Oleh: Luluk Nur Hamidah, Ketua Umum Ikatan Alumni Perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA Perempuan PMII)
SEBAGAI organisasi yang lahir dari rahim gerakan perempuan dan perjuangan demokrasi serta keadilan sosial, IKA Perempuan PMII menyampaikan keprihatinan mendalam dan penolakan tegas terhadap pernyataan Bapak Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI yang mengingkari terjadinya kekerasan seksual massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998.
Pernyataan tersebut bukan sekadar bentuk ketidakpekaan, tetapi juga pengingkaran terhadap sejarah kekerasan seksual yang panjang dan berulang di Indonesia—dari tragedi 1965, konflik di Timor Leste dan Aceh, hingga kekerasan terhadap perempuan di Papua dan wilayah konflik lainnya.
Kekerasan seksual telah lama menjadi alat kekuasaan untuk menundukkan tubuh dan suara perempuan. Menyangkalnya berarti memperkuat budaya impunitas, membungkam penyintas, dan membuka jalan bagi kekerasan serupa terjadi kembali.
Kami menegaskan bahwa:
1. Kekerasan seksual massal pada Mei 1998 adalah fakta sejarah yang telah ditelusuri dan dikonfirmasi oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Komnas Perempuan, hingga berbagai organisasi HAM nasional dan internasional.
2. Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon adalah bentuk reviktimisasi dan delegitimasi terhadap suara korban, serta bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan konstitusi yang menjamin hak atas rasa aman, keadilan, dan martabat.
3. Pengingkaran terhadap fakta ini mencederai perjuangan reformasi, di mana perempuan turut menjadi pelopor perubahan dan pembela korban kekerasan negara.
4. Kekerasan seksual dalam konteks sejarah Indonesia bukan insiden terisolasi, melainkan bagian dari pola kekerasan struktural yang membutuhkan pengakuan, keadilan, dan pemulihan yang tuntas.
Kami mendesak:
Bapak Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya secara terbuka dan menyampaikan permohonan maaf kepada para penyintas serta keluarga korban.
Mengingatkan sebagai pejabat publik untuk berhati- hati dan tidak melakukan kebohongan adanya fakta perkosaan massal Mei '98, karena mencoreng etika publik dan komitmen pada nilai-nilai hak asasi manusia.
Pemerintah dan lembaga negara untuk memperkuat mekanisme pengungkapan kebenaran, jaminan ketidakberulangan, serta pemulihan yang layak bagi seluruh korban kekerasan seksual.
Media dan publik untuk berdiri bersama para penyintas dan melawan narasi penyangkalan sejarah.
IKA Perempuan PMII percaya bahwa tanpa keberanian menghadapi kebenaran, tidak akan pernah ada keadilan. Tanpa keberpihakan pada korban, demokrasi hanyalah formalitas tanpa jiwa.
Mari kita jaga sejarah, rawat kemanusiaan, dan bersolidaritas dengan para penyintas.
Kami tidak akan diam. Kami tidak akan lupa.