Oleh: M Rizal Fadillah, Mantan Anggota DPRD Propinsi Jawa Barat
PENURUNAN secara konstitusional tentu melalui mekanisme DPRD. Rupanya akting Dedi Mulyadi yang selalu ingin disebut “Kang” itu sudah berlebihan alias over dosis. Dituduh mistik bahkan musyrik tetap bergeming, tidak peduli. Ritual mistik dilakukan secara demonstratif berbingkai budaya. Bingkai yang sesungguhnya hanya memperalat atau menunggangi budaya.
Masyarakat Jawa Barat tentu senang jika budayanya dihargai dan ditinggikan. Budaya Sunda layak untuk tampil dan maju. Siapapun boleh berjuang untuk itu, apalagi ia adalah pejabat yang berpengaruh. Keterpilihan maupun mempertahankan daya dukung dengan jualan budaya tentu sah-sah saja. Tapi dengan cara menginjak keyakinan pihak lain, apalagi pihak beragama adalah salah dan berbahaya.
Seenaknya dengan otoritas yang dimiliki mengganti nama bagus RS “Al Ihsan” menjadi RS “Welas Asih” adalah menyinggung. Alasan agar lebih “nyunda” sulit untuk diterima. Jika Dedi Mulyadi faham makna “Ihsan” dalam konteks agama maka jauh lebih dalam dan bermakna ketimbang “Welas Asih”. Lagi pula perubahan nama itu tanpa meminta pertimbangan rakyat melalui DPRD merupakan bentuk dari otoritarian, abuse of power, atau kumaha aingisme.
Jika Dedi mau mistik, musyrik, ataupun munafik untuk dirinya sendiri ya dipersilahkan dan bebas-bebas saja. Mau kafir juga boleh. Masalahnya jika bermain di ruang publik apalagi dalam kapasitas pejabat publik, maka itu tentu bakal menimbulkan masalah. Apalagi jika ia mengambil kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Jika dia yang “rentan agama” bermain-main dengan umat beragama khususnya umat Islam, maka umat tidak boleh membiarkan atau harus dilawan keras. Kepemimpinan “kumaha aing” itu tidak sesuai dengan budaya Sunda sendiri “hirup tong asa aing uyah kidul sabab di alam dunyamah euweuh elmu panutup”. Dedi, sebelum nekad bertidak fikirkan dahulu akibatnya “kudu seubeuh memeh dahar, kudu nepi memeh indit”.
Baiknya desak DPRD Jawa Barat agar mempertimbangkan keberadaan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur, tegur atas sikap-sikap yang mendahulukan citra ketimbang kerja “lodong kosong ngelentrung”. Bila pencegahan lebih baik daripada pengobatan, maka turunkan saja segera, toh ada Wakil Gubernur yang mampu menggantikan. Warga Jawa Barat tidak boleh dipaksa untuk diam atau hanya berfungsi sebagai “tukang kendang” dari pemimpin yang bisanya cuma joget-joget.
Dedi harus taat hukum dan mau mendengarkan suara pengawasan anggota DPRD. Negara tidak butuh pengumbar hawa nafsu tetapi memerlukan orang yang siap untuk berbuat bagi kepentingan bersama “kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea”.
Untuk kasus RSUD “Al Ihsan” beri saja Dewan ultimatum agar Gubernur kembalikan ke nama asal “Al Ihsan” atau Dedi Mulyadi sang Gubernur “bapa aing” eh “kumaha aing” turun. Mekanisme Undang-Undang dan Tatib DPRD sudah lengkap mengaturnya.