Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
ANGKA backlog perumahan di Indonesia masih menganga lebar, mencapai 13 juta unit, menurut data Kementerian PUPR 2023.
Di saat yang sama, program rumah subsidi seperti FLPP pun tidak pernah benar-benar menjawab persoalan mendasar: ketidaksanggupan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk mengakses hunian yang layak dan terjangkau.
Kini, muncul usulan baru dari Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, yang menawarkan ide: pembentukan “Bulog Perumahan”.
Sebuah lembaga yang berfungsi sebagai offtaker rumah subsidi, menyerap unit-unit hunian yang dibangun pengembang untuk kemudian disalurkan ke rakyat yang membutuhkan.
Konsep ini menjanjikan tidak hanya kestabilan harga, tetapi juga penyerapan produksi rumah yang lebih efisien.
Namun, pertanyaan besar menggelayut: Seberapa layak ide ini dari sisi fiskal? Dan, apakah benar akan mampu mengatasi backlog?
Menimbang Untung Rugi dari Perspektif Fiskal
Mendirikan BUMN baru bukanlah perkara sepele dalam konteks fiskal negara.
Dalam lima tahun terakhir, Kementerian Keuangan telah memperketat pengawasan atas kinerja dan kontribusi BUMN terhadap APBN.
Banyak BUMN yang justru menjadi beban fiskal karena mengalami kerugian dan harus disuntik penyertaan modal negara (PMN) tiap tahun.
Dalam konteks ini, pembentukan “Bulog Perumahan” harus dipertanyakan dari tiga sisi fiskal:
Pertama, biaya awal pembentukan BUMN baru tidak murah.
Diperlukan alokasi anggaran besar untuk pembentukan kelembagaan, rekrutmen SDM, penyusunan sistem, hingga akuisisi aset awal.
Jika mengacu pada model Perum Bulog atau Perum Perumnas, minimal dibutuhkan modal Rp 1–3 triliun di fase awal agar BUMN tersebut dapat beroperasi fungsional sebagai offtaker skala nasional.
Kedua, risiko subsidi terselubung.
Bila BUMN ini ditugaskan menyerap rumah dengan harga tertentu namun menjualnya lebih murah ke MBR, selisih harga ini akan menjadi beban fiskal atau memaksa BUMN tersebut mencatatkan kerugian secara akuntansi.
Artinya, negara harus menanggung kompensasi atas kerugian itu, seperti dalam skema kompensasi BBM.
Ketiga, potensi tumpang tindih dan duplikasi fungsi.
Saat ini sudah ada Perum Perumnas yang mendapat mandat membangun rumah rakyat, meski kinerjanya stagnan.
Apakah tidak lebih baik memperkuat Perumnas menjadi offtaker daripada membentuk entitas baru? Pembentukan entitas baru justru berisiko menambah inefisiensi birokrasi dan konflik mandat.
Dengan argumentasi ketiga ini, pembentukan BUMN Baru seperti Bulog Perumahan tidak bijak disaat keuangan negara memburuk dan tidak tepat waktu karena menjadi beban fiskal baru.
Efektivitas dalam Menjawab Backlog Perumahan
Pertanyaan yang tak kalah penting adalah: apakah BUMN baru ini akan efektif mengatasi backlog?
Untuk menjawab ini, kita perlu memahami akar masalah backlog. Backlog bukan semata karena rumah tidak dibangun.
Setiap tahun, Indonesia bisa membangun lebih dari 800 ribu unit rumah, namun tetap saja backlog tidak turun signifikan. Mengapa?
Masalahnya bukan di pasokan, tapi di aksesibilitas.
Rumah ada, tapi masyarakat tidak mampu membelinya karena Harga terlalu tinggi untuk MBR, Skema pembiayaan terlalu rumit, Lokasi rumah jauh dari pusat aktivitas ekonomi, dan Tidak ada ekosistem yang memudahkan MBR memilih dan membeli rumah.
