Peringatan 27 Tahun Reformasi: Syahganda Nainggolan Serukan Perlawanan terhadap Ketimpangan

Image 3
Aktivis senior Hariman Siregar memberikan pernyataan kunci dalam Sarasehan Aktivis 98 memperingati Reformasi 1998 di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025/MNID

Jakarta. MNID. Dua puluh tujuh tahun sejak Soeharto lengser, para aktivis kembali berkumpul. Bukan di jalanan yang gaduh oleh demonstrasi, melainkan di sebuah ballroom nyaman Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan. Namun suasana batin yang menyeruak dari para mantan pejuang reformasi itu tak kalah riuh: kegelisahan, kecewa, sekaligus harapan masih berserak dalam kata-kata yang mereka ucapkan. Terutama dari Syahganda Nainggolan, ketua Dewan Direktur GREAT Institute, yang menjadi salah satu suara paling nyaring siang itu.

Acara yang bertajuk “Sarasehan Aktivis Lintas Generasi Memperingati Reformasi 1998” itu dihadiri nama-nama besar gerakan mahasiswa dan civil society dari berbagai era. Ada Hariman Siregar, tokoh Malari 1974. Ada juga Robertus Robet, sosiolog kritis. Sejumlah pejabat yang dulunya aktivis—seperti Faisol Riza, Immanuel Ebenezer, Agus Jabo, dan Masinton Pasaribu—juga hadir. Namun, justru dari mulut Syahganda—yang tidak menjabat posisi formal dalam pemerintahan—terdengar seruan paling telanjang tentang betapa Reformasi nyaris terpinggirkan oleh pengkhianatan elite.

“Politik Uang Membunuh Cita-Cita”

“Lima tahun setelah Reformasi, permainan politik demokrasi sudah menjelma menjadi politik uang,” kata Syahganda. Kalimat itu tak terdengar seperti keluhan sepele. Ia mengungkapnya dengan suara yang serak, nyaris getir. “Kita semua pernah berharap besar ketika banyak teman-teman aktivis masuk ke pemerintahan. Tapi kini kita melihat banyak yang justru ikut melanggengkan ketimpangan.”

Ketimpangan ekonomi menjadi tema sentral pidatonya. Mengutip data yang ia sebut “faktual,” Syahganda mengatakan bahwa satu persen penduduk Indonesia menguasai sekitar 40 persen kekayaan nasional. “Itu angka yang harus kita konfirmasi terus, tapi fakta ketimpangan tak terbantahkan,” ujarnya. “Reformasi belum berhasil mengurangi kesenjangan ini.”

Apa yang diucapkan Syahganda seolah menggemakan keluhan publik selama ini—tentang ekonomi yang makin oligarkis, politik yang makin transaksional, dan aktivisme yang banyak direduksi menjadi posisi dan jabatan. Tetapi ia tidak berhenti pada kritik. Ia menyerukan harapan.

Harapan pada Era Prabowo?

Di tengah kekecewaan itu, Syahganda melihat peluang pada pemerintahan baru Prabowo Subianto. “Ada goodwill yang kuat dari Presiden,” katanya. “Ada celah untuk memperjuangkan pemerataan. Ada harapan agar harta-harta ilegal seperti sawit dan tambang bisa diambil alih negara, dan diberikan kembali ke rakyat.”

Ia bahkan menyebutkan ide konkret: soal pantai utara Banten yang kini dikuasai segelintir elite. “Tak bisa pantai-pantai kita dikuasai konglomerasi. Nelayan lokal justru yang jadi korban. Itu harus kita lawan,” ujarnya, tegas.

Pernyataan ini, tentu saja, membuka ruang diskusi. Apakah benar ada kemauan politik dari penguasa baru untuk membalik keadaan? Apakah kolaborasi antara aktivis dan negara bisa menjadi jalan revolusioner seperti yang dibayangkan?

