Kredibilitas Lembaga Forensik: Antara Bukti dan Bias

Image 3
Ijazah Jokowi, asli atau palsu?

Oleh: Yoni Syukriani, Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

PADA akhirnya, keadilan sering kali ditentukan bukan oleh kebenaran sejati, melainkan oleh siapa yang mengklaimnya lebih dahulu—dan dengan otoritas lebih besar. Inilah yang membuat kredibilitas lembaga forensik begitu penting dalam sistem peradilan. Ketika laboratorium menjadi lengan dari kekuasaan, bukan penjaga objektivitas ilmiah, maka pengadilan pun berisiko menjadi panggung sandiwara.

Sorotan publik atas kasus keaslian ijazah Presiden Jokowi menyeret satu institusi ke pusat perhatian: Pusat Laboratorium Forensik Polri. Wajar jika muncul pertanyaan—bukan soal metodologi atau alat—melainkan soal integritas dan independensi. Benarkah lembaga ini bisa dipercaya untuk menilai secara ilmiah dokumen yang melibatkan figur paling berkuasa di republik ini?

Apa yang sudah diperjuangkan negara lain?

Pertanyaan tentang kredibilitas lembaga forensik bukan monopoli Indonesia. Di Inggris, kamar atas Parlemen—House of Lords—pada 2021 memperdebatkan kegagalan sistem forensik yang terlalu bergantung pada institusi penegak hukum. Mereka menyoroti perlunya sistem yang lebih kompetitif dan adil bagi semua pihak: penuntut, pembela, dan masyarakat.

Kanada dan Amerika Serikat bahkan telah menempuh jalur panjang untuk mendorong pemisahan lembaga forensik dari pengaruh kepolisian. Di AS, laporan National Academy of Sciences pada 2009 menjadi tonggak penting. Ia menyimpulkan bahwa ketergantungan laboratorium pada Kepolisian menciptakan tekanan sistemik yang merusak objektivitas ilmiah. Sejak itu, mulai tumbuh gerakan untuk mendirikan laboratorium independen—seperti Virginia Department of Forensic Science yang terkenal karena tingkat kesalahannya hanya 0,05 persen dari ratusan ribu kasus tiap tahun.

Mengapa penting? Karena, di negara maju masyarakatnya telah menyadari bahwa forensik bukan hanya ilmu, tapi juga politik bukti–kata J. Parkhurst: the politics of evidence. Di pengadilan, satu kesaksian ilmiah bisa membebaskan atau menghukum. Maka ketika hasil uji forensik lahir dari lembaga yang berada di bawah satu atap dengan penyidik, maka risiko distorsi bukti menjadi besar. Apalagi jika ada ambisi untuk memenangkan perkara, bukan menegakkan kebenaran.

Empat Pilar Kredibilitas

Setidaknya ada empat pilar yang menentukan apakah lembaga forensik layak dipercaya: kompetensi, validitas ilmiah, independensi, dan tata kelola. Tak satu pun boleh absen.

Pertama, kompetensi. Bukan hanya gelar dan sertifikat, tapi juga kemampuan untuk menyampaikan hasil uji dengan jujur dan dapat dipahami oleh hakim, jaksa, hingga pengacara pembela. Kredibilitas tidak hanya dilihat dari alat dan laboratorium, tapi juga dari kemampuan menggunakan alat, konsistensi logika, dan ketepatan komunikasi.

Kedua, validitas ilmiah dan transparansi. Metode yang digunakan harus tervalidasi secara akademik—dapat diuji ulang, dikalibrasi, dan menghasilkan kesimpulan yang masuk akal. Ahli forensik tidak boleh menyembunyikan keterbatasan alat atau metode dengan dalih “rahasia investigasi.” Justru transparansi soal error rate, bias, dan probabilitas adalah syarat utama agar bukti forensik bisa diuji dengan adil.

Ketiga, independensi. Inilah titik terlemah di banyak negara berkembang. Ketika laboratorium berada langsung di bawah institusi penegak hukum—dan dibiayai dari anggaran yang sama—maka sulit menghindari tekanan struktural untuk “mengamankan perkara”. Bahkan ilmuwan terbaik pun akan tergoda menyesuaikan laporan dengan narasi penyidik.

Keempat, tata kelola. Kelembagaan forensik harus tunduk pada standar mutu, audit independen, dan pengawasan etik yang ketat. Laboratorium yang mengabaikan prosedur dokumentasi, pemeliharaan alat, hingga rantai bukti, berisiko mengaburkan fakta—dan membahayakan keadilan.

