Menata Ulang Kemitraan Publik-Swasta di Era Fiskal Terbatas, Kapoknya Swasta dalam Proyek Infrastruktur Jangan Dianggap Enteng

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

MENGAPA para pengusaha yang tergabung dalam Kadin merasa kapok ikut menggarap proyek infrastruktur pemerintah?

Mengapa keluhan ini disampaikan secara langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat?

Apakah skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang selama ini digadang sebagai solusi pembiayaan justru menjadi jebakan bagi sektor swasta?

Pertanyaan-pertanyaan ini menyeruak ke permukaan pasca pernyataan terbuka dari Kadin, menandakan bahwa ada yang salah dalam cara negara melibatkan mitra swasta dalam pembangunan.

Keluhan ini tidak boleh dianggap angin lalu, karena berpotensi mengganggu kelanjutan agenda pembangunan infrastruktur nasional.

Seperti kapal besar yang kehilangan kemudinya, bila swasta benar-benar menarik diri, maka pemerintah akan terbebani oleh keterbatasan fiskal yang semakin akut.

KPBU: Skema yang Di Atas Kertas Terlihat Ideal, Tapi...

Skema KPBU dirancang sebagai jalan tengah antara keterbatasan anggaran negara dan kebutuhan besar akan pembangunan infrastruktur.

Di atas kertas, KPBU adalah simfoni indah: pemerintah menyiapkan proyek, swasta masuk dengan modal dan keahlian, dan hasilnya adalah pembangunan yang lebih cepat, efisien, dan berkelanjutan.

Namun, seperti piano yang dipaksakan main di jalan berlumpur, harmoni ini mudah berubah menjadi sumbang saat diterapkan di lapangan.

Pengusaha swasta menghadapi kerumitan birokrasi, inkonsistensi kebijakan, dan ketidakpastian dalam pengembalian investasi.

Bahkan proyek-proyek yang tampak menjanjikan di awal bisa berubah menjadi jebakan likuiditas karena struktur risiko yang tidak proporsional.

Bayangkan seorang petani yang diminta menanam padi di sawah milik negara, dengan janji hasil panennya akan dibeli dengan harga layak.

Namun setelah tanam, hujan tak turun, irigasi tersumbat, dan harga jual tidak kunjung jelas.

Apakah petani itu akan mau menanam lagi tahun depan? Begitulah perasaan pelaku usaha saat ini.

Ketika Kepastian Menjadi Barang Mewah

Dunia usaha bekerja dengan asumsi rasionalitas dan perhitungan risiko.

Dalam banyak kasus KPBU, yang mereka temukan justru adalah ketidakpastian dalam segala aspek: mulai dari waktu pelaksanaan proyek yang molor, perubahan aturan yang mendadak, hingga janji insentif fiskal yang tak kunjung datang.

Padahal bagi swasta, waktu adalah biaya.

Tak heran jika akhirnya banyak yang merasa KPBU hanyalah skema ideal yang buruk dalam eksekusi.

Pemerintah ingin infrastruktur tanpa keluar dana besar, sementara swasta dipaksa menanggung sebagian besar risiko tanpa kepastian imbal balik.

Ini seperti mengajak orang naik kapal, tapi hanya menyediakan pelampung untuk satu pihak.

Risiko Jika Swasta Mundur: Negara Tak Lagi Mampu Menyediakan Jalan Hidup

Jika tren ini berlanjut dan sektor swasta semakin enggan terlibat dalam proyek infrastruktur, kita menghadapi risiko sistemik yang serius.

Infrastruktur bukan hanya soal beton dan aspal, tapi juga urat nadi pertumbuhan ekonomi. Jalan yang tak terbangun berarti distribusi barang terhambat.

Pelabuhan yang mangkrak berarti ekspor mandek. Bendungan yang tertunda berarti lahan pertanian kekeringan.

Dalam konteks ini, mundurnya swasta dari KPBU adalah sinyal lampu merah bagi keberlanjutan pembangunan nasional.

Padahal APBN kita tidak memiliki ruang fiskal yang cukup luas untuk membiayai sendiri megaproyek infrastruktur.

Ketergantungan pada swasta adalah keniscayaan. Maka, jika swasta mulai menarik diri, kita harus bertanya: di mana letak kesalahannya?

Solusinya Bukan Sekadar Revisi Aturan, Tapi Pemulihan Kepercayaan

Masalah utama KPBU bukan sekadar pada aturan yang rumit, melainkan pada kepercayaan yang terkikis.

Pemerintah perlu membangun ulang fondasi kepercayaan dengan mitra swasta. Ini dimulai dari tiga hal sederhana namun krusial: transparansi, konsistensi, dan insentif yang masuk akal.

Pertama, pemerintah perlu membuka proses perencanaan dan evaluasi proyek secara transparan, termasuk pembagian risiko dan proyeksi pengembalian.

Kedua, perlu ada konsistensi kebijakan—jangan sampai proyek yang dimulai dengan satu regulasi tiba-tiba harus patuh pada regulasi baru di tengah jalan.

Ketiga, berikan insentif fiskal dan jaminan yang realistis agar swasta tidak merasa bermain di medan yang tidak seimbang.

Selain itu, pemerintah perlu menyadari bahwa relasi dengan swasta bukan relasi atasan-bawahan, melainkan kemitraan setara.

Mengundang swasta masuk proyek pemerintah tidak boleh hanya dimaknai sebagai upaya "meminjam uang" mereka, tapi harus dilihat sebagai kerja sama strategis demi kepentingan bangsa.

Menata Ulang Kemitraan Publik-Swasta di Era Fiskal Terbatas

Dalam kondisi anggaran yang cekak dan kebutuhan infrastruktur yang terus tumbuh, kita tidak punya pilihan selain memperbaiki cara kita melibatkan swasta.

KPBU harus direformulasi tidak hanya sebagai skema pembiayaan, tapi sebagai strategi pembangunan berkelanjutan berbasis kemitraan.

Negara harus mampu memberikan rasa aman berinvestasi, sebagaimana seorang tuan rumah yang menyambut tamunya dengan jaminan kenyamanan.

Bila tidak, tamu itu akan pergi, dan pesta pembangunan pun berakhir sebelum dimulai.

Dengan membenahi kepercayaan dan menata ulang hubungan dengan swasta, kita bisa kembali menghidupkan mimpi besar membangun Indonesia dari pinggiran, dari desa ke kota, dari perbatasan ke pusat.

Tapi mimpi itu hanya akan jadi nyata jika pemerintah dan swasta bisa kembali duduk bersama—bukan sekadar berbagi beban, tapi berbagi visi.

Sebab pada akhirnya, membangun negeri adalah tugas bersama. Dan negara yang mampu merawat kepercayaan, akan selalu punya sekutu dalam setiap tantangan pembangunan.

Berita Terkait

Berita Lainnya