Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
MENGAPA defisit APBN 2025 melebar lagi?
Pekan ini publik dikejutkan oleh laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa outlook defisit 2025 diperkirakan melebar menjadi 2,78% dari PDB, di atas asumsi awal sebesar 2,29%.
Hal ini terjadi karena pendapatan negara diprediksi hanya mencapai Rp2.865,5 triliun, atau 95,4% dari target awal Rp3.005,1 triliun.
Pertanyaannya, apakah pelebaran defisit ini aman, atau justru berbahaya bagi keberlanjutan fiskal negara kita ke depan?
Bayangkan sebuah keluarga yang memiliki pengeluaran bulanan Rp30 juta, sementara pendapatannya hanya Rp28 juta.
Setiap bulan mereka menutup kekurangan dengan pinjaman kartu kredit.
Sekilas, tidak ada masalah karena tagihan selalu terbayar.
Namun, bunga yang menumpuk diam-diam memakan porsi pengeluaran, hingga akhirnya sebagian besar pendapatan habis hanya untuk membayar bunga pinjaman, bukan kebutuhan hidup atau pendidikan anak-anak mereka.
Begitulah kondisi APBN Indonesia saat ini. Ketika defisit dibiayai utang, maka negara harus membayar bunga dan pokok utang yang semakin membesar di tahun-tahun berikutnya.
Inilah yang disebut sebagai risiko keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability risk).
Defisit Membengkak, Utang Menggunung, Bunga Utang Menggerus Kesejahteraan
Dalam RAPBN 2025, pemerintah menargetkan total utang baru mencapai Rp729 triliun untuk menutup defisit dan pembiayaan lainnya.
Namun, realita menunjukkan bahwa beban pembayaran bunga utang sudah menembus Rp522,8 triliun pada 2024, dan berpotensi naik lagi pada 2025.
Artinya, hampir 20% dari seluruh belanja negara hanya untuk membayar bunga utang, bukan untuk pembangunan, kesehatan, atau pendidikan rakyat.
Jika ditambahkan cicilan pokok utang jatuh tempo yang mencapai Rp1.062 triliun di tahun 2025, maka total kewajiban utang (pokok plus bunga) sudah di atas Rp1.500 triliun.
Ini setara dengan lebih dari separuh pendapatan negara. Sebuah proporsi yang tidak wajar untuk negara berkembang dengan tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang masih tinggi.
Mengapa Defisit 2,78% PDB Berisiko bagi Rakyat High Risk?
Banyak ekonom birokrat mengatakan defisit 2,78% PDB aman karena masih di bawah batas 3% UU Keuangan Negara.
Namun kita perlu kritis. Batas 3% adalah angka administratif, bukan angka optimal yang mencerminkan keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Mengapa berisiko?
Dengan total utang yang telah menembus Rp10.269 triliun dan rasio 40,19% PDB pada 2024, risiko fiskal Indonesia semakin besar.
Utang ini naik hampir Rp800 triliun hanya dalam satu tahun, yang mayoritas digunakan untuk menutup defisit dan membayar utang jatuh tempo, bukan untuk pembiayaan pembangunan strategis jangka panjang.
Sebagai perbandingan, pada 2014 total utang pemerintah baru Rp2.600 triliun (24,7% PDB).
Ini Artinya, dalam satu dekade, utang Indonesia meningkat hampir 4 kali lipat, sementara tax ratio stagnan di kisaran 9–10%.
Kondisi ini menimbulkan fiscal stress karena ruang fiskal untuk belanja produktif semakin sempit akibat pembayaran bunga utang yang terus membengkak.
Memang masih di bawah Maastricht Treaty 60%, tetapi perlu diingat bahwa tax ratio Indonesia masih di bawah 10%, sedangkan negara-negara OECD yang rasionya 60% memiliki tax ratio di atas 25%. Artinya, kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah.
Kedua, struktur utang Indonesia semakin jangka pendek dan berbunga tinggi.
Sebagian besar SBN jatuh tempo kurang dari 10 tahun, menimbulkan risiko roll over yang tinggi. Setiap kenaikan suku bunga global atau sentimen negatif di pasar keuangan dapat membuat biaya utang melonjak.
Ketiga, pembayaran bunga utang telah menggerus belanja kesejahteraan rakyat.
