara melebihi 60–70 dB, banyak pihak mendesak agar sound horeg dilarang secara nasional. MUI Pusat, melalui KH Miftahul Huda, menegaskan bahwa penanganan sound horeg tidak cukup hanya dengan fatwa, tetapi memerlukan tindakan tegas dari pemerintah dan kepolisian karena telah masuk ranah keamanan publik.

MUI Jatim juga merekomendasikan agar pemerintah daerah menyusun regulasi terkait perizinan, standar penggunaan, dan sanksi. Mereka bahkan meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk tidak memberikan legalitas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk sound horeg sebelum ada perbaikan aturan.

Larangan secara nasional dianggap perlu untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama bayi, dari polusi suara yang dapat merusak pendengaran, menjaga ketertiban sosial dan mencegah konflik horizontal, dan memastikan ruang publik tetap beradab dan sesuai norma agama serta budaya.

Pengalaman di Mojokerto, di mana polisi berhasil membubarkan konvoi sound horeg, menjadi contoh bahwa penertiban efektif dapat dilakukan dengan komitmen aparat.

Indonesia tidak akan kehilangan momentum kemajuan tanpa sound horeg. Dengan suara yang mengganggu (120–135 dB, jauh di atas toleransi gendang telinga bayi pada 60–70 dB), potensi kemaksiatan, dan ancaman terhadap kesehatan serta ketertiban, sound horeg lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.

Sound horeg hanya menambah orang tuli karena kegoblokannya sendiri.

Berita Terkait

Berita Lainnya