Negara Dalam Cengkeraman Oligarki

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Prof. Yuddy Chrisnandi, Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Nasional

PLATO, filsuf yang hidup pada abad ke-4 SM mengartikan kata oligarki berkonotasi buruk yaitu bentuk kekuasaan sekelompok kecil orang kaya untuk kepentingan mereka sendiri. Aristoteles memperjelas perilaku oligarki sebagai penyebab ketidakadilan dan perpecahan di dalam masyarakat, bentuk penyimpangan kekuasaan yang lebih buruk dari aristokrasi.

Di abad ke-18, James Medison sudah memperingatkan rakyat Amerika Serikat akan bahaya kekuatan ekonomi para pengusaha kaya yang mulai mengarahkan kebijakan negara melalui pengaruh politik, media dan lembaga keuangan. Di abad ke-19 setelah revolusi industri dengan berakhirnya era kolonialisme, kapitalis Eropa dan Amerika mengkonsolidasikan kekuatannya dalam negara melalui monopoli korporat dan dinasti politik, kemudian muncul di abad ke-20 mendominasi industri mesin dan persenjataan yang digunakan pada perang dunia ke-2. Oligarki terus merangsek kedalam sistem pemerintahan di dunia guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Hingga kini di abad ke-21, pandangan yang ditulis Jeffrey Winters tidak mengubah makna oligarki. Rekam jejaknya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia semakin mengokohkan kedudukannya dalam sistem pemerintahan modern. Era industrialisasi telah memperkuat oligarki ekonomi ke dalam sistem politik. Kehadiran oligarki, kekuasaan oleh “elit kaya” yang mampu mendonasi kampanye tokoh atau partai politik, membiayai media, memiliki jaringan koneksi yang luas karena uang, menempatkan mereka pada pusat kekuasaan politik. Cengkeraman oligarki, mendorong negara membuat regulasi-anti monopoli, pajak progresif dan peraturan yang membatasi keikutsertaan elit kaya dalam sistem pemerintahan.

Namun upaya-upaya yang dilakukan masih belum cukup membendung intervensi oligarki yang terus beradaptasi mewakili kepentingan elit di parlemen dan eksekutif. Bahkan di negara demokrasi yang makmur sekelas Amerika Serikat atau Jepang, pengaruh oligarki masih kasat mata, terlebih di negara-negara yang masih tumbuh menuju masyarakat industri baru di Asia, Eropa Timur, Amerika latin dan Afrika, oligarki menjadi bayangan kekuasaan.

Oligarki lahir dari ambisi kaum korporasi untuk menambah kekayaan dengan memperbesar pengaruhnya kedalam sistem pemerintahan. Melalui tangan pemerintah, usaha yang berlangsung dimudahkan, simbiosis mutualisme pada jenisnya yang jahat dan brutal antara korporasi dan birokrasi membentuk oligarki kekuasaan, menempatkan mereka sebagai pejabat negara.

Kroni dan konsesi era Orde Baru pengaruh oligarki di Indonesia lahir dari perjalanan panjang menjadi kroni kekuasaan Orde Baru yang memerlukan peran pengusaha untuk mengelola sumber perekonomian, perdagangan luar negeri dan keuangan negara sebagai sumber pembiayaan politik non budgeter.

Pemerintahan Soeharto (1967-1998) menjadi titik awal tumbuhnya oligarki. Negara berperan sebagai lahan yang subur berkembangnya elit kaya-militer-birokrasi dan keluarga, mengakumulasi kekayaan yang berasal dari proyek-proyek infrastruktur pemerintah, izin usaha pertambangan seperti minyak bumi-gas-batubara, izin pengelolaan hasil hutan, konsesi lahan perkebunan, izin import barang-barang kebutuhan dalam negeri, hingga izin pendirian bank swasta yang diberikan kepada para kroni. Aliansi ini membentuk struktur state corporate oligarchy, di mana kekuasaan politik menyediakan perlindungan dan fasilitas, sementara elit kaya memberikan dukungan logistik dan dana bagi penguasa, melanggengkan rezim.

Kritik-kritik masyarakat terhadap kebijakan negara yang pro-elit diberangus, demokrasi dibungkam, korupsi di dalam pemerintahan merebak, KKN berkembang luas seiring dengan ketimpangan ekonomi antara elit dan rakyat yang semakin lebar. Jatuhnya rezim kekuasaan Soeharto, 21 mei 1998, digantikan oleh Habibie (1998-1999), tidak menggerus oligarki, mereka dapat masuk dalam sistem lembaga legislatif sebagai wakil rakyat yang mempengaruhi eksekutif.

