Jakarta, MNID. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 kembali menegaskan tingginya ketergantungan pemerintah pada utang.
Kusfiardi, analis ekonomi politik sekaligus Co-Founder FINE Institute, menyoroti bahwa lonjakan beban bunga utang yang mencapai Rp599,4 triliun, naik 8,6% dari outlook 2025, menjadi peringatan serius bagi keberlanjutan fiskal Indonesia.
“Beban bunga utang yang terus meningkat ini ibarat bom waktu fiskal. Hampir setara dengan total belanja pendidikan nasional, padahal seharusnya APBN lebih diprioritaskan untuk pemenuhan hak rakyat sebagaimana amanat konstitusi,” ujar Kusfiardi dalam keterangan yang diterima redaksi MNID.
Dalam RAPBN 2026, beban bunga terdiri atas Rp538,7 triliun bunga utang dalam negeri, terutama dari kupon Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp60,7 triliun bunga utang luar negeri. Sementara itu, rencana penarikan utang baru sebesar Rp781,9 triliun akan dilakukan terutama melalui penerbitan SBN.
Kusfiardi menegaskan, struktur pembiayaan yang semakin bertumpu pada SBN memperlihatkan rapuhnya ruang fiskal. “Negara terjebak dalam lingkaran setan utang: menerbitkan utang baru untuk menutup bunga utang lama. Ini pola yang menggerus kedaulatan fiskal,” tegasnya.
Ia juga menyoroti minimnya keberanian pemerintah untuk mengeksplorasi alternatif sumber penerimaan negara. Menurutnya, alih-alih menumpuk utang, pemerintah seharusnya lebih serius melakukan reformasi perpajakan, menekan kebocoran penerimaan, dan memberantas praktik transfer pricing korporasi multinasional.
“Pemerintah cenderung memilih jalan mudah dengan menambah utang, padahal potensi pajak dari sektor-sektor strategis masih banyak yang bocor. Di sisi lain, skema utang lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang rakyat sebagai pemegang kedaulatan sejati,” jelas Kusfiardi.
Lebih jauh, Kusfiardi mengingatkan bahwa tren kenaikan beban bunga utang juga mempersempit kapasitas APBN untuk belanja produktif, seperti penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, serta pembangunan infrastruktur dasar di daerah. “Kalau situasi ini terus berlanjut, APBN hanya akan menjadi alat transfer kekayaan dari rakyat kepada kreditur,” tambahnya.
Kusfiardi menyerukan agar DPR, akademisi, dan masyarakat sipil lebih kritis mengawasi arah kebijakan fiskal. “Kedaulatan fiskal harus dikembalikan ke jalur konstitusi, yakni sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk melanggengkan ketergantungan pada kreditur,” pungkasnya.