Fadli Zon: Harus Ada Penemuan Ulang Jati Diri Indonesia

Image 3
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon

Jakarta, MNID. Budaya Indonesia adalah mega-diversity. Bukan sekadar keberagaman, tapi keberlimpahan. Tidak ada negara yang sekaya Indonesia dalam hal budaya, baik yang tangible maupun intangible. Setidaknya tercatat 2.213 budaya Indonesia yang intangible. Dari angka itu untuk sementara baru 16 yang diakui UNESCO, seperti wayang, batik, keris, sampai jamu dan reog.

Demikian antara lain disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam orasi yang disampaikan pada GREAT Lecture bertajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” di Golden Ballroom 2, Hotel Sultan, Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025. 

Dalam orasi itu Fadli Zon mengurai kembali sejarah dialektika kebudayaan bangsa ini: dari Polemik Kebudayaan 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, hingga pertarungan ideologis Manifes Kebudayaan versus Lekra pada 1960-an.

Bagi Fadli, yang terpenting bukanlah menang-menangan, melainkan pergulatan pemikiran itu sendiri.

“Harus ada reinventing Indonesia’s identity—penemuan ulang jati diri Indonesia,” katanya, seraya menyebut dua karakter utama kebudayaan Indonesia: kekayaan dan ketuaan.

Ia menyinggung Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Namun, justru dalam konteks kebebasan itulah, Fadli menyiratkan kegelisahan: “Budaya kita sangat tua. Tapi kini, narasi kebudayaan justru dibungkam. Padahal, peradaban kita sudah lebih dulu global.”

Dengan mengutip penemuan-penemuan arkeologis, ia menyebut bahwa Homo erectus Indonesia telah hidup 1,8 juta tahun lalu. Gambar-gambar gua tertua ditemukan di Muna dan Maros, jauh lebih tua dari lukisan gua di Eropa.

“Kita ini melting pot sejak dulu kala. Kita bukan tempat tujuan. Tapi tempat keberangkatan,” ujarnya, menyiratkan bahwa Nusantara adalah simpul globalisasi purba.

Selain Fadli Zon yang menjadi orator utama, pembicara lain yang menanggapi orasi itu adalah sosiolog dan sastrawan Okky Madasari, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifuddin, peneliti GREAT Institute Hanief Adrian, pemikir Studia Humanika ITB Alfathri Adlin, filsuf Muhammad Misbahudin, serta pendiri Ubud Writers and Readers Festival Janet DeNeefe. Diskusi dipandu Khalid Zabidi, Direktur Komunikasi GREAT Institute.

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, membuka acara dengan kritik bernas: bahwa elite di negeri ini tak selamanya membawa bangsa menuju kemerdekaan.

“Elit harus paham budaya. Terutama budaya di wilayah kepemimpinannya sendiri," ujarnya. Ia menyesalkan langkanya diskusi kebudayaan di ruang publik hari ini, apalagi di layar televisi. Padahal, kata dia, jika pembicaraan soal budaya berhenti, kita bisa kehilangan nilai keadaban itu sendiri.

Syahganda menyoroti kegagalan struktur memahami kultur, merujuk pada kasus Pati yang kini menghebohkan. “Struktur menaikkan PBB seenaknya, tanpa memahami kultur masyarakat yang sedang menjerit karena tekanan ekonomi. Maka terjungkallah bupati,” katanya dengan nada getir.

Jangan Ada Narasi Tunggal dalam Kebudayaan

Adapun Okky Madasari, sosiolog dan sastrawan yang kini mengajar di National University of Singapore, berbicara lugas dan tajam. Ia mengajak semua pihak menengok wajah manusia Indonesia hari ini, khususnya generasi muda. “Mereka itu kosmopolitan, kreatif, dan resisten. Mereka bukan sekadar pengguna budaya global, tapi juga penantang,” katanya.

Okky menegaskan, sejarah kebudayaan bangsa ini selalu diawali oleh perlawanan terhadap model dominan.