Di era Reformasi, para pengusaha yang sebelumnya tidak masuk dalam kroni Orde Baru, mendapatkan peluang yang lebih terbuka. Kaum elit kaya baru, selain tumbuh menjadi kekuatan ekonomi, juga bertransformasi menjadi oligarki elektoral dengan mendirikan atau mendanai partai-partai politik baru (18 parpol baru hasil pemilu 1999 mendapat kursi DPR RI). Parlemen pada masa era orde baru didominasi oleh kalangan politisi sipil-birokrasi-militer, setelah pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik, ICW mencatat masuknya para pengusaha menduduki sekitar 33,6 persen kursi DPR RI atau 168 orang dari 500 anggota DPR RI terpilih.

Pada Pemilu berikutnya 2004, meningkat menjadi 39 persen. Jumlah kehadiran para pengusaha di lembaga perwakilan rakyat terus meningkat hingga 61 persen pada hasil pemilu 2024, setara dengan 354 kursi dari 580 anggota DPR RI, menjadikan kelompok itu sebagai kekuatan mayoritas wakil rakyat. Wajar saja kemudian, jika banyak produk-produk legislasi nasional yang lebih berpihak pada kepentingan korporasi(UU Minerba, UU Buruh,Omnimbus Law), kompromistis dengan kehendak pemerintah, kurang daya kritisnya sebagai wakil rakyat yang harusnya berpihak bagi masyarakat luas.

Oligarki yang pada era Soeharto sekedar alat ekonomi untuk mempertahankan rezim kekuasaan, di era Reformasi berubah menjadi mitra kekuasaan pemerintah yang terus berkembang pesat menjadi bagian dalam sistem pengambilan kebijakan negara. Ironi pergantian rezim Orde Baru yang mengamanatkan pemberantasan Korupsi-Kolusi dan Nepotisme, di era Reformasi , seiring dengan tumbuhnya kaum elit kaya baru, justru memperbanyak korupsi yang menyebar pesat di semua tingkatan sebagai akibat penyelenggaraan demokrasi pemilihan langsung berbiaya tinggi yang minim penegakan hukum.

Pemilihan umum dan Pemilihan Presiden langsung yang berbiaya politik besar, membuka peluang masuknya kepentingan oligarki mengendalikan hasil pemilihan umum. Oligarki turut menentukan siapa yang akan mereka menangkan dengan dukungan dana yang mereka berikan.

Konsekuensinya , mereka yang terpilih “berutang “ kepada oligarki. Penguasa politik tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh kekuatan ekonomi yang telah memberikan dukungan finansial. Situasi ini menjadi akar masalah korupsi di Tanah Air yang tidak pernah kunjung berhenti. Itulah yang menyebabkan Coruption Perception Index kita masih berada di angka 37 pada urutan ke 99 negara di dunia. Bandingkan dengan negara tetangga Singapura dengan skor 84 di urutan ke-3 atau Selandia Baru skor 83 di urutan ke-4, pada tahun 2024.

Motif Ekonomi di Balik Kekuasaan

Alasan mengapa oligarki ingin turut berkuasa? Karena pada dasarnya para elit pengusaha adalah pencari harta. Di dalam pemerintahan terbentang kekuasaan untuk mengelola berbagai sektor perekonomian negara yang bergantung pada izin negara.

Selain itu, pemerintah memiliki APBN yang akan dibelanjakan untuk pembangunan nasional, memerlukan pengusaha untuk terlibat di dalam mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Elit pengusaha kaya, yang telah mendonasikan uangnya dalam jumlah sangat besar memenangkan calonnya, juga ingin menikmati hasilnya, no such free lunch in politics. Oligarki di dalam kekuasaan akan memudahkan akumulasi kekayaan dengan cepat. Sektor pertambangan-energi, kehutanan, infrastruktur, properti, perhubungan, perdagangan luar negeri, pertahanan, komunikasi, industri, hingga sektor keuangan menjadi target oligarki di dalam mendapatkan keuntungan dari kedudukannya.

Instansi pemerintah yang memiliki anggaran besar seperti Kementerian Pendidikan, Kesehatan atau Sosial, menjadi ajang perebutan proyek para oligarki. Kepentingan publik yang luas, bukan menjadi prioritas bagi oligarki.

Demokrasi formalitas dapat dikendalikan dari tiga arah : birokrasi, parlemen dan media. Oligarki memiliki kemampuan untuk membentuk opini publik, sekaligus membungkam suara kritis masyarakat dengan uang atau instrumen hukum,yang pada akhirnya dapat menenggelamkan demokrasi. Pemerintahan tidak lagi menjadi perwakilan kehendak rakyat, namun menjadi ajang negosiasi antarkepentingan elit.

Pemerintahan yang dikendalikan oleh oligarki, dipastikan kebijakannya tidak pernah merugikan kepentingan elit kaya yang berada di dalam pemerintahannya. Kehadiran oligarki di pemerintahan saat ini adalah kelanjutan pemerintahan sebelumnya. Adalah kenyataan bahwa sejumlah menteri sejak era reformasi berasal dari kalangan bisnis besar, atau diusulkan oleh pengusaha besar melalui rekomendasi partai politik. Keadaan yang demikian, tidak memberi optimisme yang besar bagi terselenggaranya pemerintahan yang bersih.

