Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
APAKAH Pemerintah Bisa Menurunkan Harga BBM Saat Ini?
Pertanyaan ini tiba-tiba terasa relevan setelah Malaysia mengumumkan rencana menurunkan harga BBM jenis RON 95 menjadi hanya Rp7.730 per liter—hampir separuh dari harga RON 95 di Indonesia yang berkisar Rp13.500 per liter.
Tak cukup sampai di situ, Malaysia juga akan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai RM100 atau sekitar Rp380 ribu kepada warganya.
Di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan tekanan inflasi yang masih dirasakan masyarakat Indonesia, wajar jika publik bertanya: mengapa Indonesia tidak melakukan hal yang sama?
Jawaban yang disampaikan oleh Kementerian ESDM Indonesia cukup diplomatis: “Lihat situasi dan kondisi.” Namun, pernyataan ini justru menimbulkan tanda tanya baru.
Situasi seperti apa yang membuat pemerintah Indonesia bersedia menurunkan harga BBM?
Apakah Malaysia benar-benar dalam posisi fiskal yang lebih baik? Atau mereka sekadar berani mengambil langkah politik dan kebijakan yang berpihak pada rakyat?
Konteks Kebijakan: Malaysia dan Harga Energi yang Populis
Langkah Malaysia menurunkan harga BBM dan memberikan BLT bukan semata kebijakan ekonomi, tetapi juga tindakan politik yang responsif terhadap tekanan sosial.
Perdana Menteri Anwar Ibrahim dihadapkan pada ketidakpuasan publik yang mulai menjurus pada ancaman demonstrasi besar-besaran.
Lonjakan harga-harga dan ketidakjelasan arah reformasi menjadi pemicu.
Dalam konteks itu, menurunkan harga BBM menjadi jalan keluar kompromistis: menurunkan tekanan, menjaga stabilitas sosial, dan mengirim sinyal bahwa pemerintah mendengar aspirasi rakyat.
RON 95 adalah bahan bakar terpopuler di Malaysia. Maka, penurunan harganya akan langsung terasa dalam pengeluaran harian rumah tangga.
Ini bukan sekadar pemanis kebijakan, melainkan langkah strategis untuk meringankan beban hidup dan menjaga daya beli.
Bandingkan dengan Indonesia. Harga Pertamax Green 95 milik Pertamina saat ini Rp13.500 per liter, lebih mahal hampir dua kali lipat dari harga RON 95 Malaysia.
Bahkan di operator swasta seperti Shell dan BP-AKR, harga RON 95 bisa mencapai Rp13.780 per liter. Perbedaan ini sangat signifikan dan berimplikasi langsung terhadap biaya hidup, logistik, dan daya saing usaha kecil.
Bayangkan sebuah keluarga yang memiliki tiga anak dan pendapatan tetap. Ketika harga bahan makanan melonjak, sang ibu memutuskan untuk membatasi pengeluaran di sektor lain agar anak-anak tetap bisa makan bergizi.
Ia tahu bahwa kelaparan akan mengganggu kesehatan dan produktivitas keluarga secara keseluruhan.
Dalam analogi ini, harga BBM adalah harga bahan makanan.
Ketika biaya transportasi menjadi beban yang terlalu besar bagi masyarakat, pemerintah bisa—dan seharusnya—menyesuaikan kebijakan fiskalnya untuk mengurangi tekanan tersebut.
Memberikan subsidi yang terarah, menurunkan harga BBM untuk rakyat, bukanlah tindakan populis semata, melainkan strategi untuk menjaga kesehatan ekonomi rumah tangga nasional.
Efek Domino Harga BBM terhadap Inflasi dan Konsumsi
Data menunjukkan bahwa biaya transportasi menyumbang sekitar 20% terhadap inflasi di Indonesia.
Ketika harga BBM naik, hampir semua komoditas lain ikut terdampak: dari harga beras, daging ayam, hingga tarif ojek daring. Ini adalah efek domino yang berbahaya di tengah tekanan global, apalagi dengan kurs rupiah yang mulai melemah dan suku bunga yang masih tinggi.
Malaysia tampaknya menyadari pentingnya mengontrol variabel ini.
Dengan menurunkan harga BBM dan memberikan BLT secara bersamaan, mereka menciptakan dua jalur untuk meredam tekanan ekonomi: mengurangi pengeluaran tetap masyarakat dan menambahkan stimulus belanja.
Ini adalah kombinasi kebijakan yang jarang dilakukan secara serentak, dan menunjukkan keberanian fiskal sekaligus ketajaman politik.