“Teman-teman boleh saja berkolaborasi dengan Prabowo, tetapi itu harus untuk transformasi sosial. Jangan sekadar jadi omon-omon,” kata dia, tegas.  Syahjganda menyerukan agar sarasehan  tak berakhir seperti banyak forum nostalgia lainnya—hangat sesaat, lalu dingin oleh kenyataan.

Dari Getir ke Gelak: Masinton dan Gorong-Gorong

Momen paling keras mungkin datang bukan dari podium, tapi dari obrolan ringan Syahganda dengan Masinton Pasaribu, mantan aktivis yang kini menjabat sebagai bupati. Menurut Syahganda, Masinton sempat berkata, “Ke depan, bila ada lagi pemimpin yang muncul dari gorong-gorong, jangan salah, injak kepalanya!”

Pernyataan itu, meski bernada jenaka, menyimpan amarah dan kritik mendalam terhadap pemerintahan sebelumnya. Syahganda tidak membantah atau menyetujui langsung, tetapi mengatakan, “Saya mengerti kekecewaan Masinton.”

Kekecewaan memang jadi tema dominan hari itu. Tetapi juga kesadaran bahwa harapan tidak boleh mati. Robertus Robet, sosiolog yang juga hadir, menyampaikan bahwa demokrasi ekonomi hanya mungkin terwujud bila demokrasi politik benar-benar dijalankan. “Kalau hari ini kita ngomong tentang demokrasi ekonomi, kita harus mulai dari politik ekonomi pekerja,” katanya. Ia menegaskan bahwa ekonomi yang dikelola oleh oligarki adalah pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan.

“Oligarki menghalangi politik sebagai ikhtiar untuk mencapai kemaslahatan umum,” ujarnya. “Kalau politik gagal, maka demokrasi hanya jadi baju luar dari ketidakadilan.”

Hariman Siregar membuka acara dengan menyebut bahwa tanggal 21 Mei 1998—saat Soeharto lengser—adalah titik penting sejarah bangsa. Tapi ia juga menyindir getir bahwa hari ini, 21 Mei 2025, menantu Soeharto justru yang memimpin negeri.

“Takdir memang aneh,” katanya, sambil tersenyum. “Kita boleh berusaha, tapi kadang sejarah punya jalan sendiri.”

Namun, sejarah tidak akan menulis dirinya sendiri. Dan suara-suara dari Hotel JS Luwansa itu menjadi pengingat keras bahwa Reformasi belum mati. Bahwa, seperti dikatakan filsuf John Rawls, “Keadilan adalah kebajikan utama dari institusi sosial, sebagaimana kebenaran adalah kebajikan utama dari sistem pemikiran.” Maka, sebuah sistem demokrasi yang tidak mampu menghadirkan keadilan—ekonomi maupun politik—adalah sistem yang cacat secara moral.

Begitu pula, Nelson Mandela pernah berkata, “Kehidupan yang baik bukan dinilai dari kenyamanan pribadi, tetapi dari perjuangan melawan ketidakadilan.” Kalimat itu mungkin tak diucapkan di ruangan itu, tetapi terasa mengalir dalam setiap jeda pidato Syahganda, dalam senyum pahit Robertus, dalam satire Masinton.

Dan meski pertemuan ini tak menghadirkan aksi, tak memblokir jalan, dan tak membuat aparat resah seperti era 1998, ia tetap menjadi api kecil yang menghangatkan harapan. Mungkin kecil, tapi tetap menyala.

Syahganda menutup dengan pernyataan: “Kita tidak boleh puas menjadi penonton. Harus ada resolusi yang tegas, berpihak pada rakyat. Saatnya membentuk persekutuan yang terukur, bukan sekadar nostalgia.”

Semoga, ketika satu demi satu peserta beranjak pulang, tidak ada yang benar-benar tenang. Sebab kata-kata itu—ketimpangan, keadilan, transformasi—telah membuat ruang itu sesak oleh satu pertanyaan: Apakah kita masih bersedia memperjuangkan apa yang dulu pernah kita korbankan segalanya untuknya?

Berita Terkait

Berita Lainnya