Poin Menarik Pidato Prabowo dalam Nota Keuangan 2026, dan Catatan Kakinya

Image 3
Presiden Prabowo Subianto

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

PERTANYAAN pembuka. Apakah pidato kenegaraan dan Nota Keuangan 2026 benar-benar menandai konsolidasi arah pemerintahan Prabowo, bukan sekadar residu transisi? 

Di tahun kedua, publik menagih dua hal sekaligus: kepemilikan penuh atas desain kebijakan dan konsistensi antara ambisi serta kemampuan negara membiayai. 

Masalahnya dapat dirumuskan sederhana: bagaimana menenun narasi “kedaulatan dan keadilan sosial” menjadi RAPBN 2026 yang disiplin, terukur, dan berdaya realisasi tinggi? 

Gagasan saya: tema besar, pangan, manusia, hilirisasi, penegakan hukum, sudah kuat. Yang perlu ditambahkan adalah “catatan kaki” yang menjamin urutan prioritas, kualitas belanja, dan tata kelola sehingga setiap rupiah bekerja lebih keras daripada retorika.

Kembali ke Pasal 33 dan Isyarat Anti-“Serakahnomics”

Pidato ini menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai kompas ekonomi, dijabarkan hingga empat ayat. Penekanannya tegas: untuk cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, negara tidak boleh absen. 

Dari podium, Presiden mengumumkan penindakan praktik penimbunan dan manipulasi distribusi pangan, serta keharusan izin khusus bagi penggilingan beras skala besar dengan opsi pengerjaan oleh BUMN/BUMD. 

Di saat yang sama, ia menyebut “serakahnomics” sebagai musuh baru, sebuah istilah yang merangkum kerakusan pelaku pasar yang menumpuk keuntungan dengan mengorbankan konsumen. 

Pesan intinya jelas: negara boleh pro-pasar, tetapi tidak tunduk pada rente.

Catatan kakinya, izin khusus harus dibarengi definisi “skala besar” yang terang, standar mutu dan takaran yang baku, tata kelola pengawasan yang dapat diaudit, masa transisi yang realistis, serta pagar persaingan usaha agar intervensi cerdas tidak menjelma hambatan masuk atau konsolidasi pasar yang berlebihan. 

Intervensi yang tepat sasaran memperbaiki pasar; kontrol total justru berisiko merusaknya.

Anggaran Manusia Terbesar dan Ujian Disiplin

Komitmen pendidikan 2026 sekitar Rp757,8 triliun, terbesar sepanjang sejarah, adalah jangkar politik fiskal yang penting. Arah ini sejalan dengan pandangan bahwa modal manusia adalah mesin pertumbuhan paling tahan lama. 

Namun “besar” harus dipasangkan dengan “tepat”. Ada tiga pekerjaan rumah. Pertama, komposisi belanja: seberapa besar yang benar-benar menyentuh ruang kelas, kurikulum, pelatihan guru, perangkat belajar, dibandingkan belanja rutin? 

Kedua, arsitektur penyaluran: mekanisme yang meminimalkan kebocoran dan mempercepat keputusan di level sekolah. 

Ketiga, akuntabilitas berbasis hasil: target tahunan yang konkret pada literasi, numerasi, sains, penyempitan kesenjangan antardaerah, serta employability lulusan vokasi. 

Tanpa budget tagging berbasis outcome dan kontrak kinerja yang jelas, angka triliunan akan berhenti di input.

MBG sebagai Investasi Generasi, Bukan Sekadar Belanja Konsumsi

Pidato menempatkan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai investasi jangka panjang bagi kualitas manusia Indonesia. 

Disebutkan capaian jutaan penerima harian, terbentuknya satuan layanan gizi di hampir seluruh provinsi, dan dampak rantai pasok yang melibatkan petani, nelayan, peternak, dan UMKM. 

Narasi ini kuat: gizi yang baik menaikkan kehadiran dan prestasi anak, memperbaiki produktivitas masa depan, sekaligus menyuntik permintaan di desa.

Yang perlu dikukuhkan oleh RAPBN 2026 adalah multi-year costing yang gamblang, logistik, standar gizi, keamanan pangan, dan pengawasan mutu, beserta contingency buffer bila terjadi gejolak harga atau gangguan iklim. 

Indikator dampak harus dikaitkan langsung dengan MBG: kenaikan kehadiran siswa, penurunan learning loss, dan perbaikan capaian asesmen. 

Dengan begitu, MBG menjadi investasi manusia yang dapat diukur manfaatnya, bukan sekadar angka belanja yang besar.

Pangan: Harga Gabah, Ekstensifikasi, dan Biaya Lingkungan

Kedaulatan pangan ditegaskan lewat ekstensifikasi sawah, intensifikasi produksi, pemangkasan mata rantai pupuk, dan dukungan harga gabah yang lebih adil bagi petani. 

Klaim surplus beras, stok cadangan yang tinggi, bahkan ekspor beras dan jagung, membangun optimisme. 

Namun swasembada yang berkelanjutan menuntut disiplin biaya-manfaat. Pembukaan lahan harus ditimbang dengan life-cycle cost: irigasi, keberlanjutan air, rehabilitasi tanah, dan dampak lingkungan. 

Dukungan harga gabah perlu ditopang akses pembiayaan, asuransi pertanian, dan produktivitas lahan. 