Namun, tentu saja kebijakan ini mengandung risiko: terutama dari sisi anggaran negara.
Malaysia perlu menanggung tambahan subsidi energi dan belanja sosial. Tetapi patut dicatat bahwa Malaysia juga menerapkan diferensiasi harga: hanya warga negaranya yang mendapat harga subsidi, sementara orang asing tetap membayar harga pasar.
Ini adalah bentuk subsidi yang cerdas dan tepat sasaran, serta bisa jadi inspirasi bagi Indonesia.
Indonesia: Mengapa Menahan Diri?
Indonesia memilih jalan berbeda. Pemerintah terkesan enggan menurunkan harga BBM karena khawatir terhadap beban subsidi energi yang sudah cukup besar.
Pada APBN 2024, alokasi subsidi dan kompensasi energi mencapai lebih dari Rp340 triliun. Di sisi lain, harga minyak dunia yang fluktuatif membuat manuver fiskal menjadi lebih berhati-hati.
Namun kehati-hatian yang berlebihan justru bisa menjadi bumerang.
Ketika masyarakat menghadapi tekanan ekonomi yang nyata, terutama kelas menengah bawah yang mobilitasnya tinggi dan bergantung pada transportasi darat, harga BBM yang mahal bisa menjadi faktor penurunan konsumsi.
Ini berarti pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, dan upaya pemulihan pascapandemi jadi kehilangan momentum.
Bukankah lebih baik memberikan subsidi selektif untuk jenis BBM tertentu yang banyak digunakan masyarakat?
Misalnya dengan skema subsidi tertutup berbasis NIK dan aplikasi digital, yang hanya berlaku untuk konsumen domestik seperti Malaysia?
Atau bahkan menerapkan sistem pembatasan volume subsidi agar tetap terkendali secara fiskal?
BLT: Alat Redam yang Efektif Tapi Jangan Jadi Kebiasaan
Kebijakan BLT RM100 yang dilakukan Malaysia juga menarik. Dengan asumsi kurs Rp3.800 per ringgit, maka bantuan ini senilai Rp380 ribu—angka yang setara dengan dua kali program sembako di Indonesia.
Meski tidak besar, BLT ini bisa menjadi “penyangga likuiditas rumah tangga” di saat pengeluaran membengkak.
Namun, penting untuk diingat bahwa BLT adalah kebijakan penenang jangka pendek.
Ia bukan solusi struktural atas kemiskinan atau ketimpangan. Maka dari itu, pemberian BLT perlu dilengkapi dengan reformasi jaminan sosial yang menyeluruh dan investasi pada penciptaan lapangan kerja. Di sinilah perbedaan visi jangka panjang menjadi penting.
Indonesia sebenarnya punya instrumen BLT, tapi kadang gagal menyasar dengan tepat atau datang terlambat.
Jika Malaysia bisa memberikan BLT sekaligus menurunkan BBM, mengapa Indonesia yang APBN-nya lebih besar tidak bisa melakukan setidaknya salah satunya?
Saatnya Indonesia Berpihak Lebih Nyata pada Rakyat
Keputusan Malaysia untuk menurunkan harga BBM dan memberikan BLT bukan sekadar kebijakan fiskal, melainkan langkah afirmatif untuk menyelamatkan daya beli rakyat.
Di tengah ketidakpastian global, kebijakan yang berpihak pada konsumsi domestik dan kestabilan harga adalah bentuk keberanian negara dalam menghadapi krisis dengan empati.
Indonesia seharusnya tidak sekadar menonton.
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang struktur harga BBM non-subsidi seperti Pertamax dan RON 95 lainnya agar lebih adil bagi konsumen. Tidak semua harus diserahkan pada mekanisme pasar ketika ada jutaan rakyat yang hidupnya bergantung pada satu-dua liter bensin per hari.
Subsidi BBM yang tepat sasaran dan BLT yang terdistribusi baik bukan beban negara, tetapi investasi pada stabilitas sosial dan konsumsi.
Malaysia telah membuktikan bahwa keberpihakan kepada rakyat tidak harus menunggu fiskal sempurna. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan akuntabilitas dalam pelaksanaan.
Indonesia punya kapasitas fiskal, punya data, punya infrastruktur digital. Maka pertanyaannya kini bukan bisa atau tidak, melainkan: apakah pemerintah mau mendengarkan suara rakyat yang mulai terasa letih oleh mahalnya hidup?
Sudah saatnya kita menyalakan lampu di rumah rakyat—bukan hanya di gedung birokrasi.