Dampak Tarif Resiprokal 19% Trump terhadap Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akhir 2025

Image 3
Presiden Donald Trump

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

PRESIDEN Donald Trump menetapkan tarif ekspor ke AS ditetapkan sebesar 19%. Meski angka ini lebih rendah dari ancaman tarif 32% sebelumnya, konsekuensinya tidak berhenti di situ. 

Sebagai imbalan, Indonesia harus menurunkan hampir seluruh tarif untuk produk AS dan melakukan pembelian besar-besaran dari sektor energi, pertanian, hingga pesawat terbang buatan Amerika.

Pertanyaan besar pun muncul: 

Akankah pertumbuhan ekonomi Indonesia tertekan akibat tarif ekspor yang lebih tinggi, atau justru terdorong berkat kepastian akses pasar dan investasi baru? Persoalan ini menjadi semakin relevan, mengingat kebijakan ini mulai berlaku pada 7 Agustus 2025, di tengah dinamika ekonomi global yang masih belum sepenuhnya pulih dari tekanan geopolitik dan perlambatan pertumbuhan dunia.

Sebelum masuk ke dalam pusaran kebijakan tarif baru, mari kita lihat posisi Indonesia saat ini. 

Pada kuartal II 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,12% secara tahunan, membaik dari 4,87% di kuartal sebelumnya. 

Secara kuartalan, ekonomi tumbuh 4,04%, menunjukkan pemulihan yang cukup solid setelah kontraksi di awal tahun. Sumber pertumbuhan utama berasal dari konsumsi swasta, investasi, serta pemulihan ekspor dan impor.

Namun, penting dicatat bahwa peran ekspor dalam struktur PDB Indonesia tidak sebesar negara-negara ASEAN lain, yakni hanya sekitar 18,8%. 

Dari total ekspor, AS menyumbang 9,9% (sekitar US$26 miliar dari total US$264 miliar pada 2024). Surplus perdagangan dengan AS bahkan kurang dari 2% PDB nasional. 

Dalam World Economic Outlook Update IMF Juli 2025, proyeksi pertumbuhan riil Indonesia di angka 4,8% untuk tahun ini, sementara Bank Dunia menilai ekonomi Indonesia relatif resiliensi, dengan potensi pertumbuhan rata-rata 4,8% selama 2025–2027, dan bisa naik hingga 5,5% pada 2027 jika reformasi struktural berjalan.

Tarif 19%: Jalan Tol atau Risiko Baru?

Tarif 19% yang dikenakan AS terhadap ekspor Indonesia merupakan hasil kompromi setelah ancaman tarif 32%. 

Sebagai balasan, Indonesia menghapus tarif pada lebih dari 99% produk AS, membeli energi, komoditas pertanian, dan pesawat AS dalam jumlah besar, serta membuka akses pasar digital. Negara pesaing utama seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand dikenakan tarif serupa, sementara negara seperti Laos dan Myanmar harus menghadapi tarif setinggi 40%.

Dari sisi daya saing, Indonesia tetap relatif kompetitif di mata AS, namun bea masuk 19% tetap menjadi tantangan besar bagi pelaku ekspor, terutama di sektor-sektor padat karya seperti udang, alas kaki, tekstil, dan elektronik.

Bayangkan sistem perdagangan internasional sebagai jalan tol dua arah. Ketika satu gerbang tol diperlebar (tarif turun untuk barang AS), banyak kendaraan (produk impor) yang melaju masuk tanpa hambatan. 

Namun, di sisi lain, pintu keluar ke Amerika justru diberi palang (tarif 19%), sehingga ekspor Indonesia harus “membayar lebih” untuk melewati jalan tol itu. 

Imbalannya? Indonesia boleh lewat lebih cepat di jalur tol negara lain, tapi harus siap menghadapi banjir kendaraan asing di dalam negeri.

Menakar Dampak: Tarif 19%

Analisis dampak kebijakan ini dapat dirangkum dalam tiga skenario: negatif, netral, dan positif.

Skenario Negatif: Bayang-Bayang Penurunan Ekspor

Industri—khususnya di sektor udang, alas kaki, dan tekstil—menjadi pihak pertama yang merasakan tekanan. Asosiasi petambak udang memperkirakan ekspor udang ke AS bisa turun hingga 30% akibat tarif baru, mengancam mata pencaharian satu juta pekerja. 