Target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan pemerintah akan sangat sulit tercapai selama pemerintahan yang belum sepenuhnya bebas dari pengaruh oligarki. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 berkisar 5,2 persen-5,4 persen, lebih tinggi 2 persen dari proyeksi pertumbuhan global. Koefisien GINI Indonesia tahun 2024 menurut World Bank sebesar 0,349, masih dalam zona ketimpangan sedang, sekalipun belum berada pada zona ekstrem, menunjukan distribusi pendapatan masih tidak merata.

Sejak 2023, oleh Bank Dunia, Indonesia dikatagorikan sebagai upper-middle income country dengan ambang batas garis kemiskinan USD 8,3 per hari atau setara 1,5 juta rupiah per bulan, akibatnya secara statistik jumlah orang miskin meningkat menjadi 68 persen atau berkisar 194,7 juta jiwa. Meski secara nasional tidak tergolong miskin, Bank Dunia menilai banyak penduduk Indonesia masih memiliki pengeluaran di bawah kebutuhan dasar global.

Menurut Credit Suisse estimasi kekayaan 100 orang terkaya Indonesia tahun 2024 berkisar USD 350 400 miliar dari perkiraan asset bersih nasional USD 3,2T atau setara lebih dari 10 persen kekayaan negara dimiliki oleh 100 orang saja di tengah 285,7 juta penduduk Indonesia. Sebuah gambaran ketimpangan yang sangat fantastis, yang mutlak membutuhkan hadirnya pemerintahan yang benar-benar fokus bagi kesejahteraan umum, bukan mendahulukan kepentingan elit kekuasaan oligarki.

Fakta lain menunjukan penurunan indeks demokrasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir sejak tahun 2014 pada peringkat ke 56 dunia dengan skor 6,95 turun ke peringkat 59 dengan skor 6,44 pada akhir tahun 2024. Penyelenggaraan demokrasi Indonesia tergolong sebagai flawed democracy (demokrasi yang cacat).

Pada kurun pemerintahan tersebut, kehadiran oligarki dalam kekuasaan politik semakin bertambah dibandingkan sebelumnya, seiring dengan penurunan kualitas demokrasi.

Melepaskan Diri dari Cengkeraman Oligarki

Kita mencatat berbagai kontroversi di tengah masyarakat sebagai buntut kebijakan pemerintah yang berpihak pada oligarki seperti : kasus Rempang-kepulauan Riau, Wadas Purworejo, Proyek IKN, gugatan UMKM soal penanganan Covid, tambang pasir Kali Progo, Morowali Industrial Park, izin ekspor minyak goreng, BBM oplosan, pagar laut, Proyek Strategis Nasional, Danantara , adalah sebagian kecil masalah yang disebabkan oleh pengaruh oligarki terhadap kebijakan negara.

Perilaku yang mementingkan diri sendiri, bukan saja untuk memperkaya diri, bahkan lebih jauh menyuburkan korupsi di kalangan pegawai pemerintah. Berbagai kasus korupsi yang tengah diusut Kejaksaan Agung RI : Tata kelola minyak mentah pertamina sepanjang tahun 2018-2023 merugikan negara sebesar Rp 968,5 T, skandal PT Timah 2015-2022 merugikan Rp 300 T, Korupsi PT Assabri tahun 2012-2019 kerugian negara sebesar Rp22,7 T, proyek pengadaan laptop 2019-2024 Kementerian Riset Dikti merugikan negara sebesar Rp 9,9 T, Kebijakan Ekspor CPO 2021-2022 dengan kerugian negara sebesar Rp 11,8T, adalah sebagian kejahatan ekonomi yang melibatkan peran oligarki di dalamnya.

Sudah lebih dari cukup bukti empiris dan akibat dari eksistensi oligarki di dalam pemerintahan di berbagai belahan dunia, termasuk yang dialami bangsa kita. Selain perlu terlibat dalam penataan sistem politik yang menjamin tegaknya demokrasi, Presiden Prabowo memiliki pilihan untuk menyelamatkan masa depan bangsa dengan melepaskan pemerintahannya dari cengkeraman oligarki. Pemberantasan korupsi, penegakan hukum yang adil, tegaknya demokrasi dan kesejahteraan yang merata hanya dapat dicapai jika ada batas peran yang tegas antara kekuasaan pemerintah (politik) dan pengusaha (bisnis).

Presiden perlu memberi pilihan kepada para pejabat eksekutif yaitu memilih kekuasaan (politik) untuk rakyat banyak atau memilih menjadi pengusaha (bisnis) untuk dirinya, namun tidak berbisnis dengan kekuasaan politik yang dipegangnya. Dengan cara itu, Indonesia akan terbang jauh lebih tinggi tanpa campur tangan oligarki.

 

Berita Terkait

Berita Lainnya