Saat ini, anggaran kesehatan hanya Rp186 triliun (5,6% belanja negara), sedangkan bunga utang Rp522 triliun. Anggaran pendidikan Rp665 triliun, tetapi itu pun sebagian besar gaji dan tunjangan guru, bukan untuk peningkatan mutu pendidikan.
Negara ini membayar bunga utang hampir setara dengan total belanja modal pembangunan infrastruktur.
Dengan kata lain, utang hari ini telah menekan kapasitas pembangunan dan kesejahteraan rakyat di masa depan.
Utang produktif yang digunakan untuk investasi publik yang menghasilkan nilai tambah ekonomi sah-sah saja.
Namun ketika utang digunakan untuk belanja rutin, subsidi konsumsi, dan menutup defisit tanpa reformasi pendapatan negara, maka itu ibarat gali lubang tutup lubang.
Fokus Kebijakan: Bagaimana Memaksimalkan Pendapatan Negara?
Pemerintah semestinya mengakui bahwa target pendapatan Rp3.000 triliun belum realistis tanpa reformasi pajak yang mendalam. Apa yang perlu dilakukan?
Pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.
Basis pajak kita sempit, dengan tax ratio di bawah 10%. Pemerintah harus menambah basis pajak dengan memperluas kepatuhan pajak pelaku usaha digital, sektor jasa profesional, dan penegakan pajak progresif atas kelompok kaya.
Kedua, optimalisasi PNBP SDA dan Minerba.
Banyak celah kebocoran dalam penetapan royalti dan DMO, terutama di sektor batu bara dan nikel. Penegakan hukum dan perbaikan tata kelola dapat menambah penerimaan negara tanpa menambah beban rakyat.
Ketiga, hapuskan insentif pajak yang tidak efektif.
Saat ini tax expenditure Indonesia mencapai Rp372 triliun per tahun (Kemenkeu, 2024). Ini setara 3,5% PDB yang hilang akibat berbagai pembebasan dan insentif fiskal, banyak di antaranya tidak tepat sasaran dan hanya menguntungkan konglomerasi tertentu.
Program Prioritas Prabowo: Apakah MBG dan Koperasi Desa Penyebab Defisit?
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih memang belum diimplementasikan penuh pada 2025, namun pemerintah sudah mulai mengalokasikan baseline spending untuk menyiapkannya.
Menurut perhitungan terbaru, MBG membutuhkan minimal Rp71 triliun di tahap awal, dan bisa mencapai Rp400 triliun per tahun saat skala penuh.
Dengan fiskal yang sudah sempit, program populis seperti ini berisiko menambah defisit jika tidak diimbangi penerimaan baru yang progresif dan reformasi belanja negara.
Tanpa itu, MBG hanya akan menambah utang, bukan menyehatkan gizi rakyat secara berkelanjutan.
Analogi sederhananya: jangan memberi makan anak dengan utang kartu kredit, karena suatu saat tagihannya akan lebih besar daripada biaya makan itu sendiri, menjerumuskan keluarga pada kebangkrutan.
Solusi dan Simpulan: Perlu Disiplin Fiskal dan Fokus pada Keberlanjutan
Indonesia membutuhkan strategi fiskal yang berorientasi keberlanjutan, bukan sekadar memenuhi janji politik jangka pendek.
Pertama, pemerintah perlu menetapkan defisit yang lebih rendah, idealnya di bawah 2% PDB dalam jangka menengah, untuk memastikan risiko pembayaran utang tidak menekan belanja pembangunan.
Kedua, reformasi pajak dan PNBP dilakukan sekarang, bukan ditunda lagi dengan alasan stabilitas politik.
Negara-negara maju memiliki tax ratio tinggi karena sistem administrasi pajak mereka efektif dan adil.
Ketiga, evaluasi seluruh belanja negara secara keras. Program yang tidak produktif, belanja barang kementerian/lembaga yang bersifat ceremonial, hingga berbagai proyek mercusuar yang tidak memberi multiplier effect ekonomi harus dikurangi atau dihapus.
Pilihan yang Sulit, Tapi Harus Dilakukan
Pelebaran defisit menjadi 2,78% PDB memang terlihat kecil di atas kertas, namun bagi rakyat, itu berarti lebih banyak uang yang diambil dari masa depan mereka untuk membayar bunga dan utang hari ini.
Kebijakan fiskal Indonesia kini berada di persimpangan: apakah kita ingin menjadi negara berdaulat fiskal dengan belanja produktif, atau menjadi negara pengutang abadi dengan APBN yang hanya menjadi debt service budget?