Serakahnomics: Bayang-Bayang dalam 80 Tahun Ekonomi Indonesia

Image 3
Dari kiri ke kanan: Kusfiardi, Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka

Oleh: Kusfiardi, Direktur FINE Institute

 

DELAPAN puluh tahun setelah Proklamasi 1945, perjalanan ekonomi Indonesia masih dibayangi praktik yang oleh Presiden Prabowo disebut serakahnomics. Logika ekonomi rakus yang menempatkan akumulasi modal segelintir kelompok di atas kepentingan rakyat banyak. Fenomena ini bukanlah hal baru, melainkan pola berulang yang menyeberangi berbagai rezim, dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.

Mimpi Mandiri yang Tergadai

Konstitusi 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, keterbatasan kapasitas negara pada dekade awal membuat ekonomi masih sangat bergantung pada warisan kolonial. Struktur ekspor berbasis komoditas primer dan konsentrasi kepemilikan aset di tangan segelintir elite lama. Upaya nasionalisasi perusahaan Belanda di era 1950-an memang simbolis, tetapi praktik patronase dan monopoli segera muncul menggantikannya.

Pertumbuhan dengan utang dan Oligarki

Di bawah Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 7 persen per-tahun selama dua dekade awal Orde Baru. Pertumbuhan yang modelnya bertumpu pada utang luar negeri, rente birokrasi, dan konglomerasi yang dekat dengan pusat kekuasaan. Pertumbuhan tercapai, namun serakahnomics mengambil bentuk kronisme. Sumber daya dikonsentrasikan pada jaringan keluarga Cendana dan kroni bisnisnya. Krisis 1997-1998 menjadi puncak rapuhnya model tersebut, ketika akumulasi utang swasta dan rente ekonomi pecah menjadi krisis sistemik.

Liberalisasi dan Oligarki Baru

Reformasi membawa demokratisasi politik, tetapi juga membuka jalan liberalisasi ekonomi yang tak terkendali. Privatisasi BUMN, pembukaan keran impor, dan dominasi korporasi global justru memperlebar ketimpangan. Rasio Gini yang sempat 0,35 pada awal 2000-an kembali menanjak ke sekitar 0,41 pada 2014. Dalam dekade terakhir, meskipun menurun ke 0,381 (2024), ketimpangan tetap mencolok, 1% orang terkaya menguasai lebih dari 45% total kekayaan nasional menurut Oxfam (2017).

Potret Serakahnomics

Selama satu dekade terakhir ekonomi Indonesia memperlihatkan pola akumulasi yang konsisten. 

Rasio Gini relatif stagnan di kisaran 0,37–0,41 sepanjang 2015–2024, menandakan bahwa ketimpangan pendapatan tidak banyak berubah meski pertumbuhan ekonomi tetap berlangsung. Di sisi lain, Forbes mencatat pada 2024, 50 orang terkaya Indonesia menguasai kekayaan lebih dari USD 150 miliar atau sekitar 14 persen dari PDB, menggambarkan konsentrasi aset yang begitu timpang. 

Dominasi korporasi global juga tampak nyata. Sekitar 70 persen pasar ritel modern dikuasai oleh jaringan asing dan konglomerat domestik, sehingga ruang tumbuh bagi pelaku usaha kecil dan menengah semakin terbatas. 

Sementara itu, utang pemerintah melonjak dari Rp 3.165 triliun pada 2015 menjadi sekitar Rp 8.300 triliun pada 2024, dengan pembayaran bunga utang menembus lebih dari Rp 500 triliun per tahun. 

Kondisi ini membatasi ruang fiskal negara untuk memperkuat layanan publik di sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan. 

Data ini memperlihatkan bahwa meski narasi pemerataan, inklusi, dan industrialisasi digaungkan, struktur ekonomi masih dikendalikan oleh logika serakahnomics.

Serakahnomics Kritik Lintas Ideologi

Menariknya, kritik terhadap praktik rakus ekonomi ini datang dari berbagai spektrum ideologi. Dari kanan, pemikir konservatif seperti Adam Smith sudah mewanti-wanti bahaya monopoli dan kolusi pedagang besar yang bisa merugikan pasar. Dari kiri, Marx menekankan bahwa akumulasi kapital pasti melahirkan ketimpangan. Dari tengah, Keynes menegaskan perlunya negara mengendalikan akumulasi untuk stabilitas jangka panjang. Semua pandangan ini bersepakat bahwa serakahnomics bukan sekadar masalah moral, tetapi persoalan struktural yang menggerogoti fondasi ekonomi bangsa.

Perjalanan yang Belum Usai

Indonesia memang mencatat capaian seperti menurunkan kemiskinan dari 24 persen (1998) menjadi sekitar 9,36 persen (2024), membangun infrastruktur besar-besaran, serta bertahan dari pandemi COVID-19. Namun, pertumbuhan ini sering timpang. Kota besar dan kawasan ekstraktif kaya. Sementara daerah perdesaan dan sektor pertanian tetap terpinggirkan.

Dengan demikian, serakahnomics adalah cermin perjalanan ekonomi Indonesia. Dari kolonialisme ke oligarki domestik. Dari kroni Orde Baru ke liberalisasi pasca-Reformasi, hingga dominasi korporasi global hari ini. Bayang-bayang ini menegaskan bahwa misi konstitusi untuk menghadirkan ekonomi berkeadilan belum sepenuhnya diwujudkan.

Berita Terkait

Berita Lainnya