Jakarta, MNID. Dr. Yulian Paonganan alias Ongen menggugah kesadaran publik tentang makna sejati menjadi seorang aktivis. Dalam sebuah refleksi yang ia sampaikan, Ongen menegaskan bahwa seorang aktivis sejati tidak pernah merasa perlu mendeklarasikan dirinya sebagai aktivis, sebab pada akhirnya sejarahlah yang akan mencatat siapa yang benar-benar layak disebut aktivis.
“Menyandang predikat sebagai aktivis itu berat, sodara-sodara. Aktivis sejati tidak akan mau mendeklarasikan diri... tapi sejarah yang mencatat siapa aktivis sebenarnya,” ujar salah seorang tahanan politik di era Presiden Joko Widodo, Sabtu, 23 Agustus 2025.
Di tengah derasnya arus politik praktis dan klaim sepihak dari banyak pihak yang menyebut dirinya “aktivis”, pernyataan Ongen terasa relevan. Aktivisme, menurutnya, bukanlah sebuah gelar yang bisa dipajang atau dikapitalisasi demi kepentingan pribadi, melainkan konsekuensi dari perjuangan panjang, konsistensi, serta keberanian menghadapi risiko.
Aktivis, dalam sejarah Indonesia, selalu hadir di titik-titik kritis perjalanan bangsa: mulai dari gerakan mahasiswa era Orde Lama, perjuangan 1966, demonstrasi 1974, gerakan reformasi 1998, hingga berbagai aksi menuntut keadilan sosial di era demokrasi sekarang. Mereka yang benar-benar terjun ke jalan, berhadapan dengan aparat, bahkan rela kehilangan kebebasan, adalah wajah nyata aktivisme – bukan sekadar klaim.
Sebagai eks napol, Ongen memiliki pengalaman langsung bagaimana predikat “aktivis” membawa konsekuensi berat. Ia pernah merasakan kurungan karena sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah di masa Presiden Jokowi. Pengalaman itu meneguhkan pandangannya bahwa aktivisme sejati selalu dibayar mahal – dengan pengorbanan kebebasan, rasa aman, bahkan masa depan.
Ongen menolak narasi aktivisme yang hanya berhenti pada pencitraan. Baginya, perjuangan seorang aktivis selalu tercatat, sekalipun ia sendiri tidak mengklaimnya. Sejarah dan masyarakatlah yang menilai.
Pernyataan Ongen juga bisa dibaca sebagai kritik tajam terhadap fenomena yang kini marak: munculnya “aktivis instan” atau “aktivis deklaratif” yang hanya mengandalkan panggung politik atau media sosial untuk menyebut dirinya aktivis.
Contoh paling mutakhir adalah mantan Wamenaker Immanuel Ebenezer alias Noel, yang selama ini lantang mengklaim dirinya sebagai bagian dari “aktivis 98”. Noel menempatkan diri seolah pejuang reformasi, namun ironisnya, kini ia justru terjerat kasus dugaan korupsi. Noel diduga terlibat dalam praktik perampokan uang negara, sebuah ironi yang mencoreng nama besar gerakan mahasiswa 1998.
Fenomena Noel menunjukkan bahwa klaim sebagai aktivis tidak menjamin integritas seseorang. Label “aktivis 98” yang sering ia gunakan ternyata justru runtuh ketika berhadapan dengan kenyataan hukum. Bagi Ongen, hal ini menegaskan bahwa sejarah dan publiklah yang berhak menilai, bukan klaim sepihak.
Bila merujuk sejarah, banyak tokoh besar bangsa yang awalnya muncul dari gerakan aktivisme. Soe Hok Gie misalnya, tidak pernah mendeklarasikan dirinya aktivis, namun catatan sejarah mengenangnya sebagai simbol perlawanan mahasiswa terhadap ketidakadilan. Demikian juga dengan mahasiswa 1998, yang tanpa perlu klaim diri, tercatat sebagai pahlawan reformasi.
Hal inilah yang ditegaskan Ongen: aktivis sejati tidak pernah perlu menegaskan dirinya. Jejak langkah, keberanian, dan konsistensi mereka akan abadi dalam catatan sejarah bangsa.
Pernyataan Ongen sekaligus menjadi pesan renungan untuk generasi muda saat ini. Di era digital, ketika panggung aktivisme bisa dengan mudah diciptakan melalui gawai, perlu ada perbedaan jelas antara aktivisme sejati dengan aktivisme simbolik.
Generasi muda diingatkan agar tidak terjebak pada euforia label, melainkan membangun tradisi perjuangan yang nyata. Karena, sebagaimana dikatakan Ongen, hanya sejarah yang bisa memberi pengakuan otentik tentang siapa aktivis sejati – dan siapa yang hanya menjadikan label aktivis sebagai kendaraan politik atau alat memperkaya diri.