Oleh: Gde Siriana Yusuf, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies
SERUAN untuk pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah mencuat setelah surat resmi diajukan ke DPR oleh sekelompok purnawirawan jenderal militer. Meskipun tampaknya mengejutkan, hal ini mencerminkan ketidakstabilan dinamika politik pascapemilu. Ketegangan di antara elite politik terus memuncak. Transisi yang belum tuntas dari era Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke era Presiden Prabowo Subianto serta kecurigaan terhadap politik dinasti menjadi latar belakang penting isu ini.
Sejak pencalonannya, Gibran telah menjadi sasaran kritik keras. Putusan mendadak Mahkamah Konstitusi yang mengubah persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden, yang memungkinkan Gibran maju melalui celah hukum sebagai calon wapres, dilihat banyak pihak sebagai manipulasi hukum demi kepentingan politik. Gibran kemudian dicalonkan sebagai pasangan Prabowo. Yang menarik, Gibran sebelumnya merupakan wali kota Solo dan belum menyelesaikan masa jabatannya secara penuh sebelum meloncat ke posisi wapres.
Putusan MK itu kemudian dinyatakan cacat secara etika oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Namun Gibran tetap melaju, menunjukkan keterputusan antara hukum dan etika dalam demokrasi Indonesia, serta membuktikan betapa rentannya tatanan konstitusional.
Dalam sistem presidensial Indonesia, pemakzulan tidak bisa dilakukan sembarangan. Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden hanya bisa diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, atau tindakan tercela lainnya, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai wapres.
Prosesnya panjang dan kompleks. DPR harus mengusulkan pemakzulan, lalu Mahkamah Konstitusi memeriksa dan memutus tuduhan tersebut. Putusan final diserahkan ke MPR. Dalam komposisi koalisi besar Prabowo-Gibran saat ini, secara matematis pemakzulan nyaris mustahil.
Pengajuan surat oleh Forum Purnawirawan TNI ke Sekretariat Jenderal DPR adalah manuver politik yang layak dicermati. Di satu sisi, para pensiunan jenderal ini adalah kelompok politik yang punya sejarah kuat dalam politik kekuasaan Indonesia. Di sisi lain, surat itu belum secara resmi diterima dan dibacakan di rapat DPR. Ketua DPR Puan Maharani pun mengaku belum membaca surat itu secara pribadi.
Ketidakpastian ini memunculkan spekulasi bahwa DPR mungkin sedang berhitung secara politis, bukan sekadar mengikuti prosedur administratif. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, salah satu loyalis Prabowo, pernah menyatakan bahwa jika surat itu diterima resmi, maka bisa dimasukkan ke jadwal rapat pimpinan atau konsultasi.
Dalam studi tentang pembagian kekuasaan, pemakzulan sering kali dipandang bukan hanya sebagai mekanisme hukum, tetapi juga sebagai strategi politik. Bahkan jika seluruh prosedur hukum tidak mungkin diselesaikan, narasi pemakzulan tetap dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Pertama, partai politik atau aktor politik dapat menggunakan ancaman tersebut untuk memperkuat posisi tawar mereka terhadap Presiden Prabowo, dengan tujuan memperoleh pengaruh yang lebih besar, lebih banyak posisi di kabinet atau BUMN, atau perlindungan dari reshuffle.
Kedua, hal ini bisa digunakan untuk menebar ketidakpercayaan di antara para elit, dan menggoyahkan koalisi pemerintahan.
Ketiga, langkah ini mungkin bertujuan untuk melukai mantan Presiden Jokowi secara politik dengan cara mendeligitimasi secara moral peran keluarganya dalam pemerintahan.
Keempat, isu ini bisa terus dipelihara sebagai kartu strategi menjelang Pilpres 2029, ketika Prabowo dan Gibran mungkin akan saling bersaing alih-alih bersatu.
Dalam kasus Gibran, semua kemungkinan ini masih terbuka. Meskipun belum ada bukti yang jelas mengenai pelanggaran hukum serius yang bisa membenarkan pemakzulannya, tekanan moral dan politik tetap signifikan.
Ada beberapa kemungkinan skenario:
1. Pertama, DPR bisa menolak usulan pemakzulan karena tidak cukup bukti hukum. Ini adalah skenario paling mungkin dan bisa menutup isu tersebut secara hukum. Namun, Gibran tetap akan dibayang-bayangi pertanyaan etik dan legitimasi.
2. Kedua, DPR bisa menghindari penolakan langsung dengan membentuk panitia khusus atau forum konsultatif untuk “menyimpan” Gibran dalam posisi abu-abu politik — tidak diberhentikan, tapi juga tidak sepenuhnya bebas dari tekanan.
3. Ketiga, bisa muncul skandal baru atau manuver politik yang memicu pemakzulan. Jika ada pelanggaran serius, proses hukum bisa digunakan untuk melemahkan atau bahkan menjatuhkan posisi Gibran.
Pada akhirnya, arah isu ini sangat tergantung pada dinamika internal politik Prabowo, sifat relasi antara Presiden dan Wapres, serta apakah Gibran akan terus menjadi aset atau justru beban politik.
Isu pemakzulan ini menunjukkan betapa demokrasi Indonesia masih kesulitan memisahkan etika dan hukum. Ketika prosedur hukum dilemahkan oleh pertimbangan politik, maka etika publik kehilangan kekuatannya.
Di balik isu ini terdapat perebutan kekuasaan elit lintas generasi, yang melibatkan dinasti politik dan gelombang perubahan dari era Jokowi ke era Prabowo. Apakah Gibran akan muncul dari badai ini sebagai negarawan muda yang sedang naik daun atau justru runtuh di bawah beban kekuasaan yang datang terlalu dini—hanya waktu yang bisa menjawab.
Artikel ini dalam versi English telah dimuat The Jakarta Post edisi 9 Juli 2025