Oleh: Salamuddin Daeng
PRESIDEN Prabowo memerintahkan langsung Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) untuk menghentikan utang luar negeri dalam sektor Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP). Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Maruarar Sirait dalam pertemuan tukar pikiran dengan BAPENNAS terkait langkah menuju blue book perencanaan utang luar negeri sektor perumahan di Kantor Bappenas.
Dasar kebijakan ini cukup jelas karena sektor perumahan dan kawasan pemukiman merupakan kementerian dengan kelolah anggaran paling besar dalam tahun 2025. Anggaran tersebut berasal dari Tapera FLPP senilai 120 triliun rupiah, dari bank Indonesia hasil penurunan GWM senilai 130 triliun rupiah, dari Danantara dalam bentuk pengalihan dana KUR senilai 130 triliun rupiah.
Menurut rencana akan ada tambahan untuk anggaran perbaikan rumah tidak layak huni senilai 40-50 triliun rupiah. Dengan demikian total anggaran kelola dapat mencapai 420-430 triliun rupiah.
Perintah Presiden Prabowo segera dilaksanakan dengan cepat oleh Menteri PKP Maruarar Sirait yang memutuskan menghentikan rencana utang luar negeri dan menginstruksikan seluruh Dirjen PKP, Sekjen, Irjen agar segera memaksimalkan penyerapan angaran pendanaan yang diamanahkan oleh Presiden Prabowo kepada Kementerian PKP.
Perintah Presiden Prabowo untuk menghentikan utang luar negeri sektor perumahan dan kawasan pemukiman cukup beralasan yakni karena pemerintah sekarang sedang menghadapi tekanan pembayaran luar negeri. Pemerintah ingin mengurangi atau bahkan menghentikan ketergantungan sama sekali pada utang luar negeri yang telah terbukti menjerat ekonomi dan keuangan Indonesia.
Menurut data Bank Indonesia, jika seluruh pembayaran luar negeri Indonesia dibagi kepada seluruh penduduk Indonesia maka masing masing rakyat Indonesia memperoleh uang setahun maka 100 juta penduduk miskin Indonesia bisa mendapatkan 7,5 juta rupiah per orang dan 30 juta rupiah per keluarga.
Data BI tersebut menggambarkan defisit pembayaran luar negeri Indonesia tercermin dalam defisit neraca transaksi berjalan senilai 8,5 miliar dollar atau 140,25 triliun rupiah. Defisit pendapatan primer mencapai 35,8 miliar dollar atau 590,7 triliun rupiah. Secara keseluruhan jumlah pembayaran luar negeri Indonesia setahun total mencapai 757,35 triliun rupiah.
Data tersebut di atas adalah posisi pembayaran luar negeri yang sangat mengkuatirkan bagi masa depan bangsa dan negara. Pembayaran luar negeri tersebut merupakan transfer keuntungan atas investasi asing, utang luar negeri dan transfer ke luar negeri lainnya. Semua ini harus dicari jalan keluarnya dengan segera. Sehingga tahun 2025 ini kementerian dan lembaga segera mempertimbangkan kembali untuk tidak mengajukan utang luar negeri.