Refleksi Dua Periode Jokowi: Dari Harapan ke Kekecewaan

Image 3

Oleh: Peter F. Gontha

Ini hanya merupakan refleksi bukan untuk menyerang siapa-siapa terutama tidak menyerang presiden Jokowi jadi harus ditanggapi dengan objektif dan kesatria. Banyak yang dihasilkan presiden Jokowi namun demikian banyak juga hal yang sangat kontroversial keputusan yang diambilnya.

Kita sendiri bukan orang yang sempurna namun bukan berarti bahwa kita tidak dapat memberikan opini mengenai pendapat umum yang dirasakan banyak pihak yang pro maupun yang anti atau kontra.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi santai di sebuah kedai kopi, kami membicarakan kondisi politik tanah air, terutama terkait perkembangan terakhir dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dalam perbincangan itu, muncul satu pertanyaan: mengapa ada tokoh politik yang dengan begitu yakin menyebut Pasar Pramuka sebagai pihak penerbit suatu isu, padahal tidak ada dasar kuat yang bisa dijadikan pijakan?

Yang menarik adalah reaksi yang muncul. Mimik wajah, nada suara, dan sikap yang ditunjukkan oleh salah satu peserta diskusi begitu kuat mencerminkan keberpihakan terhadap Jokowi. Tampak jelas bahwa dia adalah seorang Jokower sejati, seorang pendukung tulen yang sulit menerima kritik, bahkan ketika kritik tersebut disampaikan dengan data dan semangat membangun.

Hal ini menyentuh titik yang lebih dalam. Saya sendiri, bersama banyak rekan seperjuangan, adalah bagian dari barisan relawan yang dengan sepenuh hati mendukung Jokowi selama dua periode. Kami berjuang bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi Indonesia yang lebih baik. Kami percaya pada narasi perubahan, kesederhanaan, dan keberpihakan terhadap rakyat kecil.

Namun perjalanan waktu membuktikan bahwa harapan itu mulai bergeser. Pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, arah kebijakan dan sikap politiknya tidak lagi mencerminkan semangat yang sama. Taring kekuasaan mulai tumbuh liar. Keputusan-keputusan yang diambil cenderung elitis dan pragmatis, bahkan mengarah pada praktik yang selama ini justru kita lawan: dinasti politik, KKN, dan konflik kepentingan.

Kami, para relawan yang dulu berdiri paling depan, kini justru menjadi saksi dari retaknya cita-cita awal. Relawan yang dulu bersatu, kini terpecah. Beberapa tetap bertahan, sebagian lainnya mulai mengambil jarak, bahkan ada yang kini bersuara lantang menentang. Semua ini bukan karena benci, melainkan karena cinta yang dikhianati oleh kenyataan.

Lebih menyedihkan lagi, Jokowi kini terseret dalam berbagai persoalan pribadi dan politik: mulai dari polemik ijazah, kualitas infrastruktur seperti aspal jalan, hingga dominasi keluarga dalam panggung kekuasaan nasional. Jika pada periode pertama rakyat dibuat terkesima oleh figur pemimpin rakyat, maka di periode kedua rakyat dibuat pontang-panting oleh realitas politik dinasti dan oligarki.

Seorang Presiden yang pernah menjadi harapan besar bangsa, kini menjelma menjadi simbol kekecewaan bagi sebagian rakyat yang dulu berjuang untuknya. Ini bukan soal pribadi. Ini soal harapan yang dikhianati, soal demokrasi yang dikorbankan demi mempertahankan kuasa.

Kami menyadari satu hal penting: kekuasaan memang candu. Ia menciptakan ketergantungan, memperdaya nurani, dan pada akhirnya mampu mengubah karakter bahkan pemimpin yang paling sederhana sekalipun.

Semoga kita semua bisa belajar dari perjalanan ini. Bahwa dalam politik, cinta buta bisa berujung luka dalam. Dan bahwa rakyat tak butuh pemimpin yang sempurna — yang dibutuhkan adalah pemimpin yang setia pada nilai-nilai yang pernah ia janjikan sendiri.

Dikutip dari Facebook penulis

Berita Terkait

Berita Lainnya