Menjaga Bara Intelektual Merah Putih

Image 3
Ketua Dewan Pembina Yayasan UTA’45 Jakarta, Rudyono Darsono

Oleh: Luhut Parlinggoman Siahaan, Staf Khusus Ketua Dewan Pembina YPT 17 Agustus 1945 Jakarta

— “Yang menjaga merah putih bukan hanya bendera. Tapi orang-orang yang tak pernah lelah percaya pada cita-cita bangsa." —

Rudyono Darsono

DI tengah arus deras globalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, ada satu kampus yang tetap setia pada jati dirinya sebagai penjaga nilai-nilai kebangsaan: Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, atau yang lebih dikenal sebagai UTA’45 Jakarta. Namun, di balik kebangkitannya hari ini, terselip nama seorang tokoh yang secara sunyi namun pasti menghidupkan kembali semangat kampus ini. Dialah Dr. Rudyono Darsono—sang penjaga bara Merah Putih di era baru kebangsaan.

Bukan Sekadar Universitas

UTA’45 bukan hanya sekadar institusi pendidikan. Ia adalah warisan sejarah, buah dari semangat kemerdekaan. Didirikan pada 14 Juli 1952 oleh tokoh-tokoh nasional seperti Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo dan Geoffrey Kotan Harahap, kampus ini lahir dari tekad luhur untuk mendidik warga negara Indonesia menjadi insan yang berilmu, berbudi, dan berjiwa nasionalis.

Namun sejarah panjang tidak selalu menjamin ketahanan di masa kini. Memasuki abad ke-21, UTA’45 sempat diguncang berbagai persoalan mendasar—dari berakhirnya izin operasional beberapa program studi hingga krisis akreditasi. Kampus nasionalis ini nyaris kehilangan jati dirinya.

Rudyono Darsono: Pemimpin yang Tak Menunduk

Situasi yang genting itu justru menjadi panggilan jiwa bagi Rudyono Darsono, Ketua Dewan Pembina Yayasan UTA’45 Jakarta. Di saat banyak orang memilih bersikap aman, Rudyono tampil dengan keberanian dan idealisme. Ia tak hanya bicara, tapi juga bertindak. Ia bukan tipe pemimpin yang berlindung di balik jabatan. Ia hadir di garis depan, mengawal perubahan.

Di bawah kepemimpinannya, langkah-langkah radikal diambil: pembersihan internal, evaluasi menyeluruh terhadap program studi, audit akademik, hingga penghentian kelas jarak jauh yang melanggar etika akademik. Ia tahu bahwa menyelamatkan UTA’45 bukan soal popularitas, tapi soal tanggung jawab sejarah.

Dan hasilnya nyata.

Kampus yang Bangkit dari Abu

Program studi yang sebelumnya kehilangan akreditasi kini kembali mendapatkan pengakuan resmi dengan status “Akreditasi Baik” dari BAN-PT. Izin operasional diperbarui. Sistem pendidikan dibenahi. Tak hanya itu, di era Rudyono, UTA’45 Jakarta berhasil melahirkan Guru Besar pertamanya, Prof. Dr. Diana Laila Ramatillah—sebuah tonggak sejarah baru bagi kampus Merah Putih ini.

Dalam sebuah pidato, Rudyono menegaskan:

“Saya ingin UTA’45 tidak hanya menghasilkan lulusan, tapi mencetak penemu. Saya ingin ada yang lahir dari kampus ini dan membanggakan Indonesia.”

Itu bukan sekadar slogan kosong. Ia secara nyata mendukung riset anak bangsa. Ia mendorong para apoteker muda kembali ke daerah untuk membangun tanah kelahirannya. Ia bicara soal nasionalisme, bukan dalam kerangka masa lalu, tetapi sebagai energi masa depan.

Pemimpin yang Konsisten dan Berani Berbeda

Apa yang membuat Rudyono berbeda? Ia berani bersikap saat banyak memilih diam. Ia konsisten dalam prinsip di tengah dunia yang mudah berubah arah. Bagi Rudyono, nasionalisme bukan sekadar tema seremoni, melainkan fondasi berpikir, bersikap, dan bertindak. Ia memandang pendidikan bukan sebagai bisnis, tetapi sebagai jalan peradaban.

Di media sosial resmi UTA’45 Jakarta, berbagai capaian era Rudyono terus dipublikasikan: pengakuan BAN-PT, pelantikan guru besar, hingga digitalisasi manajemen kampus. Semua ini bukan hanya pencapaian personal, melainkan hasil dari kerja kolektif yang ia bangun dengan keteladanan.

Satu yang selalu mengiang di telinga saya, sebagai seorang ahli hukum sekaligus praktisi dan akademisi ilmu hukum, adalah penegasan beliau bahwa:

"Fungsi hukum bukanlah sekadar memberikan sanksi hukuman, apalagi dengan alasan untuk membuat jera, tetapi fungsi utama hukum adalah mampu memberikan keadilan."

Rudyono Darsono tidak pernah memisahkan antara idealisme dan realitas. Ia tahu bahwa nasionalisme yang radikal dan konsisten membawa risiko. Ia sadar, setiap saat, risiko itu mungkin akan menghampirinya. Tapi bagi Rudyono, Indonesia yang adil dan sejahtera adalah segalanya dalam tujuan hidupnya.

Kebangsaan yang Dibumikan, Bukan Didongengkan

Hari ini, ketika bangsa Indonesia memasuki era Prabowo dan membuka lembaran baru kepemimpinan nasional, UTA’45 Jakarta di bawah naungan Rudyono Darsono bersiap menjadi mitra strategis dalam membumikan nasionalisme yang berpijak pada realitas. Bukan nasionalisme retoris, tapi yang terwujud dalam karya nyata: riset, pengabdian masyarakat, dan pendidikan berkualitas.

Di era ketika banyak universitas tergoda menjadi pusat bisnis, Rudyono membawa UTA’45 tetap setia sebagai pusat perjuangan intelektual. Di tangannya, kampus ini bukan hanya hidup kembali—tetapi menyala.

Penutup: Bara Itu Masih Menyala

Rudyono Darsono mengajarkan bahwa seorang pemimpin tak harus berteriak untuk didengar. Terkadang, cukup dengan keteguhan, keberanian, dan cinta yang tulus pada bangsanya, bara semangat yang hampir padam bisa menyala kembali.

UTA’45 Jakarta kini bukan sekadar bertahan. Ia bergerak maju. Dan di balik langkah-langkah besar itu, ada sosok Rudyono—sosok yang patut dikenang, diteladani, dan dijadikan inspirasi bagi generasi penerus bangsa.

 

Berita Terkait

Berita Lainnya