Jakarta, MNID. Begitu aksi saling tembak terjadi antara pasukan Thailand dan Kamboja di wilayah perbatasan di sekitar Kuil Preah Vihear, Kamis, 24 Juli 2025, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim langsung menghubungi Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet.
“Keduanya setuju untuk gencatan senjata pada malam itu juga,” kata Anwar Ibrahim dalam pertemuan dengan sejumlah pimpinan redaksi dan media Indonesia di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa pagi, 29 Juli 2025. Pertemuan ini difasilitasi Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia Indonesia atau biasa disingkat ISWAMI.
Tapi rencana gencatan senjata malam itu tidak mudah untuk dilakukan. Thailand minta tambahan waktu untuk menarik mundur pasukan. Sementara keesokan harinya, Jumat, 25 Juli 2025, sebuah ranjau darat meledak dan membuat situasi kembali memanas. Aksi saling tembak pun berlanjut.
Perjanjian damai dan gencatan senjata baru disepakati pada Senin malam, 28 Juli 2025. Phumtham Wechayachai dan Hun Manet memenuhi undangan Anwar Ibrahim untuk bertemu di Putrajaya. Saat gencatan senjata disetujui, saling serang dilaporkan menewaskan puluhan orang di masing-masing negara. Kebanyakan korban tewas adalah masyarakat sipil. Sementara total pengungsi di wilayah sengketa diperkirakan tidak kurang dari 300 ribu orang.
Karena harus memimpin pembicaraan damai itulah Anwar Ibrahim menunda penerbangannya ke Jakarta. Sebelumnya, dia dijadwalkan tiba di Jakarta pada Senin siang. Adapun pertemuan dengan pimpinan redaksi dan media Indonesia tadinya dijadwalkan pada Senin sore.
Anwar Ibrahim tiba di Bandara Halim Perdanakusumah pada Senin tengah malam. Agenda pertamanya tengah malam itu adalah mengunjungi kediaman Presiden Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru. Selain kepada Prabowo yang sudah seperti saudaranya sendiri, Anwar juga menghubungi Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah untuk menyampaikan langsung hasil pembicaraan damai Thailand dan Kamboja.
“Saya bersyukur karena pemimpin-pemimpin ASEAN memiliki hubungan personal yang sangat baik,” ujarnya.
Anwar mengatakan, walaupun memiliki akar sejarah yang panjang namun konflik bersenjata yang sempat terjadi antara Thailand dan Kamboja sangat mengejutkan. Apalagi baru dua bulan sebelumnya ASEAN sukses menyelenggarakan KTT ke-46 di Kuala Lumpur. Selain KTT ASEAN juga digelar KTT ASEAN-Gulf Cooperation Council (GCC) dan KTT ASEAN-Tiongkok.
Hal lain yang disampaikan Anwar mengenai perjalanan menuju pembicaraan damai dan kesepakatan gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja, adalah keinginan aktor-aktor di luar ASEAN untuk terlibat.
Amerika Serikat secara aktif ingin melibatkan diri dalam pembicaraan damai. Anwar menilai, keterlibatan Amerika Serikat positif dalam rangka mengurangi ketegangan. Namun, permintaan Amerika Serikat menjadi ketua bersama atau co-chair dalam pembicaraan damai sulit untuk dipenuhi. Permintaan ini tentu akan membawa konsekuensi lain yang bisa jadi mempengaruhi hasil pembicaraan karena memancing Tiongkok untuk meminta hal serupa.
Anwar akhirnya memutuskan tetap menempatkan pembicaraan damai dan kesepakatan gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja dalam mekanisme ASEAN. Walaupun kedua negara itu, Amerika Serikat dan Tiongkok, tetap hadir untuk menyaksikan.
“Ini pengalaman unik yang terjadi di kawasan yang paling damai di dunia. Alhamdulillah, akhirnya selesai,” kata Anwar lagi.
Kuil yang Jadi Sengketa
Terletak di puncak tebing curam Poy Tadi setinggi 525 meter di Pegunungan Dangrek, Kuil Preah Vihear dan wilayah di sekitarnya sejak lama menjadi sengketa antara dua negara tetangga di kawasan Asia Tenggara modern, Thailand dan Kamboja.
Tempat ibadah umat Hindu Siwa ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Khmer yang berkembang di daratan Asia Tenggara dari tahun 802 sampai 1432. Kuil Preah Vihear dibangun sekitar abad ke-11 dan ke-12, di masa pemerintahan Suryawarman I dan Suryawarman II.
Setelah lama terkubur, sejak Kerajaan Khmer dikalahkan Kerajaan Ayutthaya di abad ke-15, kuil ini perlahan dilupakan dan baru ditemukan kembali di awal abad ke-20.
Di tahun 1904, Siam atau Thailand dan otoritas kolonial Perancis yang berkuasa di Kamboja membentuk komisi gabungan untuk menetapkan batas wilayah dengan mengikuti daerah aliran sungai di pegunungan Dangrek. Deskripsi perbatasan itu menempatkan Kuil Preah Vihear berada di wilayah Thailand.
Sementara di tahun 1907, Perancis mulai menyusun peta untuk menunjukkan lebih jelas perbatasan Siam dan Kamboja yang mereka kuasai. Peta ini selesai setahun kemudian, dan menempatkan Kuil Preah Vihear di wilayah Kamboja.
Di tahun 1954, setelah Perancis angkat kaki dari Kamboja, Thailand mengklaim kembali Kuil Preah Vihear dan wilayah di sekitarnya sebagai bagian dari Kerajaan Thailand. Kamboja tentu saja memprotes klaim Thailand.
Di tahun 1959, Kamboja mengajukan persoalan ini ke Mahkamah Internasional (IJC). Tiga tahun kemudian Mahkamah Internasional memutuskan Kuil Preah Vihear dan wilayah di sekitarnya masuk wilayah Kamboja seperti gambaran pada peta yang dibuat di tahun 1907. Namun keputusan ICJ ini tak meredakan ketegangan. Beberapa kali terjadi clash bersenjata di antara kedua negara. Beberapa clash hebat tercatat terjadi pada 2008, 2011, dan terakhir 2025.