Kasus-kasus yang Mengguncang

Kita belajar dari sejarah. Di Inggris, kasus Birmingham Six (1991) memperlihatkan bagaimana laboratorium forensik di bawah polisi bisa keliru besar. Jejak nitrogliserin yang diklaim sebagai bukti bom ternyata hasil dari metode yang tidak valid. Akibatnya, enam orang dihukum bertahun-tahun atas dasar bukti palsu.

Di Amerika, studi Innocence Project mencatat bahwa dari ratusan pembebasan pasca-vonis berbasis DNA, sekitar 23 persen terjadi karena kesaksian laboratorium yang menyesatkan. Dan lebih dari separuhnya datang dari laboratorium yang terafiliasi dengan institusi penegak hukum.

Penelitian meta terhadap lebih dari 4.000 kasus balistik menunjukkan bahwa analis di laboratorium kepolisian 2,3 kali lebih sering memaksakan kesimpulan “pengecualian (exclusion)” ketika bukti tidak cocok dengan hipotesis penyidik. Ini bukan semata kesalahan teknis—melainkan bias kognitif yang tertanam dalam budaya organisasi.

Warisan Indonesia: Struktur yang Tumpang Tindih

Di Indonesia, akar masalahnya lebih dalam. Sejak era kolonial, lembaga forensik berkembang di bawah komando kepolisian. Setelah kemerdekaan, model ini tidak pernah sungguh-sungguh dikoreksi. Meski muncul lembaga-lembaga baru di universitas atau rumah sakit, pengakuan tetap condong kepada yang “resmi”—yakni yang berada dalam struktur Polri.

Hasilnya, sistem tumpang tindih: tanggung jawab forensik menyebar ke berbagai pihak, tapi otoritas tetap berpulang pada institusi negara. Kemandirian akademik, pengembangan keilmuan, dan transparansi publik pun menjadi terbatas. Ketika laboratorium yang memeriksa bukti adalah bagian dari lembaga yang sedang menyelidiki, konflik kepentingan sulit dihindari.

Sementara kita masih sibuk mempertahankan model lama, negara-negara lain sudah bergerak cepat. Di Malaysia, kedokteran forensik berada di bawah supervisi Kementerian Kesehatan, dan layanan laboratorium forensik sains di bawah Kementerian Sains. Di Tiongkok, sejak 2005, reformasi besar dilakukan untuk memisahkan lembaga forensik dari kepolisian. Di Australia, Victorian Institute of Forensic Medicine beroperasi di bawah dewan independen.

Bahkan Filipina mulai menggandeng universitas-universitas independen sebagai penyedia jasa forensik alternatif. Di level global, Palang Merah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional menekankan pentingnya lembaga forensik independen dalam penyelidikan kasus berat seperti kejahatan perang dan pelanggaran HAM berat.

Reformasi atau Mati Pelan

Reformasi kelembagaan forensik adalah keharusan—bukan pilihan. Harus ada pemisahan administratif, pembiayaan mandiri (bisa hybrid: negara dan masyarakat), serta akreditasi internasional yang objektif. Kemandirian bukan berarti permusuhan dengan polisi, melainkan syarat integritas ilmiah. Justru kemandirian ini akan meningkatkan kepercayaan terhadap hasil penyidikan.

Seperti dikatakan Michael Kusluski dari Pennsylvania State University, agenda independensi lembaga forensik bukan “anti-penegak hukum”, tapi “pro-sains.” Lembaga forensik yang bekerja di luar struktur komando akan lebih bebas dari tekanan, dan hasilnya justru akan menguntungkan polisi dan jaksa karena pembuktian dianggap lebih kredibel di hadapan pengadilan.

Tulisan ini tidak menghakimi keaslian ijazah atau menyimpulkan kredibilitas Puslabfor. Tapi publik berhak tahu bahwa dalam dunia forensik, teknologi bukan segalanya. Yang lebih penting adalah siapa yang mengoperasikan alat itu, di bawah struktur apa mereka bekerja, dan kepada siapa mereka bertanggung jawab.

Kita bukan sedang membela terdakwa, penuntut, atau laboratorium mana pun. Kita sedang membela kebenaran. Dan kebenaran, seperti kata Albert Camus, “Membutuhkan dua hal: bukti, dan keberanian untuk menyatakannya.” Tanpa keduanya, keadilan hanyalah formalitas.

JOKO WIDODO

Berita Terkait

Berita Lainnya