Jakarta, MNID. Pemerintah pusat didesak untuk segera melakukan koreksi terhadap aturan perundangan mengenai perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Desakan ini mencuat menyusul keluhan Gubernur Riau Abdul Wahid yang mengungkapkan kondisi keuangan daerah yang tertekan, termasuk tunda bayar senilai Rp 274 miliar akibat turunnya produksi migas dan lemahnya alokasi dana bagi hasil dari pusat.
Analis ekonomi politik Kusfiardi menilai, kasus Riau hanyalah salah satu dari banyak contoh ketimpangan vertikal dalam sistem fiskal nasional. Menurutnya, selama ini formula perimbangan keuangan terlalu sentralistik dan tidak mempertimbangkan kontribusi riil daerah terhadap ekonomi nasional.
“Perlu koreksi mendasar terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah lama: daerah kaya sumber daya tetap miskin secara fiskal,” ujar Kusfiardi di Jakarta, Selasa, 10 Juni 2025.
Dalam laporan terbaru, Gubernur Riau mengusulkan kepada Menteri Keuangan agar alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) dan pajak dihitung berdasarkan produksi aktual (take on product), bukan sekadar formula nasional. Kusfiardi menilai usulan ini masuk akal dan sejalan dengan semangat keadilan fiskal dalam desentralisasi.
“Jika kontribusi migas dan sawit Riau menyumbang signifikan pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, tapi daerah justru mengalami tunda bayar, itu berarti ada kegagalan dalam distribusi fiskal,” lanjutnya.
Riau mengalami penurunan produksi minyak dari 400 ribu menjadi sekitar 140–160 ribu barel per hari. Ditambah dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang realisasinya hanya 60–65 dolar AS per barel—di bawah asumsi APBN 80 dolar AS—kondisi ini memperparah keterbatasan ruang fiskal daerah.
Selain sektor migas, tekanan juga datang dari sektor kelapa sawit yang mulai menunjukkan tren penurunan, padahal keduanya merupakan sumber utama pendapatan daerah. Hal ini menciptakan kondisi fiskal daerah yang tidak stabil, tidak berkelanjutan, dan rentan terhadap fluktuasi global.
Kusfiardi menambahkan, pemerintah pusat tidak boleh terus-menerus menahan kendali fiskal tanpa memberi insentif atau fleksibilitas yang proporsional kepada daerah.
“Jika pusat terus memonopoli mekanisme fiskal dan daerah hanya sebagai objek penerima, maka otonomi daerah akan tinggal nama. Koreksi regulasi fiskal adalah kunci untuk mencegah krisis keuangan daerah yang lebih luas,” tegasnya.
Menurutnya, evaluasi sistem perimbangan fiskal harus dimulai dari penyesuaian formula DBH berdasarkan data produksi aktual dan kontribusi sektoral. Kemudian pemberian ruang fleksibilitas fiskal untuk daerah penghasil komoditas strategis. Lalu perlindungan fiskal dari volatilitas harga komoditas global melalui skema stabilisasi pendapatan.
“Saat ini tidak cukup hanya membahas keadilan fiskal, tapi juga kedaulatan fiskal daerah. Selama ini, daerah jadi mesin ekonomi nasional, tapi tak punya kendali atas nasib fiskalnya sendiri. Untuk itu revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah perlu segera dilakukan,” tutup Kusfiardi.