Di sinilah peran offtaker menjadi krusial.
Seperti halnya Bulog yang menyerap beras dari petani dan mendistribusikannya ke pasar dengan harga stabil, lembaga offtaker perumahan dapat menyerap unit rumah subsidi dari pengembang—yang sering gagal menjual karena tidak punya jaringan distribusi—dan menyalurkannya ke MBR melalui pendekatan yang lebih aktif, seperti sistem pendaftaran daring, seleksi by-name by-address, atau kolaborasi dengan program bansos.
Model ini bisa mengurai rantai pasok yang panjang, menstabilkan harga rumah subsidi di bawah Rp 130 juta, dan bahkan mendorong pengembang untuk lebih giat membangun karena ada jaminan pasar.
Dengan catatan: mekanisme pendistribusiannya efisien dan tepat sasaran.
Namun tetap saja, BUMN tidak bisa bekerja sendirian. Backlog adalah persoalan sistemik yang menyentuh aspek tata ruang, perizinan, infrastruktur dasar, dan daya beli. Tanpa sinergi lintas sektor dan keberanian reformasi agraria kota, peran off-taker hanya akan menjadi plester di atas luka yang lebih dalam. Singkatnya, pembentukan BUMN Baru juga bukan solusi satu-satunya.
Bayangkan petani menanam padi, namun saat panen, tak ada Bulog yang menyerap hasilnya.
Akhirnya petani menjual ke tengkulak dengan harga murah, atau padi membusuk. Itulah kondisi para pengembang rumah subsidi saat ini. Mereka membangun rumah, namun kesulitan menjualnya, karena pemerintah tidak hadir sebagai pembeli pertama.
Dalam analogi ini, "Bulog Perumahan" bisa menjadi pembeli pertama (first buyer), memastikan bahwa produksi rumah subsidi tidak sia-sia. Pengembang punya kepastian pasar, sementara rakyat mendapatkan harga rumah yang lebih rasional.
Namun kita juga belajar dari kelemahan Bulog dalam sektor pangan: terlalu birokratis, kadang kalah cepat dari pasar, dan mudah disusupi konflik kepentingan.
Jika model ini direplikasi ke sektor perumahan, kita harus menghindari jebakan yang sama. BUMN ini harus lincah seperti startup, tapi tetap punya keberpihakan seperti institusi sosial.
Negara Harus Hadir, Tapi Bukan Memberatkan Fiskal
Gagasan membentuk BUMN sebagai offtaker perumahan merupakan bentuk negara hadir untuk rakyat, sesuatu yang selama ini kerap menjadi jargon tanpa aksi nyata.
Namun kehadiran itu harus dilakukan dengan cerdas, bukan serampangan sehingga akhirnya memberatkan ruang fiskal yang saat ini sedang menyempit.
Diperlukan rancangan kelembagaan yang efisien, anggaran yang terkendali, serta sinergi antar institusi, bukan duplikasi.
Jika negara ingin membentuk "Bulog Perumahan", maka ia harus belajar dari keberhasilan dan kegagalan Bulog yang sesungguhnya.
Lembaga ini harus fokus pada fungsi penyerapan dan distribusi, bukan membangun rumah sendiri. Ia harus menjadi jembatan antara pengembang dan rakyat, bukan pesaing swasta atau beban fiskal.
Kita bisa mulai dari pilot project skala kecil, di provinsi dengan backlog tinggi seperti Jawa Barat atau Banten, lalu dievaluasi. Jika berhasil, diperluas secara bertahap. Dan yang paling penting, setiap rupiah yang dikeluarkan harus bisa diuji manfaat sosialnya, bukan sekadar mencetak laporan keuangan yang indah.
Mimpi memiliki rumah tidak boleh menjadi hak istimewa bagi segelintir. Negara harus memastikan, lewat intervensi cerdas dan tepat, bahwa rumah adalah hak dasar yang nyata bagi setiap warga negara.