Prabowonomics dan Tugas Menyelamatkan Bangsa di Era Perang

Image 3

Jakarta, MNID. Ketika dunia semakin menyerupai medan tempur global yang tak beraturan, Indonesia tak bisa berdiri diam. Pesan itu menggetarkan ruang diskusi GREAT Lecture yang diselenggarakan GREAT Institute di Jakarta Selatan, Jumat siang.

Sorotan tajam datang dari mantan Menteri Keuangan yang kini menjabat komisaris utama MIND.ID, Fuad Bawazier, dalam pidatonya tentang Prabowonomics—sebuah istilah yang kini tak sekadar konsep, tapi dinilai sebagai strategi bertahan hidup bangsa.

Apa yang Dibahas?

Diskusi terbuka yang dihadiri lintas tokoh nasional, dari elite partai hingga aktivis buruh, menjadi ajang membedah satu pertanyaan penting: Bagaimana Indonesia bisa bertahan dan bangkit di tengah dunia yang berubah cepat, penuh konflik, dan tak menentu? Jawabannya, menurut Fuad dan para penanggap, terletak pada fondasi konstitusional dan keberanian mengambil sikap geopolitik yang mandiri.

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, membuka forum dengan menegaskan bahwa Prabowo menerima mandat sebagai presiden dalam kondisi global yang nyaris tidak bersahabat. Dunia terbelah antara Blok Barat dan Timur, multilateralisme rapuh, dan konflik bersenjata terbuka—dari Gaza hingga Laut Cina Selatan—menandai era baru: perang tanpa pengumuman resmi.

“Kalau semua kondisi ini tidak memaksa Indonesia untuk menentukan sikap yang tegas,” ujar Syahganda, “maka kita jelas sedang menuju kehancuran.” Ia bahkan menyitir nasib Belanda yang netral saat Perang Dunia I namun menjadi korban pertama Nazi di Perang Dunia II: “Tak ada negara bisa jadi penonton dalam pertikaian global.”

Selain disaksikan sekian banyak pemirsa daring, GREAT Lecture juga dihadiri langsung tokoh-tokoh, antara lain, Rauf Purnama (Komisaris Utama PT Antam), Dian Islamiati Fatwa, mantan Dubes Helmy Fauzi, Rizal Dharma Putra (CEO Lesperssi), Abdullah Songge (CIDES), Hatta Taliwang (Institut Soekarno-Hatta), dan aktivis senior Adhie M. Massardi. Hadir pula mahasiswa dari Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, dan Universitas Islam Internasional Indonesia.

Para penanggap antara lain Bursah Zarnubi (ketua APKASI), Jumhur Hidayat (ketua umum KSPSI), anggota DPR RI Musa Rajekshah, dan Adhamaski Pangeran dari GREAT Institute.

Apa Itu Prabowonomics?

Fuad Bawazier menegaskan: “Prabowo sangat konsisten terhadap pasal 33 UUD 1945. Itu adalah pilar ekonomi nasional.” Ia mengingatkan bahwa Soekarno dan Soeharto sama-sama menjaga prinsip penguasaan negara terhadap sumber daya alam melalui undang-undang seperti UU No. 44 dan UU Pertamina No. 8 Tahun 1971. Namun, kerusakan besar justru datang setelah Reformasi 1998—saat deregulasi dan pasar bebas membuka jalan bagi kerakusan tak terkendali.

“Kalau pasal 33 itu tidak dijalankan,” kata Fuad, tegas,“hapus saja sekalian, biar kita tidak jadi bangsa hipokrit.”

Isu utama yang berulang kali digaungkan dalam diskusi ini adalah kebutuhan mendesak akan “ekonomi komando”—bukan dalam arti otoriter, tapi sebagai sistem terarah, fokus pada pemenuhan kebutuhan rakyat, terutama di masa krisis. Bursah Zarnubi mengaitkan Prabowonomics dengan model Pembangunan Nasional Semesta Berencana dan “politik benteng” ala Soemitro Djojohadikusumo. Koperasi Desa Merah Putih dan fokus pembangunan dari desa menjadi contoh riil arah kebijakan Prabowo.

“PT itu produk kapitalisme,” kata Bursah. “Saatnya kita beralih ke koperasi—yang milik bersama, digerakkan bersama, dan menguntungkan bersama.”

Bagaimana Implementasinya?

Musa Rajekshah menyebutkan bahwa Presiden Prabowo telah menerbitkan 9 Instruksi Presiden, termasuk efisiensi birokrasi, swasembada pangan, dan penguatan penyuluh pertanian. “Fokus saja ke sektor pertanian dan perkebunan. Tak perlu beri izin tambang baru. Yang lama saja sudah banyak masalah,” ujarnya. Ia memperingatkan agar Indonesia tidak bernasib seperti Nauru—negara kaya fosfat yang jatuh miskin karena penambangan yang tak terkendali.

Jumhur Hidayat menyuarakan kekhawatiran: “Bonus demografi kini berubah jadi bencana demografi.” Ia mendorong agar ekonomi Prabowo yang berbasis IPTEK tidak dikacaukan oleh bisikan-bisikan seperti di era sebelumnya. Menurutnya, perlu segera disusun UU Sistem Perekonomian Nasional untuk menegaskan tiga entitas utama: koperasi, BUMN, dan swasta.

Adhamaski Pangeran dan Adhie Massardi mempersoalkan pemahaman salah kaprah soal efisiensi dan ketidakjelasan teknis pelaksanaan pasal 33. “Dana jaminan rakyat mestinya dipisahkan sejak awal, untuk pertanian, pendidikan, dan lapangan kerja. Bukan dicampur dalam APBN,” kata Adhie. Ia menyayangkan hilangnya kesatuan antara kata dan perbuatan dalam kepemimpinan sebelumnya.

Kapan Momentum Harus Dimulai?

Jika ada momentum paling genting dalam sejarah Indonesia pasca-orde baru, maka waktu itu adalah sekarang. Seperti dikatakan Syahganda, “Ekonomi perang itu bukan isapan jempol. Ini niscaya. Kita semua harus bekerja—secara ideologis dan terarah—demi bangsa ini.”

Dalam suasana dunia yang porak-poranda, di mana pangan berubah jadi senjata dan energi jadi jerat, Prabowonomics dipahami bukan sekadar rencana lima tahun. Tapi fondasi eksistensial bagi Republik ini untuk bertahan hidup—hari demi hari.

Sejatinya, forum diam-diam seolah menyeopakati apa yang pernah dinyatakan Nietzsche: “He who has a why to live can bear almost any how.” Siapa yang punya alasan untuk hidup, akan sanggup menanggung hidup seberat apa pun.

Kini, Indonesia harus punya alasan itu—agar tetap hidup.

Berita Terkait

Berita Lainnya