Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
PERNYATAAN Ketua Umum PERNUSA, Norman Hadinegoro, membuka mata publik. Dalam wawancaranya di Sindo TV, Norman mengaku bahwa Joko Widodo secara sadar membentuk tim khusus untuk memainkan isu ijazah palsu. Tujuannya, “untuk menaikkan rating,” katanya.
Ini cara Allah menguliti kelakuan Jokowi dan pars ternaknya. Soal tim kelola isu, termasuk para buzzer, selama ini baru sebatas bisik-bisik. Istana, saat Jokowi berkuasa, juga sibuk membantah-bantah. Termasuk soal adanya anggaran resmi untuk menyuapi para buzzer dan influencer.
Tapi, “tangan” Allah berkerja. Permainan kotor itu justru mencuat dari mulut salah satu toko die hard Jokowi. Relawan, pemuja, penyembah Jokowi. Jadi, ini bukan hoaks, apalagi fitnah. Wamakaru makarallah. Wallahu khoirul maakirin...
Apa yang dipaparkan Norman bukan sekadar manipulatif. Ini kebusukan. Jokowi membangun tim pengelola isu. Bukan untuk membungkam tuduhan, apalagi membuktikan keaslian ijazah. Justru sebaliknya: memelihara kegaduhan itu agar simpati rakyat mengalir deras ke dirinya. Dia telah merampok ruang publik untuk kepentingan diri dan dinastinya.
Persiapan 2029
Sebagai presiden, Jokowi seharusnya jadi teladan moral. Tapi dia justru sengaja memelihara kebohongan publik demi kepentingan citra. Jika dicermati, manuver ini bukan gerakan putus. Bukan sporadis. Ini bagian dari strategi jangka panjang. Tujuannya, sangat mungkin seputar investasi hajatan demokrasi 2029.
Meski sudah lengser, Jokowi belum mau selesai. Dia ingin tetap relevan, tetap eksis, tetap diperhitungkan. Maka isu ijazah palsu bukan dibantah secara tegas dan tuntas, tapi dipelihara. Dikendalikan, dimainkan. Narasi sengaja dibuat menggantung. Publik dibikin bingung: antara percaya dan tidak, antara kasihan dan jengkel. Dalam kebingungan itulah Jokowi membungkus dirinya dengan topeng: “korban fitnah yang dizalimi.”
Strategi ini punya nilai politik. Pertama, dia membangun efek “martyr complex.” Jokowi ingin dikenang bukan sebagai penguasa yang gagal dan tunduk pada oligarki. Tapi sebagai “bapak rakyat” yang dianiaya fitnah keji. Dihina sehina-hinanya. Direndahkan serendah-rendahnya.
Citra ini penting sebagai modal untuk melanggengkan pengaruh politik. Baik untuk dirinya, keluarganya, maupun orang-orang kepercayaannya.
Kedua, ini adalah sinyal kepada Prabowo dan kekuatan politik lain. Jangan anggap Jokowi sudah habis. Ia masih punya massa. Mantan tukang mebel asal Solo itu masih bisa bikin gaduh. Masih punya “aset” yang siap dimainkan kapan saja. Termasuk, jika perlu, menghukum siapa pun yang tak lagi patuh padanya.
Dan yang paling penting: ini semua adalah investasi untuk 2029. Bukan tak mungkin Jokowi ingin Gibran kembali maju. Atau Kaesang. Atau siapa pun dari orbit politiknya. Maka kegaduhan hari ini bukan tanpa arah. Ada grand design. Ia ditujukan untuk mempertahankan basis, membangun simpati, dan menjaga panggung tetap terbuka.
Rakyat harus sadar. Kita sedang dipermainkan. Isu ijazah palsu semestinya diselesaikan secara jujur, terbuka, dan forensik. Tapi jika ternyata justru dijadikan alat pencitraan, maka ini adalah bentuk penghinaan terhadap akal sehat kita semua.
Pada titik ini Presiden Prabowo punya peran penting dan sangat vital. Dia harus cawe-cawe. Perintahkan aparat penegak hukum untuk menuntaskan. Tentu saja, mereka nenangani dengan profesional, adil, transparan. Jika ijazah Jokowi ternyata benar asli, maka Roy Suryo dan kawan-kawan bisa ditindak secara hukum.
Sebaliknya, jika Jokowi ternyata memang tak punya ijazah atau ijazahnya palsu, dia pun harus diberi sanksi hukum. Soal legitimasi 10 tahun kekuasaannya, biarkan para pakar hukum tata negara yang memutuskan. Harus dibuka ruang dialog. Libatkan orang-orang yang jujur, berintegritas. Bukan mereka yang menggunakan ilmunya untuk menjilat demi remah-remah jabatan atau rupiah.
Nah Pak Prabowo, bagaimana? Anda bisa, kan?