Jika volume ekspor ke AS turun 20–30%, dampak terhadap PDB nasional diperkirakan sekitar 0,37–0,56 poin, membuat pertumbuhan tahunan bisa terkoreksi ke kisaran 4,3–4,5%. Selain itu, pembukaan keran impor produk AS secara besar-besaran berpotensi memperlebar defisit perdagangan, menekan nilai tukar rupiah, dan memberi tekanan baru pada industri lokal yang belum sepenuhnya siap menghadapi persaingan.

Skenario Netral: Diversifikasi dan Kebijakan Adaptif

Namun, tidak semua pihak pesimis. Dengan porsi ekspor ke AS yang relatif kecil dan adanya diversifikasi pasar, penurunan volume ekspor diprediksi hanya sebesar 15%. Dampak terhadap PDB pun lebih terbatas, sekitar 0,28 poin. 

Pemerintah dan pelaku usaha mulai mengalihkan penjualan ke pasar non-AS seperti Tiongkok, Timur Tengah, Kanada, dan Uni Eropa. Stimulus fiskal, penurunan suku bunga Bank Indonesia, serta program investasi pemerintah di sektor perumahan dan infrastruktur menjadi bantalan bagi ekonomi domestik.

Dalam kondisi ini, pertumbuhan ekonomi Semester II 2025 diperkirakan tetap bisa bertahan di kisaran 4,8–4,9%. Konsumsi rumah tangga dan investasi menjadi penopang utama, sementara penurunan ekspor ke AS sebagian besar dapat diimbangi oleh peningkatan permintaan dari pasar lain dan stimulus domestik.

Skenario Positif: Kepastian Sebagai Magnet Investasi

Ada pula argumen bahwa tarif 19% justru menghadirkan kepastian pasar. Ancaman tarif 32% sebelumnya membuat investor dan eksportir menunda keputusan bisnis. 

Dengan tarif yang lebih jelas dan kompetitif dibandingkan negara pesaing utama, investasi asing dan domestik mulai bergairah kembali. Simulasi Dewan Ekonomi Nasional bahkan memproyeksikan adanya tambahan 0,5 poin pada pertumbuhan PDB akibat kepastian ini. 

Jika penurunan ekspor ke AS hanya sekitar 10% atau stabil, pertumbuhan ekonomi Semester II 2025 bisa mendekati 5,1%.

Faktor lain yang memperkuat skenario ini adalah reformasi struktural dan transformasi digital yang ditekankan Bank Dunia. 

Jika pemerintah mampu memperbaiki iklim usaha, deregulasi, dan mendukung transfer teknologi dari pembelian pesawat dan peralatan AS, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa meningkat dalam jangka menengah.

Mencari Titik Imbang: Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Seperti pengemudi di jalan tol dua arah yang harus waspada baik terhadap arus masuk maupun keluar, pemerintah Indonesia dituntut untuk menjaga keseimbangan. 

Di satu sisi, peluang untuk meningkatkan investasi dan transfer teknologi terbuka lebar. Di sisi lain, arus masuk barang impor dari AS harus dikelola agar tidak melumpuhkan industri domestik.

Pemerintah harus mempercepat reformasi struktural, memperkuat daya saing industri lokal, serta memperluas diversifikasi pasar ekspor. Insentif bagi UMKM, penguatan ekosistem industri berbasis teknologi, serta penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan. Selain itu, momentum kerjasama perdagangan dengan negara-negara non-AS harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menekan ketergantungan pada satu pasar.

Menjadikan Tantangan sebagai Peluang

Tarif resiprokal 19% ala Trump memang menghadirkan tantangan nyata bagi ekspor Indonesia, terutama untuk sektor-sektor padat karya. Namun, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi nasional cenderung terbatas, mengingat pangsa pasar AS relatif kecil dalam struktur ekspor dan PDB Indonesia. 

Penurunan ekspor ke AS 20–30% kemungkinan hanya memangkas pertumbuhan PDB sekitar 0,3–0,5 poin, sehingga pertumbuhan Semester II 2025 diperkirakan tetap berada di kisaran 4,5–5,1%, tergantung pada seberapa kuat respon kebijakan dan adaptasi pelaku ekonomi.

Kunci keberhasilan Indonesia menghadapi era tarif baru bukan hanya pada negosiasi dagang, tetapi pada kemampuan memperkuat fondasi ekonomi domestik, mempercepat reformasi, dan membangun daya saing global. Jika langkah-langkah strategis ini dijalankan, bukan tidak mungkin Indonesia justru dapat keluar sebagai pemenang di tengah pusaran proteksionisme global, menjaga pertumbuhan ekonomi yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.

Berita Terkait

Berita Lainnya