Oleh: Salamuddin Daeng, Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
Apakah kedua gubernur daerah ini akan menyerah dan tetap membuat daerahnya terjebak dalam ketergantungan pasokan energi dari luar?
NUSA Tenggara (Nusa) yakni Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bukan daerah penghasil energi fosil minyak, gas dan Batubara, daerah ini tidak memiliki semua sumber energi primer fosil tersebut. Namun kedua daerah ini sangat bergantung kepada pasokan energi fosil tersebut. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah kedua daerah ini, bagaimana nasibnya di masa mendatang ketika transisi energi dalam rangka mencapai net zero emission (NZE) telah menjadi target yang pasti dicapai oleh negara.
Ketergantungan pada sumber energi fosil yang dikirim dari luar daerah patut disadari sebagai salah satu sebab kemiskinan kedua propinsi ini. Uang masyarajat lari ke luar untuk membayar energi listrik dan tidak dapat dikembalikan. Berbeda kalau energi primer dihasilkan secara lokal, maka uang masyarakat akan kembali. Perlu diketahui bahwa NTT adalah propinsi termiskian di Indoneaia dengan tingkat kemiskinan jauh di atas rata rata nasional. Sementara NTB juga masuk dalam jajaran daerah termiskin berada pada urutan ke 12 dari bawah sebagai daerah termiskin.
Ketergantungan ini sangat merugikan daerah ini. Bayangkan berapa besar pembelian solar untuk PLTD, pembelian batubara untuk PLTU dan pembelian gas untuk PLTMG dan semua pembangkit lainya yang mengunakan BBM. Hal itu semua sangat menguras ekonomi daerah. Berbeda jika kedua daerah ini menggunakan energi yang dapat dihasilkan secara lokal maka itu akan sangat membantu keuangan daerah, menambah uang rakyat, menumbuhkan usaha usaha lokal dalam penyediaa energi primer, menciptakan lapangan kerja dan lain sebagainya.
Gubernur Nusa Tenggara Barat periode yang lalu Zulkiflimansyah pernah menyatakan bahwa transisi energi NTB bisa lebih cepat dari target pemerintah pusat yakni pada tahun 2050 bisa mencapai net zero. Mengingat besarnya potensi yang dimiliki NTB dalam menghasilkan EBT. Namun berbeda dengan gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) yang baru dilantik justru dihadapkan dengan penolakan masyarakat terhadap rencana pengembangan PLTP di NTT. Ini adalah tugas berat gubernur untuk meyakinkan tokoh tokoh setempat.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah melakukan berbagai usaha keras dalam meningkatkan bauran pembangkit di kedua daerah ini. Mengingat besarnya potensi EBT di wilayah timur Indonesia ini, baik itu geotermal, bio massa untuk cofiring, tenaga angin dan tenaga matahari serta tenaga air dari berbagai bendungan yang ada. Namun langkah ini tidak mudah karena membutuhkan dukungan pemerintah daerah agar mengajak masyarakatnya dalam menghasilkan sumber energi primer non fosil.
Usaha menghasilkan EBT di Nusa Tenggara tentu akan sangat berkontribusi bagi perekonomian daerah ini. Namun sayangnya sosialisasi oleh pemerintah daerah tentang pentingnya kemandirian energi daerah masih sangat lemah. Adanya penolakan masyarakat seperti yang terjadi baru baru ini di Nusa Tenggara Timur (NTT) terkait rencana pengembangan pembangkit geotermal di sana merupakan pelajaran penting dan harus menjadi fokus perhatian gubernur baru NTT.
Presiden Prabowo telah menetapkan komitmen kemandirian energi melalui swasembada energi sebagai salah satu kemandirian yang harus dicapai selain pangan. Swasbada energi akan tercermin dari swasembada daerah-daerah seperti NTB dan NTT dalam menyediakan sumber energi bagi dirinya sendiri secara swasembada. Dalam era transisi energi menuju elektfikasi 100 persen EBT maka daerah tersebut harus dapat menyediakan sumber energi primer bagi EBT untuk seluruh pembangkit di NTB dan NTT. Akankah kedua gubernur daerah ini akan menyerah?