“Sutan Takdir, Hamzah Fansuri, para pelopor itu melakukan perlawanan atas dominasi wacana,” ujarnya. Karena itu, ia mendukung langkah menulis ulang sejarah Indonesia. Tapi dengan satu syarat: “Penulisan sejarah harus melibatkan publik, akademisi, sastrawan, bukan hanya pemerintah. Harus ada forum bersama.”

Yang lebih penting, tegasnya, adalah kebebasan berbicara dan berkebudayaan. “Jangan ada pembungkaman. Jangan ada narasi tunggal,” katanya, menyuarakan kegalauan banyak kalangan yang merasa ruang-ruang kritik semakin sempit.

Pendidikan Sekadar Mencetak Tukang

Dari sudut pemikiran filosofis, Alfathri Adlin memulai dengan mengutip Hegel: “Masyarakat dan pemerintah tak pernah belajar dari sejarah. Mereka terus mengulang kesalahan yang sama.” Ia menyentil konsep white man’s burden yang menjadi justifikasi kolonialisme, sekaligus menyalahkan sistem pendidikan kita hari ini yang masih menurunkan warisan Barat secara membabi buta.

“Pendidikan kita hanya mencetak tukang. Bukan pencinta ilmu. Padahal, menurut Islam, setiap orang diciptakan dengan tujuan khusus,” ujarnya, menyiratkan perlunya visi pendidikan berbasis nilai-nilai yang lebih dalam dari sekadar kurikulum teknokratik.

Pusat Budaya Emas Dunia

Peneliti GREAT Institute, Hanief Adrian, memperkuat argumen Fadli tentang kebesaran masa lalu bangsa ini. Ia mengutip catatan sejarah tentang Sriwijaya yang dikenal sebagai Zabazh di Afrika. “Zabazh memperkenalkan budaya emas ke Afrika, yang lalu dinikmati Eropa dan Arab. Tapi budaya emas itu datang dari Swarna Dwipa—Sumatra,” ujar Hanief.

Menurutnya, kita butuh keberanian untuk mengklaim sejarah kita sendiri. “Kalau kita tak menulisnya, orang lain akan menulis versi mereka, dan kita tinggal jadi objek,” katanya, mengingatkan.

Ruang Dialektika yang Hampir Hilang

Ketika para pembicara mulai beringsut dari kursi mereka, suasana ballroom itu belum kehilangan riak semangat. Tak ada tepuk tangan meriah, tapi justru ada keheningan yang khusyuk. Seperti saat suara keras berganti gema yang pelan, namun tetap menggetarkan.

Indonesia, seperti yang digambarkan oleh mereka hari ini, adalah negeri yang mewarisi suara dari gua-gua purba, yang pernah menjadi pusat dunia, namun kini nyaris kehilangan panggung untuk berdialektika.

Kita butuh kebudayaan yang hidup, bukan yang dibekukan dalam museum atau dijadikan sekadar dekorasi festival. Butuh pemimpin yang mengerti kultur, bukan hanya struktur. Butuh ruang bagi keragaman suara, bukan hanya pengeras narasi tunggal.

“Kebenaran tidak pernah dimonopoli oleh satu suara,” ujar Okky. Dan dalam riuh zaman ini, suara itu terdengar seperti doa yang disampaikan lewat mikrofon.

Dalam kebisingan dunia baru yang seringkali menelan jejak sejarah dan mengabaikan nilai-nilai lama, diskusi semacam ini adalah oase intelektual yang langka. Jika kebudayaan adalah cermin bangsa, maka sudah saatnya kita membersihkan kaca itu dari kabut kekuasaan dan prasangka.

Seperti kata Imam Ali bin Abi Thalib, "Seseorang yang tidak mengetahui sejarahnya, maka ia akan tersesat dalam perjalanan hidupnya." Dan hari ini, dalam ruangan itu, secercah cahaya telah menuntun kita kembali melihat peta jalan lama—menuju jati diri yang (masih) mungkin diselamatkan.

Berita Terkait

Berita Lainnya