Di sisi tata niaga, traceability rantai pasok beras adalah kunci agar penindakan terhadap penimbunan tidak hanya reaktif ketika harga sudah naik, melainkan preventif sejak stok mulai menyimpang.

“Kebocoran Kekayaan” dan Arsitektur Penegakan

Presiden mengangkat isu net outflow of national wealth, menegaskan tekad menutup kebocoran dari hulu sumber daya alam hingga tata niaga. Ultimatum terhadap beking tambang ilegal, siapa pun orangnya, adalah sinyal yang dibutuhkan. 

Agar menjadi sistem, bukan slogan, diperlukan arsitektur penegakan yang menyatu: pendaftaran beneficial ownership yang terbuka, pengawasan berbasis risiko di tambang dan hutan, case tracking publik untuk perkara SDA, serta koordinasi penindakan antarlembaga dengan tenggat yang diketahui masyarakat. 

Ketika hukum bekerja tanpa pandang bulu, sinyal ini berubah menjadi pencegah yang efektif, bukan hanya pemberitaan sesaat.

Danantara, Hilirisasi, dan Manajemen Risiko Fiskal

Di panggung hilirisasi, Danantara diposisikan sebagai mesin pengungkit investasi dan pencipta kerja berkualitas, dengan skala aset kelolaan yang ambisius. 

Agar kredibel, Nota Keuangan perlu menurunkannya menjadi daftar proyek prioritas yang bankable, lengkap dengan proyeksi arus kas, struktur pendanaan dan risk-sharing, internal rate of return yang wajar, serta pagar tata kelola, komite investasi independen, co-investment dengan mitra bereputasi, pelaporan triwulanan berbasis proyek, dan audit kepatuhan pengadaan. 

Tanpa pagar ini, risiko kontinjensi dapat berpindah diam-diam ke fiskal.

Pertahanan dan “Golden Rule” Belanja

Penguatan pertahanan skala besar dipaparkan sebagai respons terhadap geopolitik yang tidak menentu dan sebagai penjaga kedaulatan atas kekayaan alam. 

Prinsipnya jelas: negara yang kaya sumber daya membutuhkan kemampuan mempertahankan asetnya. 

Namun belanja pertahanan wajib tunduk pada “golden rule”: prioritas pada kesiapan dan pemeliharaan, bukan hanya akuisisi awal. RAPBN 2026 perlu menampilkan life-cycle cost 5–10 tahun dan peta lokalisasi industri pertahanan, transfer teknologi, komponen lokal, dan pengembangan talenta teknik domestik, agar rupiah pertahanan ikut menumbuhkan basis manufaktur nasional, bukan sekadar menambah daftar impor.

Menyederhanakan yang Kompleks: Dari Tema ke Urutan Kerja

Agar orkestra kebijakan tidak bising, pemerintah perlu urutan kerja yang lugas. 

Tahun 2026 sebaiknya menetapkan fokus yang dapat diverifikasi publik: pendidikan-MBG, tata niaga pangan, dan penegakan hukum SDA. 

Proyek hilirisasi dan pertahanan ditempatkan pada koridor yang tidak mengganggu layanan dasar. 

Sebuah delivery unit lintas kementerian perlu diberi mandat memutus bottleneck dan melaporkan kemajuan bulanan secara terbuka untuk klaster pendidikan-MBG, pangan, investasi, dan penegakan hukum. 

Pada kebijakan izin penggilingan beras, diperlukan peta regulasi yang jelas: definisi skala, standar mutu, masa transisi, jalur afirmasi bagi pelaku menengah, dan sunset clause ketika target mutu serta stabilitas harga tercapai.

Jawaban atas Pertanyaan Awal

Apakah ini benar-benar racikan Prabowo? Jawabnya ya. Bahasanya tegas, temanya konsisten, dan memperlihatkan ownership penuh: dari seruan anti-“serakahnomics” hingga ultimatum pada beking tambang; dari izin penggilingan beras hingga lonjakan anggaran manusia; dari Danantara hingga gagasan besar hilirisasi dan penguatan pertahanan. 

Namun semua itu akan diuji bukan oleh kerasnya suara pidato, melainkan oleh discipline of detail di RAPBN 2026: defisit yang terkendali, proyek yang layak dibiayai, layanan yang terukur, dan penegakan hukum yang menyentuh aktor inti, bukan pinggiran.

Dari Gerak Besar ke Gerak Tepat

Pidato memberi arah; Nota Keuangan harus memberi jalur. Jalur itu yang membedakan ambisi dari ilusi. 

Dengan belanja pendidikan terbesar sepanjang sejarah dan dorongan MBG, Indonesia memilih bertaruh pada manusia, taruhan yang benar. 

Tetapi taruhan besar menuntut disiplin yang lebih besar: penganggaran berbasis hasil, tata kelola investasi yang kedap rente, penegakan hukum yang menutup kebocoran, dan keberanian merevisi regulasi agar pasar bekerja bagi rakyat, bukan melawan rakyat. 

Bila empat hal ini dijahit konsisten, tahun kedua akan tercatat sebagai titik balik: kurang simbol, lebih implementasi; kurang slogan, lebih outcome; dan pada akhirnya, lebih sejahtera bagi mereka yang paling berhak, rakyat.

Berita Terkait

Berita Lainnya